Rabu, 24 Februari 2010

PENAWAR TERTINGGI

. Rabu, 24 Februari 2010
View Comments

GADIS kecil itu berjalan agak ragu memasuki hotel berbintang lima. Sang petugas satpam yang berdiri di samping pintu hotel menangkap kecurigaan pada wanita itu. Tapi dia hanya memandang saja dengan awas ke arah langkah wanita itu yang kemudian mengambil tempat duduk di lounge yang agak di pojok. Petugas satpam itu memperhatikan sekian lama, ada sesuatu yang harus dicurigainya terhadap wanita itu. Karena dua kali waiter mendatanginya tapi, wanita itu hanya menggelengkan kepala. Mejanya masih kosong. Tak ada yang dipesan. Lantas untuk apa wanita itu duduk seorang diri. Adakah seseorang yang sedang ditunggunya.
Petugas satpam itu mulai berpikir bahwa wanita itu bukanlah tipe wanita nakal yang biasa mencari mangsa di hotel ini. Usianya nampak belum terlalu dewasa. Tapi tak bisa dibilang anak-anak. Sekitar usia remaja yang t engah beranjak dewasa.
Setelah sekian lama, akhirnya memaksa petugas satpam itu untuk mendekati meja wanita itu dan bertanya:
'' Maaf, nona ... Apakah anda sedang menunggu seseorang? "
'' Tidak! '' Jawab wanita itu sambil mengalihkan wajahnya ke tempat lain.
'' Lantas untuk apa anda duduk di sini?"
'' Apakah tidak boleh? '' Wanita itu mulai memandang ke arah sang petugas satpam..
'' Maaf, Nona. Ini tempat berkelas dan hanya diperuntukan bagi orang yang ingin menikmati layanan kami.''
'' Maksud, bapak? "
'' Anda harus memesan sesuatu untuk bisa duduk disini ''
'' Nanti saya akan pesan setelah saya ada uang. Tapi sekarang, izinkanlah saya duduk di sini untuk sesuatu yang akan saya jual ''
Kata wanita itu dengan suara lambat.
'' Jual? Apakah anda menjual sesuatu di sini? ''
Petugas satpam itu memperhatikan wanita itu. Tak nampak ada barang yang akan dijual. Mungkin wanita ini adalah pramuniaga yang hanya membawa brosur.
'' Ok, lah. Apapun yang akan anda jual, ini bukanlah tempat untuk berjualan. Mohon mengerti. ''
'' Saya ingin menjual diri saya, '' Kata wanita itu dengan tegas sambil menatap dalam-dalam kearah petugas satpam itu.
Petugas satpam itu terkesima sambil melihat ke kiri dan ke kanan.
'' Mari ikut saya, '' Kata petugas satpam itu memberikan isyarat dengan tangannya.
Wanita itu menangkap sesuatu tindakan kooperativ karena ada secuil senyum di wajah petugas satpam itu. Tanpa ragu wanita itu melangkah mengikuti petugas satpam itu.
Di koridor hotel itu terdapat kursi yang hanya untuk satu orang. Di sebelahnya ada telepon antar ruangan yang tersedia khusus bagi pengunjung yang ingin menghubungi penghuni kamar di hotel ini. Di tempat inilah deal berlangsung.
'' Apakah anda serius? ''
'' Saya serius '' Jawab wanita itu tegas.
'' Berapa tarif yang anda minta? ''
'' Setinggi-tingginya. .' '
'' Mengapa?" Petugas satpam itu terkejut sambil menatap wanita itu.
'' Saya masih perawan ''
'' Perawan? '' Sekarang petugas satpam itu benar-benar terperanjat. Tapi
wajahnya berseri. Peluang emas untuk mendapatkan rezeki berlebih hari ini.. Pikirnya
'' Bagaimana saya tahu anda masih perawan?''
'' Gampang sekali. Semua pria dewasa tahu membedakan mana perawan dan mana bukan.. Ya kan ...''
'' Kalau tidak terbukti? "
'' Tidak usah bayar ...''
'' Baiklah ...'' Petugas satpam itu menghela napas. Kemudian melirik ke kiri dan ke kanan.
'' Saya akan membantu mendapatkan pria kaya yang ingin membeli keperawanan anda. ''
'' Cobalah. ''
'' Berapa tarif yang diminta? ''
'' Setinggi-tingginya. ''
'' Berapa? ''
'' Setinggi-tingginya. Saya tidak tahu berapa? ''
'' Baiklah. Saya akan tawarkan kepada tamu hotel ini. Tunggu sebentar ya.''
Petugas satpam itu berlalu dari hadapan wanita itu.
Tak berapa lama kemudian, petugas satpam itu datang lagi dengan wajah cerah.
'' Saya sudah dapatkan seorang penawar. Dia minta Rp. 5 juta. Bagaimana? ''
'' Tidak adakah yang lebih tinggi? ''
'' Ini termasuk yang tertinggi, '' Petugas satpam itu mencoba meyakinkan.
'' Saya ingin yang lebih tinggi...''
'' Baiklah. Tunggu disini ...'' Petugas satpam itu berlalu.

Tak berapa lama petugas satpam itu datang lagi dengan wajah lebih berseri.

'' Saya dapatkan harga yang lebih tinggi. Rp. 6 juta rupiah. Bagaimana? ''

'' Tidak adakah yang lebih tinggi? ''
'' Nona, ini harga sangat pantas untuk anda. Cobalah bayangkan, bila anda diperkosa oleh pria, anda tidak akan mendapatkan apa apa. Atau andai perawan anda diambil oleh pacar anda, andapun tidak akan mendapatkan apa apa, kecuali janji. Dengan uang Rp. 6 juta anda akan menikmati layanan hotel berbintang untuk semalam dan keesokan paginya anda bisa melupakan semuanya dengan membawa uang banyak. Dan lagi, anda juga telah berbuat baik terhadap saya. Karena saya akan mendapatkan komisi dari transaksi ini dari tamu hotel. Adilkan. Kita sama-sama butuh ... ''
'' Saya ingin tawaran tertinggi ... '' Jawab wanita itu, tanpa peduli dengan celoteh petugas satpam itu.
Petugas satpam itu terdiam. Namun tidak kehilangan semangat.
'' Baiklah, saya akan carikan tamu lainnya. Tapi sebaiknya anda ikut saya. Tolong kancing baju anda disingkapkan sedikit.
Agar ada sesuatu yang memancing mata orang untuk membeli. '' Kata petugas satpam itu dengan agak kesal.
Wanita itu tak peduli dengan saran petugas satpam itu tapi tetap mengikuti langkah petugas satpam itu memasuki lift.
Pintu kamar hotel itu terbuka. Dari dalam nampak pria bermata sipit agak berumur tersenyum menatap mereka berdua.
'' Ini yang saya maksud, tuan. Apakah tuan berminat? " Kata petugas satpam itu dengan sopan.
Pria bermata sipit itu menatap dengan seksama ke sekujur tubuh wanita itu ...
'' Berapa? '' Tanya pria itu kepada Wanita itu.
'' Setinggi-tingginya '' Jawab wanita itu dengan tegas.
'' Berapa harga tertinggi yang sudah ditawar orang? '' Kata pria itu kepada sang petugas satpam.
'' Rp.. 6 juta, tuan ''
'' Kalau begitu saya berani dengan harga Rp. 7 juta untuk semalam. ''
Wanita itu terdiam.
Petugas satpam itu memandang ke arah wanita itu dan berharap ada jawaban bagus dari wanita itu.
'' Bagaimana? '' tanya pria itu.
''Saya ingin lebih tinggi lagi ...'' Kata wanita itu.
Petugas satpam itu tersenyum kecut.
'' Bawa pergi wanita ini. '' Kata pria itu kepada petugas satpam sambil
menutup pintu kamar dengan keras.
'' Nona, anda telah membuat saya kesal. Apakah anda benar benar ingin menjual? ''
'' Tentu! ''
'' Kalau begitu mengapa anda menolak harga tertinggi itu ... ''
'' Saya minta yang lebih tinggi lagi ...''
Petugas satpam itu menghela napas panjang. Seakan menahan emosi. Dia pun tak ingin kesempatan ini hilang.
Dicobanya untuk tetap membuat wanita itu merasa nyaman bersamanya.
'' Kalau begitu, kamu tunggu di tempat tadi saja, ya. Saya akan mencoba mencari penawar yang lainnya. ''
Di lobi hotel, petugas satpam itu berusaha memandang satu per satu pria yang ada. Berusaha mencari langganan yang biasa memesan wanita melaluinya.
Sudah sekian lama, tak ada yang nampak dikenalnya. Namun, tak begitu jauh dari hadapannya ada seorang pria yang sedang berbicara lewat telepon genggamnya.
'' Bukankah kemarin saya sudah kasih kamu uang 25 juta Rupiah. Apakah itu tidak cukup? " Terdengar suara pria itu berbicara.
Wajah pria itu nampak masam seketika

'' Datanglah kemari. Saya tunggu. Saya kangen kamu. Kan sudah seminggu lebih kita engga ketemu, ya sayang?! ''
Kini petugas satpam itu tahu, bahwa pria itu sedang berbicara dengan wanita.
Kemudian, dilihatnya, pria itu menutup teleponnya. Ada kekesalan di wajah pria itu.
Dengan tenang, petugas satpam itu berkata kepada Pria itu: '' Pak, apakah anda butuh wanita ... ??? ''
Pria itu menatap sekilas kearah petugas satpam dan kemudian memalingkan wajahnya.
'' Ada wanita yang duduk disana, '' Petugas satpam itu menujuk kearah wanita tadi.
Petugas satpam itu tak kehilangan akal untuk memanfaatkan peluang ini.
"Dia masih perawan..''
Pria itu mendekati petugas satpam itu.
Wajah mereka hanya berjarak setengah meter. '' Benarkah itu? ''
'' Benar, pak. ''
'' Kalau begitu kenalkan saya dengan wanita itu ... ''
'' Dengan senang hati. Tapi, pak ...Wanita itu minta harga setinggi tingginya.''
'' Saya tidak peduli ... '' Pria itu menjawab dengan tegas.
Pria itu menyalami hangat wanita itu.

'' Bapak ini siap membayar berapapun yang kamu minta. Nah, sekarang seriuslah ....'' Kata petugas satpam itu dengan nada kesal.
'' Mari kita bicara di kamar saja.'' Kata pria itu sambil menyisipkan uang kepada petugas satpam itu.
Wanita itu mengikuti pria itu menuju kamarnya.

Di dalam kamar ...

'' Beritahu berapa harga yang kamu minta? ''
'' Seharga untuk kesembuhan ibu saya dari penyakit ''
'' Maksud kamu? ''
'' Saya ingin menjual satu satunya harta dan kehormatan saya untuk kesembuhan ibu saya. Itulah cara saya berterima kasih ....''
'' Hanya itu ...''
'' Ya ...! ''
Pria itu memperhatikan wajah wanita itu. Nampak terlalu muda untuk menjual kehormatannya. Wanita ini tidak menjual cintanya. Tidak pula menjual penderitaannya. Tidak! Dia hanya ingin tampil sebagai petarung gagah berani di tengah kehidupan sosial yang tak lagi gratis. Pria ini sadar, bahwa di hadapannya ada sesuatu kehormatan yang tak ternilai. Melebihi dari kehormatan sebuah perawan bagi wanita. Yaitu keteguhan untuk sebuah pengorbanan tanpa ada rasa sesal. Wanta ini tidak melawan gelombang laut melainkan ikut kemana gelombang membawa dia pergi. Ada kepasrahan diatas keyakinan tak tertandingi. Bahwa kehormatan akan selalu bernilai dan dibeli oleh orang terhormat pula dengan cara-cara terhormat.
'' Siapa nama kamu? ''
'' Itu tidak penting. Sebutkanlah harga yang bisa bapak bayar ... '' Kata wanita itu
'' Saya tak bisa menyebutkan harganya. Karena kamu bukanlah sesuatu yang pantas ditawar. ''
''Kalau begitu, tidak ada kesepakatan! ''
'' Ada ! " Kata pria itu seketika.
'' Sebutkan! ''
'' Saya membayar keberanianmu. Itulah yang dapat saya beli dari kamu.
Terimalah uang ini.
Jumlahnya lebih dari cukup untuk membawa ibumu ke rumah sakit.
Dan sekarang pulanglah ... '' Kata pria itu sambil menyerahkan uang dari dalam tas kerjanya.
'' Saya tidak mengerti ...''
'' Selama ini saya selalu memanjakan istri simpanan saya.
Dia menikmati semua pemberian saya tapi dia tak pernah berterima kasih.
Selalu memeras. Sekali saya memberi maka selamanya dia selalu meminta.
Tapi hari ini, saya bisa membeli rasa terima kasih dari seorang wanita yang gagah berani untuk berkorban bagi orang tuanya.
Ini suatu kehormatan yang tak ada nilainya bila saya bisa membayar ...''
'' Dan, apakah bapak ikhlas...? ''
'' Apakah uang itu kurang? ''
'' Lebih dari cukup, pak ... ''
'' Sebelum kamu pergi, boleh saya bertanya satu hal? ''
'' Silahkan ...''
'' Mengapa kamu begitu beraninya ... ''
'' Siapa bilang saya berani. Saya takut pak ...

Tapi lebih dari seminggu saya berupaya mendapatkan cara untuk membawa ibu saya ke rumah sakit dan semuanya gagal.
Ketika saya mengambil keputusan untuk menjual kehormatan saya maka itu bukanlah karena dorongan nafsu.
Bukan pula pertimbangan akal saya yang `bodoh` ... Saya hanya bersikap dan berbuat untuk sebuah keyakinan ... ''
'' Keyakinan apa? ''
'' Jika kita ikhlas berkorban untuk ibu atau siapa saja, maka Tuhan lah yang akan menjaga kehormatan kita ... '' Wanita itu kemudian melangkah keluar kamar.
Sebelum sampai di pintu wanita itu berkata:
'' Lantas apa yang bapak dapat dari membeli ini ... ''
'' Kesadaran... '' .. . .

Di sebuah rumah di pemukiman kumuh. Seorang ibu yang sedang terbaring sakit dikejutkan oleh dekapan hangat anaknya.
'' Kamu sudah pulang, nak ''
'' Ya, bu ... ''
'' Kemana saja kamu, nak ... ???''
'' Menjual sesuatu, bu ... ''
'' Apa yang kamu jual?'' Ibu itu menampakkan wajah keheranan. Tapi wanita muda itu hanya tersenyum ...
Hidup sebagai yatim lagi miskin terlalu sia-sia untuk diratapi di tengah kehidupan yang serba pongah ini.

Di tengah situasi yang tak ada lagi yang gratis. Semua orang berdagang. Membeli dan menjual adalah keseharian yang tak bisa dielakan. Tapi Tuhan selalu memberi tanpa pamrih, tanpa perhitungan ....


'' Kini saatnya ibu untuk berobat ... ''
Digendongnya ibunya dari pembaringan, sambil berkata: '' Tuhan telah membeli yang saya jual... ''.
Taksi yang tadi ditumpanginya dari hotel masih setia menunggu di depan rumahnya. Dimasukannya ibunya ke dalam taksi dengan hati-hati dan berkata kepada supir taksi: '' Antar kami kerumah sakit ...''

Sebuah Perenungan, September 2007

Klik disini untuk melanjutkan »»

Selasa, 16 Februari 2010

LOVE LETTER FOR AJENG

. Selasa, 16 Februari 2010
View Comments

Dhimas bolak-balik ke toilet di ujung kamar kostnya yang gelap. Sebuah apartemen ‘proletariat’ katanya berdalih di hadapan teman-teman kuliahnya yang berkomentar tentang seleranya yang rendah memilih tempat pondokan.
Rumah kost itu milik sebuah keluarga besar, rumah besar yang dihuni kakak-adik beserta anak-anaknya, dan kakek-nenek berikut cucu-cucunya. Terletak di pinggiran kota, desain interior yang sederhana dengan budget rendah. Dinding trilplek dan sumur timba, hm…. benar-benar proletar. Penghuni kost campuran laki-perempuan,… nah ini yang bikin Dhimas amat demen. Dinding kamar yang terbuat dari triplek membangkitkan selera Dhimas untuk membuat ‘black hole’ (wuih… istilah ilmiah yang sangat keren untuk sebuah lubang kecil di dinding yang dibuat dengan bantuan obeng untuk mengintip!). Celakanya, kamar sebelah Dhimas selalu laki-laki yang nempatin, sementara ide brilian ‘black hole’ Dhimas dibajak Jeriko, mahasiswa asal Makasar yang kamarnya bersebelahan dengan Tante Tuti, mahasiswi ekstension yang bekerja di sebuah perusahaan swasta ternama.
Ini adalah ketujuh kalinya Dhimas bolak-balik ke kamar kecil gelap dan pengap itu. Hanya untuk sekedar memanjakan ureternya bekerja memompakan beberapa tetes urine, karena dipacu adrenalin yang membludak. Dhimas lagi nervous…. Dia sedang nulis surat! Surat cinta!

“Sama anak ingusan aja kau kelabakan gitu Dhimov!”, seloroh Jeriko mengejekku. Dia suka mem-plesetkan namaku dengan panggilan Dhimov karena menurutnya jalan pikiranku seperti orang-orangnya Gorbachev yang menganut paham Marxisme memperjuangkan kaum marjinal, orang pinggiran, ‘proletar’ dalam bahasanya Stalin.
“Cara pikir kamu tuh yang rasis, Ko’… semua-muanya musti dipertentangkan. Yang kecil lemah, yang besar kuat. Yang statusnya tinggi musti menjadi pemenang yang statusnya rendah harus mengalah. Dasar Kapitalis kamu anaknya paman Sam…. saya sumpahin deh jadi fried chicken…”. Jeriko tertawa ngakak kukatain begitu. Dasar Yahudi...
Aku mulai emosi kalau ada yang nglecehin gadisku sebagai anak kecil, ingusan, dan bla.. bla.. bla.. mentang-mentang dia masih kelas dua SMA. Eh.. kelas dua atau kelas sebelas ya…. Waduh, harus dihitung dari es de enam kelas, terus es em pe berarti kelas tujuh sampe sembilan… arcch…repot. Dulu waktu aku masih kecil dan belum sekolah sering ditanya orang, kelas berapa anak kecil? Aku bilang ‘kelas tujuh!’ sambil tereak, e.. malah pada ngetawain. Katanya kelas tujuh itu nggak ada. Sekarang, malahan kelas bisa sampai dua belas. Untung nggak ada kelas tiga belas, angka sial kata nenekku.
Gadis pujaanku, kelas sebelas .. arch.. aku lebih nyaman menyebutnya kelas dua SMA. Habis, sensasi cintaku kayak dulu waktu masih kelas dua SMA. Dia emang mirip banget sama pacarku waktu itu, mm… tujuh tahun yang lalu. Sekarang dia kuliah di fakultas Hukum. Emang sih di kelas dua dulu juga kita udah bubaran, cuman kita pacaran diam-diam, sulit untuk saling melupakan dan ga’ bisa akur disatukan. Yah... teman tapi mesra gitulah... Dia punya pacar aku cemburu,.. aku punya pacar dia malah nglabrak. Makanya aku sekarang pindah kost biar dia kagak datang buat nglabrak gadis kecilku ini yang… ehmmmmm imut abis kaya’ coklat Itali.
Tempat kost aku agak jauh dari kampus, tapi… yang lebih penting nichh.. deket ama sekolahan doi. Kalau mau berangkat kuliah aku kudu jalan kaki dulu nglewatin depan sekolahan dia sebelum sampai ke pemberhentian bus yang ke kampus. Seringnya sih, aku nongkrong dulu di warnet depan sekolahan dia, pura-pura antre ke internet. Padahal seh,.. asal udah liat doi datang di sekolah badan jadi fit meski ga usah senam pagi segar ceria, liat rambutnya yang panjang terurai wanginya sampai radius lima kilometer (pake shampo minyak duyung kali ya,,..) otak jadi bening kaya kaca kristal. Ngliat doi senyum, meskipun senyumnya ke orang laen wuih…wuih… rasanya pagi yang cerah bukan karena mentari terbit deh… tapi karena senyum Ajeng.
Ajeng Sekar Arum, tuch…kamu-kamu yang mbaca ntu nama langsung terasa khan wangi aroma yang menyumbat kepala dan pikiran… Udah deh.. nggak usah ndebatin ‘n nlecehin gadisku lagi. Kalian aku jamin pingsan kalo dapet kiss bye dari Ajeng,… dua ujung jarinya yang putih dan lentik menyatu; diletakkan di depan bibirnya yang hm…… alangkah lezatnya.. bakso di kafe Andromeda aza kalah lezat; dengan sedikit gerakan bibir membuka perlahan menimbulkan bunyi lembut.. mmmuuahh… “brak!…” tiba-tiba tubuhku udah telentang di trotoar, pingsan! cuman dikasih isyarat gituan aza?… apalagi yang lebih dalem .. ya….
Aduh…. HIV-ku kambuh neh,… ntu tuch… Hasrat Ingin Vivis!. Aku tahan dulu aja. Surat ini harus aku rampungkan sekarang juga. Besok pagi harus dikirim pake internet. Itu tuch.. minta anterin Neti, temen dia yang ngecomblangin aku. Besok kami janjian mau nonton twenty one di Jalan Soekarno-Hatta pulang doi sekolah. Padahal besok siang aku ada kuliah Paradigma Cartesian di Era Posmo ala Habermas. Ah… peduli amat, lagian iseng banget sih itu Mr. Tiala dosen filsafat ilmu mindahin jadwal seenaknya. Materi filsafat berat gitu ditaroh siang hari… ya.. mendingan ngedate aza ama Ajeng yang bola matanya seindah bintang jatuh…
Ini adalah lembar ketujuh. Enam lembar kertas surat wangi yang aku beli di toko buku Gramedia udah kusulap jadi bola basket dan masuk keranjang saat slam dunk. Aku ingin ini surat jadi sempurna, perfect ga boleh ada kesalahan barang dikit pun…. Tentu saja karena Ajeng adalah cewek sempurna yang aku tau, meski dia masih kelas dua SMA. Hati-hati banget pena Rotring ku menari-nari di atas selembar kertas wangi. Dengan tinta khusus, dan suasana khusus, yang setiap hurufnya ditorehkan dengan segenap perasaan dan jiwa jadilah sebuah surat cinta….


Di tepi jendela, Maret 2005

Lam Pramuka !!! eh...salah
Lam Manies maksudnya

Oh....say saat kamu berjalan melenggang, alangkah indah bagai peragawati berjalan di atas cat tembok...eh, sorry salah nulis maksudnya cat walk..
Ditambah dengan senyum maniesmu, oh.. betapa indahnya hari ini. ( kadar senyummu 50% nikotin, 25% caffeine n’ sisanya rahasia perusahaan )

Sejenak aku terbius dengan suasana itu, ngiler sich udah pasti. Ditambah puyeng, kejang-kejang, kram otot, tapi ngeluarin busa dari mulut sich nggak!
T’rus aku diem, bengong , t’rus nelen ludah sampe-sampe aku gak sadar kalo permen karet yang lagi di emut ikut ketelen juga.
Oh...say, senyum maniesmu emang bikin orang jadi lupa diri, lupa mandi n’ lupa ngangkat jemuran (waduh... musim hujan lagi..). Tapi untungnya ga’ lupa ingatan (karena selalu ingat senyummoe gitu loooch..)

Dan seandainya kamu tau kalo aku sering nongkrong di depan sekolahmu pagi-pagi bukan lagi nungguin tukang batagor lewat, ato nungguin duren jatuh, tapi aku lagi nungguin kamu lho.
Demi kamu aku rela kepanasan, kehujanan, t’rus ditubuhku tumbuh lumut, jamur, ganggang n’ yang lainnya. Demi kamu aku rela ko’.

Emang sich aku gak bisa bawa kamu jalan-jalan ke ujung dunia, ujung kulon ato ujung kuku. Ato juga beliin kamu cokelat stick yang panjangnya dari sekolahanmu sampe kampusku.

Tapi karena status kamu masih pelajar, aku siap ko’ bantuin PR kamu. Yach, asal jangan matematika, fisika, kimia, bhs Inggris, akuntansi ato bahasa Arab. He...he...
Pas udah ketagihan ma’ senyum kamu tuch, tumbuh satu rasa yang aku yakin rasa ini bukan rasa ayam bawang, rasa kari ayam, ato rasa jagung bakar. Tapi rasa ini rasa apa yach...????
Tebak rasa apa coba..????.

Sorry, kalo tanpa basa-basi aku udah terlanjur speak love ma’ kamu. Eh... Sorry kelepasan, aduh bisa-bisa bocor nich rahasia.
Yach udah kalo gitu jujur aza dech.

Dulu waktu masa Megalithicum (kalo gak salah... aku ga suka sejarah sih) Aku pernah kesengsem ma’ seorang cewek , tapi jujur aza jatuh cintanya Cuma satu kalie..
T’rus, pernah juga dizamannya Dinasti Ming aku juga pernah suka ma’ gadis tetangga itu juga jatuh cintanya Cuma sekal

Tapi s’karang di zaman teknologi dah pada canggih, zamannya internit, eh internet, Aku jatuh cinta, jatuh hati, sampe jatuh bangun (kayak Meggy Z! Gitu dech..) Ma cewek spesial pake telor. Eh.. sorry pake pita merah jambu gitu lho maksudnya.


Tapi anehnya, aku jatuh cinta ma’ dia gak Cuma satu kali. Tapi berkali-kali kali..kali .. n’ kalikan kali.
Yang jelas Dhimas saat ini mo’ jujur-sejujurnya, cewek yang bikin jatuh cinta berkali-kali itu adalah kamu!
Cewek yang bikin rindu ini numpuk setinggi gunung itu adalah kamu!.
N’ kamulah satu-satunya cewek yang dah bikin cerita di zaman Megalithicum itu jadi,.. apa ya? masa sebelum orang-orang jadi bisa baca tulis itu masa apa ya? o..ya masa bodoh!

Say,.. cuman kamu yang bikin aku harus nulis kata kangen tiap detik di buku, baju, sprei, gordyn, kamar mandi, tembok, pager, sampe’ punggung orang laen yang lewat di depanku. Terang aja aku dimarahin, peduli amat karena aku emang kangen ama kamu setiap detik
(satu detik adalah lamanya unsur cesium berpendar dalam suhu kamar dan di tekanan 1 atmosfir, kata guru fisika sih tapi menurutku sih.. satu detik seperti saat aku mengenang bulu lembut di keningmu, yang meremang kala kukecup dan ketika kusibak rambutmu.. waktu jadi terhenti).


Dhim@s


Dengan hati-hati Dhimas melipat kertas wangi itu. Ujung kanan atas dan ujung kiri atas ditautkan menyatu di tengah kertas. Sisa bawahnya dilipat keatas muka dan belakang. Tengah kertas yang membentuk kerucut segitiga ditarik ke kanan dan kiri kemudian dilipat lagi ujung runcing ke atas pada sisi muka dan belakang. Seketika dibalik dan dibuka…. Warakadah!!… jadi kapal kertas!….tolooooong….



Pondok Nara Pandeglang, Maret 2005
S. Agus Santosa, M.Pd

<\span>

Klik disini untuk melanjutkan »»

Jumat, 12 Februari 2010

KESAKSIAN BURUNG KECIL...

. Jumat, 12 Februari 2010
View Comments

Langit gelap. Senja tak ada dalam bayangan pikiran. Sejauh arah mata memandang ke angkasa yang terlihat hanyalah gumpalan awan yang sudah enggan menahan hujan. Hari Jum’at, 7 November 2008 langit nampaknya begitu muram dalam kegelapannya.
Apakah aku benar-benar telah mengatakannya? Pertanyaan itu berulang kali meluap ke udara yang terasa dingin dan tak bersahabat. Apalagi aku tak menggunakan sandal bahkan sepatu. Semua terasa aneh? Tapi tak masalah. Ada yang lebih dari itu, udara dingin dan ketelanjangan telapak kaki membuat aku merasa lebih yakin ini kenyataan. Ya nyata. Dan aku tampar pipiku, apakah ini mimpi atau ini benar benar bukan sekedar mimpi?
Hujan nampaknya akan segera turun seperti turunnya Ilham. Pada sore hari yang baru aku kenal. Karena sebelumnya aku tak mengenal sore”yang indah dengan warna kejujuran” Mendung di sore hari terasa mesra dan begitu akrab mendekap hati yang sedang melambung ke langit tujuh.
”Benarkah aku bisa?” Semua pertanyaan terasa mencekik keyakinan. Jika aku dapat menggambarkan semua maka akan aku katakan pada malam. Bahwa aku bisa berjalan selayaknya manusia biasa. Bisa berbicara dengan mulut yang terbuka. Dan bisa berkata ” Ya “ karena Ya dan melafalkanya dengan kata YA.
Bisakah kita bayangkan juga betapa bahagianya orang yang bisa berbicara dengan jujur dan apa adanya dari hati. Indah. Indah sekali, Seperti malaikat-malaikat turun dan memberikan salam kepada angin sore di gapura barat Sambek. Memberikan salam kejujuran. Aku bahagia?
Aku telah lepas dari segala beban. Surga serasa hadir dalam lamunanku menuju ganggang kecil dengan cat-cat rusak yang tak terawat. Jamur-jamur di tembok seolah memberikan semagat baru untuk tumbuh...

Di samping kanan, berdiri pohon-pohon yang doyong terhempas angin sore, burung-burung kembali ke sarangnya...membawakan makanan untuk anak-anaknya yang melonglong minta makan...
Bahagia terasa. Terasa benar dalam dada yang selama ini gersang dengan kemunafikan. Aku merasa malu karena dilahirkan sebagai manusia, mengapa sulit sekali berbicara apa adanya. “Lebih baik anak burung di sangkar pohon cemara yang melonglong minta makan karena kelaparan daripada manusia berdiam diri semedi pada kemunafikan’’.
Aku merasa hari ini Tuhan melahirkan aku kembali, aku bisa merasakan detak jantung yang gandrung, perasaan yang telah lama terpendam rasa kesedihan perlahan luluh dengan semua yang aku rasakan, seperti halnya hujan yang turun dari langit memberikan kedamaian di muka dunia.
Semuanya terasa lepas, dan aku merasa melayang di dekapan Tuhan ketika semuanya dimulai dari jalan menurun dari gapura dan aku berkata
“Bolehkah aku mengantarmu?”
Kau jawab pelan dengan nada sederhana dan berirama
“Tak usah sungkan kakak”
Dan aku kembali lagi mengucapkan kata-kata biasa
“Emmm... Adek baik banget”
“Ah tak usah merayu”
Aku diam. Benar-benar diam. Hanya suara sepatu Shevina dan Raran yang mengetarkan jalan dan memberikan irama lemah lembut di ujung detak jantung yang sudah semakin gandrung.
Detak jantungku kembali seperti suara senapan yang terburu-buru mengarah ke buronan yang baru saja kabur dari tahanan.
“Kakak mau mengantar adek sampai mana? Hari sudah sore lho jangan buat keluarga menjadi bingung!”
“Iya mas...”sambung Raran juga.
“ Sampai bawah tiang listrik, di ujung persimpangan desa, di gang-gang kecil yang biasa adek lewati atau tepatnya sampai ujung kakimu menyentuh rumahmu”
Tapi tak ada jawaban. Aku merasa malu. Benar. Tak bohong. Mengapa kakiku terus melangkah dan aku tak tau apa yang harus aku bicarakan...
Aku mengganti... dan mencoba berbicara lain tapi apa ? ah semua terasa terpaku. Lidahku tak lagi selincah ketika aku sedang berpidato atau memberi sambutan sebagai ketua OSIS atau kegiatan pengajian rutin hari Jum’at di Desa. Ih ... indah walau aku sulit berbicara tak lain karena aku belum paham apa yang hendak aku bicarakan. Tapi, apakah setiap aku bicara harus mengandung nasihat-nasihat? Atau petuah tentang berbuat kebaikan dan mengutuk sebuah kesalahan.? Aku benar-benar ingin lepas dari semua yang pernah ada dalam kebiasaanku. Aku ingin bebas dengan kata-kata biasa...seperti ketika aku kecil aku sering bernyanyi di jalan dengan lagu “Aku Seorang Kapiten” atau berteriak-teriak di puncak gunung...pasti lebih indah dari pada aku bersuara pada dialek yang sudah aku rancang semalaman...Uh.. nampaknya memang saatnya aku lepas dari segala yang biasa. Segalanya akan terasa indah karena keluar dari kebiasaan dan semuanya akan di kenang karena memang berbeda dari kenangan yang sudah biasa.
“He....ini hari Jum’at kan?” aku memulai lagi pembicaraan yang tadi sempat putus sesaat.
Sebelum ada jawaban aku menambah kata lagi pada udara di langit gelap tanggal tujuh itu, “Sekarang kakak sedang menghadap barat, kiblat tepatnya, atau entah menghadap ke mana yang jelas kakak ingin berbicara pada adek seperti pembicaraan burung dalam sangkar itu” dan tanganku menunjuk ke pohon cemara yang ada di kanan jalan tempat sangkar anak burung pleci melonglong kelaparan”
“ Adek lihat burung-burung itu...merekalah yang seharusnya masuk surga..., bukan manusia. Burung selalu berbicara jujur, ketika mereka lapar mereka akan berteriak dengan bahasa mereka. Tapi manusia?”
“Ya, terus apa hubunganya dengan kakak?”
Aku tak berani menjawab. Ayo... kata-kata di hati dan semuanya bergelut untuk saling mendahului...(ini saatnya Jamrud muncul dengan lagunya Ada Pelangi di Matamu….)
Aku sekali lagi belum bisa berkata dan Shevina lima langkah di depanku,
“Kakak kenapa ?“
Dan sebelum aku menjawab aku tarik tangan Shevina dan aku dekap tubuhnya tepat pada dadaku. Allhamdulillah, sepeda motor tidak mengenainya walau sedikitpun. Dan sedetik itu terasa berhenti ketika aku berkata
“Aku Mencintaimu....”


Wonosobo, 25 Januari 2009

Klik disini untuk melanjutkan »»

Kamis, 17 Desember 2009

LOVE IS A CRAZY THING

. Kamis, 17 Desember 2009
View Comments

Lilin tersenyum sendiri ketika ia melihat Andre. Kedua temannya, Bily dan Vel juga ikut tersenyum melihat gelagat temannya itu.
"Woi, udahan ... nanti dikira gila lagi" Kata-kata Bily menghentikan keasyikan Lilin.
"Ih, biasa aja kali." Lilin menimpali.
"Yang biasa tuch harusnya kamu. Orangnya udah lewat dari tadi masih senyum." Kata Vel.
"Lin, kalo dia udah pergi gimana?"
"Gimana ya Ly. Aku belum kepikiran sampe kesitu."
"Lho, kok belum sich?! Eh, Lin! Dia itu kelas 3 bentar lagi mau lulus. Kok belum dipikirin sich?" tiba-tiba Vel menimpali pernyataan Lilin.
"Vel, bukan gitu juga sich. Tapi ..."
"Bukan gitu gimana?" tanya Bily.
"Tahu sendiri kalo aku tu secret admirer, jadi ya gak bisa ngapa-ngapain ama hubungan ini."
"Ngomong kek." Kata Vel.
"Aje gile! Cewek ngomong duluan?? Situ gak salah? Malu-maluin tahu!" sentak Bily.
"Ya, dicoba ..." sahut Vel.
"Vel, gimanapun juga, aku masih punya harga diri. Suka sich suka, cinta sich cinta tapi kalo mpe nembak duluan ... ya ogah! Mending diterima nah, kalo gak gimana? Mau ditaruh dimana mukaku?? Apalagi dia juga lumayan populer, apa kata anak laen? Please deh Vel, pikir dulu kek kalo ngomong." Lilin tiba mencecar Vel habis-habisan.
"Iya-iya gak usah sewot dong." Vel pun menyesal.
œ�

Adalah Kalin Natasya, Nabilia dan Marvella Riana, tiga sahabat yang menjalin persahabatan sejak SMP. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang semester 2 dan awal menjadi siswa kelas 3 SMA.
"Panasnya ....."Vel mengeluh dengan udara yang panassss banget.
"Iyah ..... " Bily mengiyakan. "Lho, Lin kenapa masih pake jaket sich? Mank kamu gak panas?"
"Dikit ...." Jawabnya lesu.
Istirahat pertama terasa membosankan. Kantin penuh disesaki para manusia kelaparan, membuat ketiga sahabat ini terpaksa duduk di depan kantin. Nunggu kalo udah agak sepi.
"Lin, kenapa?" tanya Bily.
"Iyah, kenapa sich? Koq murung gitu? Ada juga kalo pas pertama masuk sekolah seneng bukan muka ditekuk gitu." Vel menimpali.
Lilin tetap murung. Tahun ini terasa berbeda, dulu waktu dia masih kelas 2 dia masih bisa liat si Andre tapi sekarang .... sepi. Lilin juga tahu kalo dia cuma ngefans doang tapi rasanya .... perasaan Lilin lebih dari seorang fans terhadap idolanya.
"Lin, jajan yuk! Dah agak sepian nich ..." ajak Vel.
"Hm .." Lin langsung beranjak bangun. Sementara kedua sahabatnya mulai mengerti keadaan Lilin sekarang.

Bel berbunyi, mereka bertiga mulai meninggalkan kantin sampai Lilin .....
"Andre......" Langkah Lilin terhenti ketika seseorang berjalan ke arah kantin.
"Apa, Lin?" kata Bily dan Vel bersamaan.
Bily dan Vel pun dilanda kebingungan. Mana Andre? Bukannya dia dah lulus? Masa tiba-tiba balik? Ini kan masih jadwal masuk kuliah.
"Lin, mana Andre?" tanya Bily
Seseorang yang dikira Andre pun lewat di depan Lilin, membuyarkan lamunannya.
"Eh, gak koq! Yuk masuk! Nanti Bu Rini marah lagi." Kata Lilin gugup.
Lilin segera saja ngeloyor pergi diikuti Vel dan Bily.
œ�

Di sebuah kamar tampak seorang gadis duduk di ranjang tempat tidurnya. Senyumnya terkembang. Sejak bertemu dengan cowok yang mirip Andre wajah Lilin berbunga-bunga. Dia mulai bergumam ...
"Siapa dia?"
œ�
"Pagi ....." Sapa Lilin pada Vel.
"Pagi ...."
"Yang laen mana Vel? Koq cuma kamu doang?"
"Tau tuch! Penyakit telat mereka mulai kumat kali."
"Eh, kluar yuk! Sambil nungguin anak-anak."
"Yuk."

Udara pagi ini cukup dingin. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.45 dan baru mereka yang datang. Tiba-tiba mata Lilin menangkap sosok seseorang yang dia kenal.
"Kenapa Lin?"
"Tau gak Vel?"
"Apa?"
"Ada adek kelas yang mirip ma Andre."
"Serius? Kelas berapa?"
"Gak tau, makanya hari ini aku mau cari tau. Bantuin aku ya?"
"OK!"
œ�
Pelajaran Sejarah tuch agak membosankan. Kenapa? Karena gurunya membosankan. Bukannya mau ngejelekin tapi aduuuuh ni Guru ampun deh bikin ngantuk doang. Lilin menoleh ke belakang.
"Ly, ngantuk nich."
"Sama Lin, mata tinggal lima watt doang"
"Eh, aku belum crita ya?"
"Apaan?"
"Tadi aku liat ada adek kelas yang mukanya mirip Andre."
"Oh, yang bikin kamu nglamun di depan kantin itu?"
"He'eh. Jadi nanti pas istirahat kamu ma Vel bantuin aku cari tau siapa tu cowok ya?"
"Iya deh. Paling gak ni buat have fun kamu setelah gak da Andre."
"Mungkin ya ..."
Mereka berdua tersenyum bahagia. Tapi apa hanya have fun? Lets see ...
œ�
Istirahat kali ini jadi misi mereka. Lilin terlihat semangat. Lilin merasa agak gugup tapi tak terlihat. Dia memang ingin tau siapa nama cowok itu tapi dia tidak terlalu berharap. Let it flow.
"Ly, liat itu Andre!"
"Mirip doang Lin!" kata Vel.
"Iya-iya. Kliyatannya dia mau ke kantin sebelah bareng temen-temennya."
"Itu ya cowok yang mirip Andre. Agak mirip. Pantesan kamu suka." Kata Bily.
"He he he ...."
"Tapi Lin, ini ya kayak peribahasa gak da ranting, akar pun jadi." Kata Vel.
"Bener tuch, gak da Andre ...." kata-kata Lin terpotong ketika seseorang mulai berteriak.
"Tachibana!"
Sontak anak yang dipanggil menoleh.
"Apa?" tanyanya.
"Kantin sini dulu. Gue mau nambah lagi."
"Gue tunggu disini" Jawabnya dingin.

Jadi namanya Tachibana ..... Senyum Lilin terkembang.
" ..... Tachibana pun jadi." Kata Lilin dalam hati.
Kedua sahabat Lilin pun mulai tersenyum. Gotcha! I get u ….
œ�
Saat pulang sekolah.
"Vel, kamu tau gak siapa temennya Tachibana tadi?" tanya Lin.
"Kalo gak salah namanya Ricki. Mau cari tau lewat dia ya?"
"Makasih pak." Katanya pada penjual siomay depan sekolah. "Iya dong. Bantuin ya?"
"Gak memohon pun kita pasti bakal bantuin kamu." Kata Bily. "Pak, siomaynya komplit 2000." Kata Bily pada penjual siomay.
"Iya, Neng!" Jawab penjual siomay.
"Lho, Lin itu kan Ricki!" kata Vel sambil menunjuk ke arah Ricki.
"Eh, iya! Ayo Vel cari tau! Ly, tunggu bentar ya! Ntar Ricki-nya keburu pergi."
"Iya, cepetan!"

Terburu-buru mereka menghampiri Ricki.
"Hei! Hei! Adek kelas! Ricki!" teriak Vel.
Yang punya nama langsung menoleh.
"Ada apa?"
"Ricki ya?" tanya Lilin.
"Iya, kenapa?"
"Temennya Tachibana?" tanya Vel.
"Iya. Ada apa sich?"
Lilin dan Vel saling memandang. Sementara Ricki mulai penasaran.
"Boleh tau gak ..." tanya Vel.
"Nomor HP Tachibana ... " Lilin melanjutkan.
"Oh, itu. Bentar." Katanya sambil mengeluarkan HP-nya.
Ricki mulai mencari nomor Tachibana.
"Nomornya … "
"Bentar …."kata Lilin sambil mengeluarkan HP-nya.
"086327777" kata Ricki.
"Udah. Makasih ya."
"Iya. Udah kan, Mbak?"
"Udah. Eh, tapi jangan bilang Tachibana kalo kita minta nomor HP-nya. OK?"
"Iya."
"Ya udah, pulang gih! Makasih ya." Kata Lilin.
Ricki mulai pergi. Dan kedua gadis itu tersenyum bahagia.
"Gimana?" tanya Bily tiba-tiba.
"Udah ya? Cepet banget, bukannya rame?" tanya Vel.
"Iya, tu penjual tangannya agak cekatan. Eh, gimana Lin?"
"Dapet!" jawab Lilin
"Siip deh!"
œ�
"Vel, coba hubungi Tachibana!" kata Lilin.
Nongkrong pas istirahat tu nyenengin lho! Hm … apalagi kalo sambil ngomongin cowok.
"Kenapa gak kamu aja sich?" tanya Bily.
"Gak ah, coba dulu pake nomornya Vel. Kali aja kan Ricki bo'ong." Jawab Lilin.
"Berapa nomornya?"
"086327777. Ayo cepet!"
"Bentar, Bu!" kata Vel menenangkan Lilin.
Vel mulai memencet tombol dial. Tak berapa lama kemudian terdengar nada sambung.
"Eh, nyambung koq!" kata Vel.
"Beneran?" tanya Lilin.
"Iya!" jawab Vel.
"Tutup! Tutup!" kata Bily terburu-buru.
Vel menutup telponnya.
"He he he ... akhirnya." Lilin lega banget.
"Kita tunggu kelanjutannya teman!" kata Bily.
œ�
Malam ini Lilin mulai sms Tachibana, berharap sambutan baik menghinggapinya.

Hi ....!

Tak lama HP Lilin berbunyi,

Hi juga ....

Tuhan!!!! Makasih!!!!!!! Segera ia menjawab ...

9Y nGapa!n neehh?

HP-nya berbunyi lagi ...

Gy nonton tv
Siapa ya?

Senyum Lilin terkembang melihat jawaban Tachibana.

Lilin. Gan9gu gak?

Lagi ... berbunyi ...

Oh, Hi Lilin! Gak ganggu kok

Thx God!!!!! Malem tu Lilin menikmati kegiatannya itu.
œ�
Belakangan Lilin mulai menikmati hubungannya dengan Tachibana. Dia ramah banget. Lilin suka. Setiap hari dia bercerita pada Vel dan Bily tentang perkembangannya dengan Tachibana. Bahkan ketika Lilin sms ..

JdikaN cntA sb9 kmbn9 aPi ...
MesKi sIngkaT,,tpI smuA
akaN mn9aguMi keindhaNny,,
jdKan sprtI Li2n y9 reLa haNcur deMi
mNeran9i Org y9 dsyaNgi

atau ....

gUnuNg mnaNgiS kRn
khiLanGan huTanNy.
huTan mnaNGis kRn khilanGan ph0nNy
laUT mnaNgis kRn
khLaNgan teruMbu KranGny...
buMi mnaNgis kRn khlaNgan guNuNg,
huTan n lauTny..
pY cMua ikT bsedih n mnaNgis saaT
mELihaTku mEraNa
khLanGan ssUaTu yG
cGd bhaRga ...
i2 adH kM ....

Kedua sahabatnya pun mulai senang dengan perubahan sikap Lilin. Lama-kelamaan perasaan Lilin berubah, bukan hanya seorang fans terhadap idolanya tapi kali ini dia benar-benar suka ....
œ�
Sampai suatu pagi ....
"Vel! Ly! Denger deh!"
" Ada sich? Pagi-pagi dah gempar!" kata Bily.
"Tadi malem aku sms Tachibana lagi trus dia bilang kalo dia udah berkeluarga. Masa sich anak kelas 2 SMA dah berkeluarga?"
"Ya iyalah. Mank kedua orang tuanya bukan kluarganya? Pantes donk kalo dia ngomong gitu." Kata Bily.
"Iya yah, bener juga. Tadi malem aku sempet ngirain dia bo'ong tapi dia tetep keukeuh kalo dia udah berkeluarga. Makasih Ly."
"Makanya jangan suudzon dulu. Pikir dengan kepala jernih." Kata Vel.

Tapi pagi itu adalah awal dari sebuah perubahan besar bagi Lilin.
œ�
Singkat cerita ....

"Teman-teman! Dia ngajakin ketemuan!" kata Lilin girang.
"Di mana?" tanya Vel
"Hoka-Hoka Bento."
"Kapan?" tanya Bily.
"Pulang sekolah ini."
"Ya udah, temui aja. Kita temenin deh." Kata Bily.
"OK!

Sampai di HokBen (Hoka-Hoka Bento-red) mereka mulai mencari-cari Tachibana.
"Ada gak?" tanya Lilin.
"Gak da deh." Kata Vel.
"Tapi tadi ada Honda Tiger di parkiran." Kata Bily.
"Telpon dulu deh ..." kata Vel.
Lilin menghubungi Tachibana. Selang beberapa saat.
"Dia udah nunggu koq. Katanya pake jaket item, gitu."
"Trus ...." Bily mulai tidak sabar.
"Ya, itu tadi aku bilang aku pake baju biru."
Kemudian, selang beberapa saat, seorang bapak-bapak berjaket hitam menghampiri mereka. Kontan Lilin langsung shock. Dia tak percaya, begitupun kedua sahabatnya. Tiba-tiba mereka langsung berlari kencang. Lilin menahan air mata sambil berlari. Pikirannya kalut. Tak lama tangisnya pecah. Tuhan .... katanya dalam hati.
Hosh hosh hosh hosh ....
"Lin, bapak-bapak tadi ....." kata-kata Vel terputus.
"Aku g tau ... hiks hiks hiks ... kenapa yang muncul bapak-bapak?" Katanya terisak.
"Tenang, tenang Lin. Telpon lagi deh." Kata Bily.
"Iya telpon lagi." Saran Vel.
Lilin mencoba menenangkan perasaannya dan mencoba mengubungi "Tachibana".
"Halo,."
"Halo, Lilin?"
"Iya,. Kamu pake jaket item?"
"Iya, kamu pake baju biru itu kan? Kenapa lari?"
Wajah Lilin pucat pasi. Bapak-bapak = Om-om??? Lilin menutup sambungannya. Kali ini ia benar-benar tak bisa menahan tangisnya lagi. Kenapa jadi gini???? Tiba-tiba seorang lelaki muda menghampiri mereka. Ketiganya terkejut.
"Yang namanya Lilin mana? Kamu?" tanyanya sambil menunjuk Bily
"Bukan!" jawab Bily.
"Kamu?" tunjuknya pada Vel.
"Bukan! Kata Vel. "Dia!" tunjuk Vel dan Bily bersamaan.
"Kamu Lilin?" tanyanya lagi.
"Ayo temui guru kami." katanya
Guru???? Apa-apaan ini???

Awalnya Lilin bersikeras tidak mau tapi setelah dibujuk beberapa kali akhirnya dia bersedia walau ia tau sekali perasaannya hancur. Dia juga punya alasan lain, dia ingin minta maaf. Usianya kini masih remaja, dan ia tidak ingin dianggap perempuan yang tidak baik gara-gara sering sms bapak-bapak. Sesampainya di sana jantungnya berderap kencang, pikirannya kalut. Tangisnya semakin menjadi-jadi ketika ia diminta bercerita oleh bapak-bapak tadi kenapa Lilin sering sms bapak-bapak itu. Dan dia baru tahu kalo bapak-bapak tadi bernama Pak Dhimas, seorang guru SMA di kotanya. Pak Dhim juga mengajak murid-muridnya untuk menemani menemui Lilin bertiga, karena dia yakin Lilin dan kawan-kawan pasti akan shock. Setelah puas bercerita barulah perasaan Lilin lega. Dan barulah tersadar bahwa ia telah mempermalukan dirinya di depan semua orang. Tapi dia masih tetap shock. Jadi selama ini dia udah sms-an sama seorang Guru yang sudah berkeluarga dan memiliki dua anak???? What a crazy is it!!!!! Ya Ampyyuuuuuuunnnn .....
-End-
Wonosobo, Desember 2008

Klik disini untuk melanjutkan »»

Selasa, 18 Agustus 2009

STATUS PALSU...

. Selasa, 18 Agustus 2009
View Comments

Suara kokok ayam membuat aku terjaga dari tidur. Mengakhiri mimpi-mimpiku semalam. Cahaya mentari mengintip dari ventilasi jendela, menyilaukan mataku yang kupaksa membuka kelopaknya. Kuberi kedipan manis untuk Pussy, boneka kucing kesayangan yang selalu ada di samping bantal. Dia membalas dengan mengucapkan ‘good morning’dengan bahasa bangsa boneka yang tak pernah kumengerti. Segera kujulurkan tangan mengambil guling yang jatuh ke lantai, korban ‘tidur liarku’ semalam. Selimutku! Menggantung di kaki ranjang tidur. Uaaaah… dengan malas kuputar pinggang ke kanan dan ke kiri, menggeliat. Pemanasan paling baik setelah tidur, menurutku.

Pandanganku terhenti pada kalender yang tergantung di dinding. Kemarin tanggal satu bulan Juli. Hari Bhayangkara, hari Anak-Anak Indonesia, tahun pembelajaran baru sekolahku dan… hari Sabtu tentunya. Sekarang, tanggal dua. Hariku. Maksudnya, tepat tujuh belas tahun lalu hari pertama aku memperoleh hak hidup di dunia ini. Aku meloncat dari tempat tidur dengan girang seperti anak kecil menyambut kedatangan ibunya. Ah, bodoh amat, pikirku. Mengapa harus girang? Bukankah dengan bertambahnya umur berarti jatah hidupku di dunia ini semakin berkurang? Cita-cita masih mengambang, ilmu masih mepet. Duit masih minta mama, rumah numpang papa. Tak ada yang bisa kubanggakan.

Kutatap wajahku di depan cermin. Apa yang aku punya selama ini? Wajah oval bibir sensual. Tahi lalat di pipi dan dahi. Serta identitas puberku, sebutir jerawat di bawah hidung. Leher jenjang, dada sedang, perut langsing, paha sampai betis terbentuk sempurna. Tangan lampai, jemari lentik, semakin cantik dengan tahi lalat di jari tengah tangan kiriku. Kuku tangan kubiarkan memanjang menyempurnakan jemariku yang meruncing ujungnya. Bagian tubuhku yang disukai Yasrul adalah jariku.
“Hasil pahatan seniman yang bernilai seni tinggi”, katanya memuja jariku yang menari di whiteboard menyalin tugas bahasa Inggris dari Pak Jono. Satu lagi, kulitku, wajahku kuning langsat, bersih meski tanpa make up. Percuma!

Bangkit dari kekaguman pada bayangan tubuhku di cermin, kuambil diary biru lazuardi di laci meja. Membuka kembali sejarah yang pernah mengisi lembaran hidupku.
...Senin, 2 Juli lima tahun lalu, rangking satu. Kado ultah yang kedua belas. Heboh, usil, konyol.
Kucoba meraba makna dari tiga kata terakhir itu. Ulang tahun paling membekas dalam ingatanku.

Sesudah penerimaan raport cawu tiga, kegiatan ekskul belum diliburkan. Malahan lebih ditingkatkaan. Drumband yang biasanya sekali seminggu, kini menjadi tiga kali seminggu. Maklumlah, semua itu dipersiapkan untuk menghadiri undangan di balaikota tanggal dua belas Agustus nanti. Untuk upacara tujuh belasan di lapangan Pancasila pun grup drumband dari SD kami yang akan mengisinya. Walaupun tujuh belas Agustus masih sebulan lebih, tapi persiapan yang matang akan membuat kami tampil pede di depan peserta upacara nanti.

Kedisiplinan baris-berbaris kami tingkatkan. Pak Kurnia, guru drumband-ku mengajarkan beberapa variasi baris-berbaris. Pak Kurnia mengajari kami formasi barisan yang membentuk angka lima puluh enam (karena HUT RI ke 56 saat itu). Bagaimanapun juga kedisiplinan baris-berbaris dalam drumband lebih menyenangkan daripada Pramuka. Kedisiplinan yang fun dalam drumband membuat kami aktif dalam mengikuti kegiatan ekskul tanpa ganjalan apapun. Tidak seperti Pramuka di sekolah lanjutan, aku mengikutinya hanya untuk menghindari sanksi dari kakak-kakak Dewan Ambalan.

Menjelang 17-an, lagu-lagu daerah seperti Suwe Ora Jamu dan Kampuang Nan Jauh di Mato diganti dengan lagu-lagu nasionalisme. Kali ini Pak Kurnia memberi lagu Bangun Pemuda-pemudi. Mula-mula kami mencatat not angka lengkap dengan intro. Selesai mencatat kami mengambil instrument masing-masing seperti pianika, bass dan tamtam, sesuai dengan peranan kami tanpa menunggu komando dari Pak Kurnia. Guru membacakan not-not angka tiap-tiap baris dan kami mengulangnya.

’sol do re mi sol sol fa mi re do re mi
sol do re mi sol sol fa mi re mi re do…’

Begitulah intro lagu Bangun Pemuda-pemudi dibacakan oleh Pak Kur diikuti suara kami. Pak Kur begitu telaten mendengarkan pita suara kami yang masih sering false sehingga dalam dua kali tempo, kami sudah bisa mengulangnya dengan tuts-tuts pianika. Tanpa waktu panjang kami masuk ke lagu.
‘sol mi fa sol do re mi do do si re do si la sol
sol mi fa sol do re mi do re re mi fa sol……

Bangun pemuda pemudi Indonesia
Lengan baju kau singsingkan untuk negara…….’

Sekali lagi kami mengikuti suara Pak Kur. Tak lama kemudian kami sudah bisa mengalunkan ‘Bangun Pemuda-pemudi’ mulai dari intro sampai selesai. Satu lagu penuh dengan tuts-tuts pianika. Giliran pemegang alat musik ritmis mendapat pelatihan Pak Kur untuk mengiringi alunan musik melodies. Gema drumband yang merupakan perpaduan alat musik melodies dan ritmis memenuhi ruangan tujuh kali tujuh yang biasa kami pakai berlatih drumband ini. Pak Kur memacu semangat kami dengan lambaian tangannya seperti seorang dirigen memimpin sebuah koor. Dan suara pianika, tamtam, bass berpadu selaras dan harmonis menyerupai pertunjukan orkestra Erwin Gutawa.
Setelah berlatih di dalam, kamipun digiring keluar ruangan. Sesegera mungkin kami membentuk formasi barisan sebelum kedua mayoret datang. Dua deretan paling depan adalah pembawa bendera triwarna, pink, kuning, dan biru. Warna bendera grup drumband kami. Disusul empat deretan pemain pianika, termasuk aku. Di belakangnya dua barisan pembawa tamtam. Tetapi dimana Victor? Rupanya dia sedang mengganti stick tamtamnya yang patah ketika latihan indoor tadi.

One…two…three… suara Septi dan Netik disertai gerakan lincahnya menarikan tongkat mayoret memberi aba-aba tanda mulai. Bunyi tamtam, bass disusul pianika membentuk kesatuan irama pembukaan. Permainan orkestra kami mulai goyah ketika dikombinasikan dengan gerakan membentuk formasi lima enam. Bunyi peluit panjang Pak Kur mengisyaratkan supaya kami berhenti. Dilatihnya kami membentuk formasi lima enam tanpa diiringi drumband. Setelah bisa baru dimulailah kombinasi orkestra drumband kami dengan formasi lima enam.

Selanjutnya kami mulai keluar dari kompleks sekolah dan berjalan mengelilingi sebuah gang di samping sekolah kami. Kedisiplinan dan ketertiban baris-berbaris kami mulai diuji. Inilah yang palin berat bagi kami, drumband sambil berjalan dengan melihat kiri kanan meluruskan barisan. Sampai di lapangan kami beristirahat kurang lebih limabelas menit sebelum akhirnya berlatih lagi.

“Ini untuk melatih mental kalian menghadapi lapangan yang luas dan para peserta upacara yang mungkin membludak nantinya,” kata Pak Kur ketika kami mulai mengeluhkan panasnya hawa di lapangan.

Matahari mulai melangkah ke barat ketika kami kembali dari lapangan. Drumband ditutup dengan lagu Happy Birthday di halaman sekolah. Tak seperti biasanya yang menggunakan lagu Sayonara sebagai lagu penutup. Lagu itu mereka dendangkan untuk aku tentunya.

Keluar dari kelas tanganku ditarik-tarik Asni dan Retno ke tengah halaman. Satu persatu bungkusan plastik transparan berisi air dilemparkan teman-teman ke aku.
“Sialan semuanya, hentikan!!” teriakku. Meronta berusaha lepas dari mereka. Namun mereka malah tertawa seakan tak mendengarkan suaraku.
“Ada apa ini, ada apa?” suara Pak Kur terdengar dari kantor guru.
Pak Kur hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal itu, saat melihat tingkah usil teman-temanku. Kemudian beliau mengambil sebuah bungkusan dari dalam tasnya dan diberikannya kepadaku.
“Selamat ulang tahun, Diah. Bapak ada sesuatu buat kamu.” Masih sambil tersenyum walaupun aku tahu kata-kata Pak Kur tulus.

Dengan baju basah aku pulang menjinjing pianika di tangan kanan dan kado ulang tahun di dalam tas yang juga sedikit basah.
“Nanti juga kering kena sinar matahari, Diah.”kata Asni yang berjalan di sampingku karena rumah kami searah.
“lho nduk, ngendhi sing wis udan?” tanya seorang kakek penjaga masjid, begitu melihat bajuku basah kuyup.
“Hi…hi…hi…”
Aku dan Asni ketawa cekikikan, sementara sang kakek masih terbengong-bengong melihat baju dan kepalaku basah.
Sampai di rumah, kubuka bungkusan kecil pemberian Pak Kur. Jam beker berbentuk piano miniatur dan kertas kecil bertuliskan ’sweet twelve, Diah. Pertahankan prestasimu dan jadilah yang terbaik selalu’
Kutatap jam beker yang sekarang sudah usang itu. Debu musim kemarau suka sekali hinggap di atasnya. Catnya sudah sedikit terkelupas. Pada kacanya tergores noktah kenangan enam tahun silam. Masa akhir kanak-kanakku. Tarikan napas panjang menutup semua anganku yang entah berapa lamanya, kembali terpampang memory di usia sebelas tahun lewat jam beker yang usang itu. Kututup diary.

* * * *

Dua puluh menit sudah aku di kamar mandi. Harum aroma bath soap membuat aku enggan cepat-cepat beranjak keluar. Baru setelah terdengan suara ibu memanggil, kupercepat aktivitasku di kamar mandi.
“Diah, cepatlah, Yasrul sudah datang!” kusambar handuk yang tergantung di sudut, kini telah membalut tubuhku.

Sekali lagi aku berkaca di depan cermin. Menyempurnakan sapuan bedakku. Rambutku yang mulai tak rapi dan sedikit liar harus kututupi dengan kerudung tsunami pendek warna creamy terpadu sempurna dengan baju kuning motif bunga. Munafik, munafik, munafik kau Diah! Tiba-tiba cermin di depanku menembakkan kata-kata sarkatisnya kepadaku. Untuk yang kesekian kali. Setiap aku bersolek di depan cermin ini, dia selalu bilang,,”Munafik kau, Diah” tapi aku tak mengerti makna di balik ucapannya itu. Dan memang akupun tak mau mengerti. Bergegas aku keluar kamar dengan tas kecil di bahu kiriku.
“Udah lama, Rul?” sapaku begitu melihat Yasrul di kursi tamu, terpaku. Entah apa yang dipikirkanyya.
“Oh, baru saja kok. Yuk kita berangkat.”
“Ibu, Diah berangkat dulu, ya..” tanpa menunggu jawaban ibu, aku keluar bersama Yasrul.

Dihidupkannya Supra X warna tembaga dan aku membonceng tanpa rasa canggung. Tak lama kemudian motornya telah melesat dengan kecepatan sedang menginjak jalan beraspal yang mulai aus digilas kendaraan berat. Sesampai di rumah Wiwid tak ada seorangpun yang kami temui sehingga memaksa langkah kami lebih jauh ke ruang tengah. Rumah Wiwid biasa kami gunakan untuk ngumpul bareng dan belajar kelompok. Di ruang tengah inilah kami biasa berkumpul sekedar main-main, dan berdiskusi teenagers.
Lama aku menunggu Wiwid. Yasrul yang dari tadi diam saja , mulai gelisah. Aku berusaha menggodanya.

“Rul, kata guru agama jika seorang cewek dan cowok menyepi berdua kaya gini syetan jadi pihak ketiganya”
“Kau percaya itu?”
“Percaya. Karena memang di belakangmu ada syetan.” gurauku sambil melemparkan boneka dracula ke punggung Yasrul. Boneka itu dibuat sendiri oleh Wiwid dalam tugas hasta karya sewaktu SMP.

Yasrul tertawa. Tawa manis yang setiap hari mengundang kerinduanku padanya. Tiba-tiba dari arah dapur terdengar terdengar suara teman-teman yang tak asing lagi bagiku. Menyanyikan lagu klasik yang yang mengiringi setiap ceremonial potong kue pada waktu ultah. Wajah mereka muncul satu persatu dari balik gorden. Lidya, Retno, Lukman, Pinkan dan Tio. Wiwid di belakangnya membawa nampan dengan tart ulang tahun di atasnya.
Tart bergaris tengah tigapuluh centimeter itu terbalut butter cream biru. Warna kesukaanku. Di atasnya tertancap patung mini dua sejoli berdansa dengan gaun warna putih. Dalam imajinasiku patung itu adalah Yasrul dan aku di sebuah pesta dansa serupa Julius Caesar dan Cleopatra.

Segera satu persatu kecupan pipi menghujani mukaku. Retno, Lidya, Wiwid, dan Pinkan memelukku mengucap “Met Ultah, Diah” aku tiup lilin berbentuk tujuh belas itu.
Aku hanya sanggup menahan haru dan bahagia saat Wiwid menyodorkan pisau kecil untuk mengiris kue tart. Potongan pertama kuberikan pada Yasrul yang dari tadi berdiri di sampingku. Ia memasukkan sendok kecil berisi kue tart ditaburi ketulusan kasih yang lahir dari hatinya yang paling dalam. Belum sempat menyelesaikan kunyahanku ketika sebuah jari mencoret-coret mukaku dengan butter cream dari tart itu disusul jari-jari usil dari teman-teman yang lain.

Dalam sekejap mukaku berubah menjadi kanvas yang penuh coreng-moreng cat seorang seniman yang frustasi karena gagal menyalurkan alam bawah sadarnya di media lukis.
Tiba-tiba aku telah duduk di kursi panjang berdua dengan Yasrul. Entah bagaimana mulanya tak kusadari benar. Terasa ada magnet yang menarik kami berdua untuk singgah di kursi ini.

“Diah, kaulah Cleopatraku. Kaulah permaisuriku yang pantas mendiami dataran Kashmir. Dan kita bangun istana cinta di atasnya.” kata-kata itu telah berulang kali kudengar dari bibir lembut Yasrul. Hanya kusambut dengan senyum kecil, namun bahagia raya di dasar hatiku

Hanya beberapa inchi jarakku dengan Yasrul, ketika bibirnya menyentuh bibirku. Berbaur, menyatu. Kecupan lembutnya telah melumat bibirku, membuatku kehilangan setengah kesadaran, bumi tempatku berpijak hilang dari pandangan dan aku melayang di suatu dunia lain. Di luar atmosfer mendekati bulan. Tanpa tarikan gravitasi bumi.
Darahku mendidih. Denyut nadi tak berirama sebagaimana jarum jam aku nervous. Lemaslah seluruh persendianku. Tak kuhiraukan lagi Retno, Lukman, Tio, Wiwid, Lidya dan Pinkan di ruang tengah yang mungkin memelototiku dan Yasrul. Lupa dengan jatah hariku yang makin habis di makan usia. Aku mengintrospeksi diri, meneropong misteri masa depan. Siang hari aku buang jauh segala koreksi atas diriku. Kerudung yang kupakai tinggal identitas palsu, berganti kebohongan lewat terpadunya dua bibir dan belaian manja tangan Yasrul. Terngiang kembali sarkasme cerminku tadi pagi. Betulkah yang ia teriakkan, aku munafik? Sedangkan aku masih saja mempraktikkan “French kissing” dengan Yasrul.

(sebuah renungan dari siswi di Solo)


November, 14th ‘06

Klik disini untuk melanjutkan »»

Senin, 10 Agustus 2009

DUNIA LAIN

. Senin, 10 Agustus 2009
View Comments

Tiba-tiba datang kepadaku. Seorang lelaki berperawakan kurus tinggi. Kepala oval dengan volume yang tak sepadan dibandingkan dengan perawakannya. Sepatu kets putih lusuh tanpa kaus kaki berpadu padan secara ganjil dengan celana pendek coklat dan baju coklat muda menunjukkan kostum kepanduan. Hari itu Jumat pagi Matahari belum tinggi. Aku masih berdiri di lobi sekolah menunggu pergantian jadwal mengajar beberapa jam ke depan.
Lelaki berwajah lugu itu menghampiriku. Aku menyambutnya dengan antusias dan santun. Beberapa patah kata yang keluar dari mulutnya tak kunjung bisa kupahami meski telah kunaikkan level adrenalin di kepalaku hingga mencapai titik maksimum. Yang bisa kumengerti adalah bahwa dia memiliki pita suara yang sama sekali getarannya tak bisa ditangkap oleh genderang telingaku yang terlatih mendengar wacana verbal dari ribuan muridku. Dia difabel. Aku hanya bisa mencoba membaca isyarat dan bahasa tubuh yang ia mainkan.
Beberapa belas menit berlalu, aku kewalahan. Telah kukerahkan segala kecerdasan yang kurasa kumiliki sebagai guru bergelar master. Namun berakhir dengan putus asa. Kuberikan padanya selembar kertas yang tergeletak di atas meja lobi dan kucabut sebuah pena dari saku bajuku yang selalu bertengger sepasang. Dia menulis beberapa nama. Aku mengernyitkan dahi dengan sangat dalam. Dia memandangku sesaat dan menulis lagi beberapa kata berikut angka-angka yang aku tahu itu bukan nomor teleponku, juga bukan kantorku.

Aku masih tidak mengerti. Meski ia sudah berusaha menjelaskan dengan bahasa yang tak kupahami. Dia mulai putus asa juga. Sedikit memang yang kupahami dari bahasa isyarat yang ia mainkan, ketika tangannya memperagakan memegang stang kemudi motor atau stir mobil. Aku hanya meyakini ini pasti berkaitan dengan salah satu dari kedua benda itu. Aku pandangi sekeliling tempat parkir mobil dan motor yang terletak di depan lobi. Tak ada yang janggal, menurutku. Lalu ia menunjuk dadanya dengan jari, kemudian mengarahkan telunjuknya ke area parkir. Aku mulai mengerti.
Aku memutuskan untuk menyimpulkan bahwa pria aneh yang berdiri di seberang meja lobiku itu minta diantarkan ke suatu tempat dengan kendaraan. Sebisa mungkin aku ekspresikan kesimpulan ini dengan isyarat tangan diikuti bahasa verbal versiku
“Anda ingin saya mengantarkan Anda naik motor ke suatu tempat?”
Dia menjawab dengan ekspresi puas dan lega. Aku bergegas menuju sepeda motorku yang parkir di ujung lorong. Ia mengikuti dari belakang dengan langkah aneh...
Sadar aku bahwa ini ghosob, kupinjam tanpa pamit helm yang bertengger di motor teman mengajar dan kuberikan pada lelaki aneh itu. Sesaat ia memantapkan dudukannya di belakangku, dan motorku segera melaju tanpa tahu arah yang harus dituju. Kesadaran ‘kiri’ku membisikkan kemungkinan tindakan jahat yang mungkin dia lakukan ketika ada di belakangku tanpa bisa kupantau gerak-geriknya. Teringat aku akan berita-berita di koran dan tivi tentang tukang ojek yang dianiaya penumpangnya. Tapi aku hanya pasrah. Karena hanya itu yang bisa kulakukan.
Salah satu kata yang ditulisnya di atas kertas yang sedikit memanduku adalah tulisan “SLB C”, maka kubelokkan motor ke kanan menuju arah Tirtonadi, karena di sanalah aku ingat ada papan penunjuk jalan tertulis SLB C. Dia meronta dan memintaku untuk jalan lurus saja. Aku mencoba mengalah sembari memahami cara pikirnya yang menurutku sangat tipikal. Tirtonadi juga bisa ditempuh dengan jalan lurus yang artinya akan memakan lebih banyak kilometer. Tiba di persimpangan kukirim isyarat kepadanya bahwa ini saatnya belok kanan, meski terus lurus juga masih memungkinkan mencapai Tirtonadi dengan lebih banyak lagi kilometer. Tetapi dia meronta lagi. Bahkan memintaku untuk belok ke kiri. Aku mulai gundah. Ini jalur yang sepi, meski ujungnya adalah sebuah perumahan yang ramai, Mojosongo Permai. Berkali-kali aku menelan ludah kegalauan sambil terus berharap semua akan baik-baik saja. Jarak yang hanya tujuh ratus meter menuju persimpangan Mojosongo itu terasa seperti tujuh mil.
Tepat di tengah jalan sepi dengan rerimbunan akasia, dia berteriak dengan bahasa anehnya kepada sekelompok lelaki di tepi jalan. Segera kuhentikan motor menghampiri mereka dengan perasaan sedikit lega. Dia asyik ngobrol dalam bahasa aneh dengan mereka dan aku konsentrasi pada lelaki bertopi untuk menanyakan kira-kira kemana penumpang misteriusku ini minta diantar. Lelaki bertopi itu menunjukkan ekspresi bingung dan tidak menjawab pertanyaanku. Aku mulai merasa bersalah, apakah mereka juga difabel? Beberapa menit kemudian setelah dia melepas topinya dan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, dia mulai bicara. Aku lega. Setidaknya aku tidak lagi berada di dalam hutan yang sunyi dan mencekam. Lelaki bertopi itu menjelaskan bahwa dia sering melihat lelaki yang duduk di belakangku itu jalan kaki di sepanjang jalan ini atau diantar dengan sebuah mobil hijau menuju arah Timur. Hanya itu informasi yang aku peroleh. Aku kembali masygul. Tak ada alasan yang memadai kecuali mengikuti keinginan penumpang misteriusku ke arah manapun yang ia mau.
Motor kembali melaju dengan kecepatan dua puluh. Sempat aku berpikir apakah penumpangku ini semacam Forrest Gump (salah satu film layar lebar monumental yang dibintangi Tom Hanks). Ach,... apapun dan siapapun dia, aku sudah terlanjur memutuskan untuk mengikuti apa saja yang ia mau. Baru kali ini aku merasa seperti melompat dalam sumur tanpa dasar. Melakukan sesuatu tanpa harus tahu akhirnya akan seperti apa. Saat terlunta-lunta dua tahun untuk mengakhiri tesis masterku, setidaknya aku sadar dan tahu setiap konsekuensi paradigmatik yang bakal mengikutinya jika aku memutuskan berpijak pada salah antara positivistik, phenomenologik, atau post positivistik. Aku hanya butuh waktu untuk mengumpulkan keberanian memilih jalan berpikir. Sehingga harus kutulis :

“Sebuah kebimbangan besar menggelayuti proses yang kulalui untuk mengakhiri penelitian ini. Aku bisa dan kuasa membawa arah dan kesimpulan (penelitian) ini ke manapun yang ku suka dengan berlindung pada segudang teori-teori yang tersedia. Hasilnya bisa jadi sangat fantastis (atau bahkan bombastis!)
Pada saat yang sama aku menyadari telah melakukan tindakan yang zalim bila hal itu dilakukan, dengan mempermainkan dunia pendidikan seperti sepotong lempung yang bisa sesuka hati kubentuk apapun meski dengan referensi yang sahih.
Aku memutuskan untuk tidak mengambil langkah itu, dan butuh dua semester untuk merenungkannya. Akhirnya, seburuk apapun karya yang kulahirkan ini, inilah aku. Dengan segala ketulusan intelektualku...”

Lamunanku terasa sublim sekali dalam laju motor yang rendah ini. Dan teriakan si Forrest Gump membangunkan kesadaranku, saat ia minta supaya aku membelokkan arah motorku ke kiri. Aku semakin heran, karena ini adalah arah menuju pinggiran Solo yang jalannya masih berbatu-batu dan sungainya kering. Beberapa ratus meter kemudian dia bersorak girang sambil menunjukkan papan nama bertuliskan Yayasan Bina Sejahtera dengan arah panah menuju gang kampung. Sebuah yayasan sekolah luar biasa campuran A, B dan C.
Kutelusuri gang kampung yang sepi dan asing bagiku ini. Kanan kiri tak banyak hal yang menarik diamati selain gerombolan kambing di antara rerumputan dan pohon-pohon yang meranggas. Ketika jalan menikung turun si Forrest Gump berteriak girang menunjuk ke arah gedung sekolah berwarna hijau teduh sambil meneriakkan kata yang dalam penafsiran genderang telingaku berbunyi ‘ibu!...ibu!...ibu!...’. Aku membayangkan seorang ibu dengan tubuh subur dan raut wajah sabar akan menyambutku di depan kantor yayasan itu. Ruang kantor sepi. Tak sorangpun berada di meja kerja atau duduk di lobi. Sementara si Forrest Gump langsung berlari menuju kelas. Kelas gaduh dalam bahasa aneh, sesaat aku mengenal sebuah frekuensi suara yang akrab di telingaku dalam warna tenor “berangkat dengan siapa kamu Yongki?”. Rupanya lelaki aneh ini namanya Yongki. Demi etika, aku masuk kelas yang dipimpin seorang bapak guru ini.
Aku memperkenalkan diri dan berbasa-basi dengan pak Tikno, yang namanya bisa kukenal lewat nameplate yang bertengger di dada kanannya. Dia menjelaskan bahwa Yongki tinggal di asrama yang letaknya lima kilometer dari sekolah tempatku mengajar. Rupanya tadi pagi Yongki telah menempuh jalan sejauh itu dan kelelahan ketika memutuskan masuk menemuiku. Yongki memang sering memisahkan diri dari kelompok sehingga sering tidak ikut mobil jemputan. Aku hanya diam menyimak penjelasan pak Tikno, dan sebenarnya justru lebih serius mencuri pandang pada apa yang terjadi pada Yongki dan teman-temannya.
Segera saja Yongki di kelilingi teman-temannya yang berlainan jenis difabel, berlainan jenis kelamin, bahkan usia. Mereka bicara entah dengan bahasa apa. Yang kutangkap mereka berkomunikasi dengan serius, bercakap-cakap dan bercanda saling cerita. Mereka mungkin Rika, Pungky, Mei atau Budi seperti yang ditulis Yongki pada selembar kertas yang kukantongi. Aku merasa seperti berada di planet yang salah. Di dunia lain.

***
Kupacu motor dengan kecepatan lambat dan hati masygul menuju sekolahku. Aku menangis. Sesenggukkan di tengah hingar bingar lalu lintas. Aku tak tahu apa yang aku tangiskan. Tatapan mata aneh dari para pengendara yang berlawanan arah, tak kuhiraukan.

Aku menangis saat kusadari
Betapa aku tidak bisa memahami bahasa Yongki, dan dia tidak bisa memahami bahasaku. Aku ternyata seorang guru master yang bodoh...
Aku menangis saat menyaksikan raut kebahagiaan Yongki dan teman-temannya. Mereka seperti menciptakan dimensi sendiri di sela-sela dimensi ruang dan waktu dimana aku berada dan mereka juga ada. Mereka menjebol sekat-sekat ruang dan waktu itu, dan berhasil menemukan kebahagiaan sejati dengan cara mereka sendiri...
Aku menangis....
Karena baru sedikit fenomena kehidupan yang bisa kupahami...

Orang bilang mereka cacat. Tapi kelebihan hakiki berupa kebahagiaan tulus yang mereka miliki tak dipunyai oleh orang-orang yang mengaku normal.
Pada dasarnya setiap makhluk dilahirkan dalam keadaan cacat. Karena cacat itulah ia jadi sempurna...

Mojosongo-Solo, September 2006
By. S. Agus Santosa, M.Pd

Klik disini untuk melanjutkan »»

Kamis, 30 Juli 2009

RAHASIA CITA

. Kamis, 30 Juli 2009
View Comments

Cita tak kuasa lagi membendung air matanya. Mengalir begitu saja usai lelaki di sebelahnya mengucapkan kata-kata sakral. Dua potong tisu tak mampu membendung banjir air yang keluar dari dua matanya yang indah dan dua lubang hidungnya yang menggunung. Dari sudut matanya yang sembab dilirik lelaki setengah baya di depannya, ayah Cita. Lelaki itu pun tak mampu menyembunyikan perasaan antah barantah yang berujung embun di sudut mata. Lelaki di kanan Cita tetap tegar dan tenang seperti sebelumnya. Dia menjadi suami syah Cita secara empiris.
“Cita, kami pulang dulu. Besok kemari lagi. Pestanya masih dua hari lagi khan ?”. Aku hanya bisa mengangguk seraya memoles wajah dengan sedikit senyum terpaksa. Mama kak Ade mengucapkan kata-kata pamitan atas nama keluarga, dan membawa suamiku pulang ke rumahnya. Kak Ade sendiri tak banyak berkata-kata, atau aku yang tak mendengarkan kata-kata kak Ade, entahlah. Bagiku kini, kata-kata Mas Pras jauh lebih memberi makna dari ucapan ijab kabul kak Ade. Aku bergegas masuk kamar pengantin yang masih perawan ini sepeninggal suamiku. Kuangkat gagang telepon dan kumainkan jari jemari menekan nomor yang sudah sangat aku hapal. Bahkan jari jemariku mampu melakukannya sendiri tanpa perintah otak di kepalaku. Dan bahkan telepon ini mampu menekan dirinya sendiri menuju nomor telepon di seberang sana, di meja kamar tidur mas Pras.
Tonika pertama muncul dari seberang telepon memecah lamunanku yang sesaat tetapi terasa dalam itu. Tiba-tiba tangan kiriku secepat kilat menekan tombol off hook, hubungan telepon pun terputus. Aku menimang-nimang diary merah tua sambil melangkah bimbang. Diary itu selalu kubawa kemanapun pergi. Bahkan pergi ke pasar sekalipun. Pada diary ini tersimpan separuh dari jiwaku yang pernah hilang. Kini menyembul keluar membuatku tersentak kaget seakan tak percaya dengan diriku sendiri. Separuh jiwaku ada pada sosok mas Pras. Pria tampan bijaksana yang aku kenal secara dekat tiga minggu terakhir.

Mas Pras teman sejawatku mengajar. Selama ini aku mengenalnya sebagai sosok guru yang idealis. Karena idealismenya dalam pendidikan kami sering membicarakan, em… lebih tepat mengolok-olok dan memberinya label Umar Bakrie. Sebenarnya terlalu muda bagi mas Pras mendapat julukan itu. Jiwa muda dengan kebijakan a la Jalaludin Rumi yang membuat mas Pras tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Lebih matang. Aku sendiri tidak mengerti mengapa guru sebaik mas Pras justru dipergunjingkan. Belakangan aku tahu lewat penuturan mas Pras, bahwa ia berpihak kepada siswa; itu yang membuat teman-teman guru tidak sependapat. Mereka masih dalam paradigma bahwa guru adalah segalanya, dan siswa adalah botol kosong.
Seringkali aku melihat mas Pras ngobrol serius (dia selalu mengelak dikatakan berdiskusi) dengan Bu Tria guru Biologi yang cantik. Topik apa pun selalu menjadi obrolan serius mereka berdua. Dari masalah teori evolusi, mutasi genetis sampai masalah anomali-anomali makhluk hidup. Kali lain kutemukan mas Pras tengah serius pula ngobrol dengan bu Minah Guru senior Fisika yang terkenal killer. Jangankan siswa, guru pun enggan bicara dengannya. Entah ajian apa yang dimilikinya sehingga bisa ngobrol seindah itu dengan bu Minah. Topik yang serius mengenai kegagalan Newton membuat definisi gerak, teori kuantum, sampai Relativitas Einstein bisa dijalani dengan tetap dibumbui gelak tawa. Suatu ketika kulihat mas Pras asyik ngobrol dalam bahasa Jerman dengan pak Topa guru bahasa Jerman. Tetap dengan tawa. Aku cemburu. Mas pras telah mengobrol dengan banyak teman-teman guru, dan mampu menjiwai semuanya. Untuk ukuran sebagai guru bahasa Indonesia kemampuannya memang luar biasa. Hobi membacanya tergolong istimewa. Apapun jenis buku ia membaca. Sepertinya mas Pras tidak memiliki alergi ilmu tertentu. Bahkan sekali waktu kucuri pandang buku-buku bacaan yang dibawanya untuk mengisi waktu senggang di kantor guru. Mas Pras ternyata menguasai bahasa Inggris dengan baik. Buku-buku filsafat pendidikan John Dewey, Francis Schrag, Michael Fullan sering kulihat tergeletak di mejanya yang berantakan tetapi tertata rapi. Terakhir kulihat buku Fritjhoef Capra ‘Titik Balik Peradaban’ versi asli berbahasa Inggris; ‘Turning point’. Aku sendiri sebagai guru bahasa Inggris hanya mampu membaca edisi terjemahan. Aku menjadi tahu bahwa mas Pras piawai berbahasa Inggris. Mengapa tidak mengajak ngobrol aku? Bukankah aku lebih menarik dari bu Tria apalagi bu Minah?
Saat itu aku tengah jengah setelah memberi ulangan harian. Ketika hendak masuk ruang guru aku dikagetkan dengan sosok idola yang ada didepanku. Bukan lantaran dia tiba-tiba di depanku, tetapi dia menyapaku dan mengajak ngobrol. Aku tersanjung.
“Bagaimana hasil ulangan anak-anak Bu Cita? Tentu bagus-bagus Bukan? Saya tahu Bu Cita guru yang baik dan disukai para siswa”. Mas Pras memberondong pertanyaan seakan tak memperdulikan bagaimana gugupnya aku menghadapi situasi itu. Aku menghela napas seraya menetralisir perasaan. Sedari pagi cuap-cuap di depan kelas tentu bukan hal yang ringan sesiang ini dipacu adrenalinnya. “Kalau sedang gundah seperti ini Bu Cita justru tampak memikat lho”. My god…. Kali ini adrenalinku sampai ke ubun-ubun. Mengetahui raut mukaku yang memerah karena dipuji bercampur lelah, mas Pras menarik tempat dudukku dan mempersilakan aku duduk sementara dia sendiri mengambil kursi bu Deli yang ada di sampingku. Keluarlah joke-joke segar dari bibirnya yang indah yang selalu membuatku bergetar bila memandangnya lama-lama. Aku jadi segar kembali untuk bisa menanggapi obrolannya. Mas Pras pandai membuat atmosfer. Aku tak mengira selama setengah tahun mengajar di sekolah ini diperhatikan secara detil oleh orang lain. Apalagi orang itu mas Pras! Dia bercerita tentang perkembangan siswa dalam memahami wacana ilmiah. Dan menurutnya perkembangan yang sangat signifikan itu oleh sebab kemampuanku membawa siswa belajar dengan benar bahasa Inggris. Kemampuan berbahasa Indonesia siswa meningkat sejalan dengan peningkatan kemampuan bahasa Inggrisnya. Wow… kesimpulan yang luar biasa. Tidak salah kepala sekolah mengangkatnya sebagai ketua Litbang. Jabatan bergengsi setelah wakil kepala. Lebih lagi untuk seusia mas Pras yang masih muda.
Aku terbangun setelah sayup-sayup mendengar ayam jago berkokok. Rupanya aku tertidur setelah beberapa saat melamunkan mas Pras. Dan suara jago di petang ini yang membuatku bangun. Pukul enam petang ada suara ayam jago? Setelah kuamati, suara itu berasal dari bungkusan merah jambu kado pernikahan salah satu muridku. Kubuka pelan-pelan agar kertas kadonya masih utuh. Benar juga, jam meja cantik dengan suara weker ayam jago. Ada tulisan kecil “Bu.. bangun, sudah jam enam pagi”. Hm… aku tersenyum kecil membayangkan imajinasi yang terbentuk di kepala muridku. Anak sekarang, imajinasinya berkembang bebas dan berani. Andai saja diarahkan kepada imajinasi yang kreatif dan positif. Aku bergegas bangun dan mandi. Setelah makan malam dan sedikit canda bersama keluarga tak tahan aku segera masuk kamar pengantin yang masih perawan ini. Buku harian merah itu tergeletak di atas ranjang. Selalu menemaniku dengan mimpi-mimpi yang indah. Tentang mas Pras.
Buku harian merah hati itu pemberian mas Pras. Aku sendiri yang memintanya. Buku harian adalah kenangan abadi, kataku. “Bagaimana dengan kecupan lembut di dua mata?” mas Pras memancing emosiku untuk kemudian mencubitnya sekeras mungkin. Tawa mas Pras yang renyah di sela ringis kesakitan membuatku selalu terkenang. Tiba-tiba saja aku dan mas Pras menjadi sedekat itu, di saat detik-detik akhir pernikahanku. Awalnya aku meminta bantuannya mendesain kartu undangan pernikahan dengan kepiawaiannya bermain komputer. Dari situlah pembicaraan demi pembicaraan mengalir. Tanpa kusadari kata-kata yang diucapkannya masuk semua dalam dendrit kepalaku. Katanya suatu ketika, banyak orang keliru memandang hubungan intim suami istri sebagai penyalur energi birahi saja. Padahal bila dipahami bedanya sangat tipis antara orgasme dengan asketisme. Mengapa tidak diarahkan hubungan intim sebagai salah satu bentuk media menuju hakikat Tuhan? Aku kagum dengan analisis filosofis mas Pras yang baru menikah tiga tahun itu. Bahkan ia dapat menebak besarnya fantasi seks yang mengembang di batok kepalaku. Aku malu sekaligus pasrah. Kemampuan mas Pras memahami psikologis orang lain berbekal teori Psikoanalisis Freud dan teori-teori astrologi membuatku seakan-akan bagai tubuh transparan yang dapat dengan leluasa dilihat isi detilnya. Tak ada alasan lain selain bersimpuh di hadapannya. Ia dapat membaca ketika aku merasa ingin dipuji, keluarlah pujian sejuta bintang. Ia tahu ketika aku sedang bete keluarlah joke-joke segar dan cerita ringan mitos-mitos Yunani kuno. Ia tahu ketika adrenalinku beranjak naik maka ia mencoba-coba memancing dengan gerakan erotis tangannya di depan dadaku sambil seolah-olah membenahi penampilanku. Mas Pras tidak menyentuhku, aku kagum, padahal dia tahu aku sangat ingin dibelai olehnya.
Desain kartu undangan telah jadi dan amatlah menawan. Selera seni mas Pras cukup bergengsi. Jika berhenti sampai di situ aku kehilangan momentum ngobrol dengannya di depan komputer. Kucari akal, dan kuminta lagi bantuan untuk menuliskan alamat undangan dengan komputer. Itu saat terindah dimana aku bisa bercanda bersama lagi dengannya. Aku telah merasa percaya diri berada di sampingnya. Bahkan dengan percaya diri pula aku meminta saran kepadanya tentang penampilan yang tepat untukku yang memiliki dada kecil, tubuh pendek ini. Wajahku memang manis, dengan tahi lalat di bibir yang menurut mas Pras adalah permata. Tetapi seringkali aku merasa kurang dengan bentuk dadaku yang kecil, dan pantat yang tidak berisi. Mas Pras malahan memuji bahwa struktur dadaku bagus apalagi jika mengenakan PDH yang tidak ketat dan tidak terlalu kedodoran. Bawahan yang panjang dengan model span membuatku anggun, katanya. Keesokan harinya kukenakan PDH coklat dengan kriteria seperti yang diuraikannya. Mas Pras benar, dari pagi banyak yang memuji penampilanku. Bahkan siswa pun sempat memuji keanggunanku hari itu. Di depan komputer sepulang jam sekolah mas Pras tersenyum dan satu kata keluar “Chich! Pantas saja seharian hatiku berdebar-debar!”. Aku benar-benar tersanjung, meski kurang mengerti arti kata chich. Saat mas Pras istirahat mencari makanan dan minuman ringan, kugantikan mengetik nama-nama untuk undanganku. Kucari kata itu di kamus komputer. Mempesona!. Mas Pras pandai menggunakan kata-kata yang berisi.
Mas Pras datang dengan membawa dua botol minuman ringan dan beberapa bungkus penganan. Sambil menyeruput minuman di depanku dia mengamatiku mengetik. “Kau anggun dengan busana itu dan dengan cekatan itu di depan komputer. Perfect lady!”, mas Pras memujiku. Hidungku mengembang, sambil tersenyum pura-pura tidak mendengar. Tanganku tetap sibuk di atas keyboard. Tiba-tiba kurasakan kehangatan di telapak tangan kiriku, aku kaget. Mas Pras memegang tanganku! Jantungku serasa mau copot. Melihat reaksi demikian mas Pras buru-buru melepas pegangan dan merajuk minta maaf. Aku sungguh memaafkan, bahkan ingin lagi dipegang dengan kelembutan tatapan mata itu. Tetapi aku terlanjur gengsi karena kaget. Aku jadi kasihan dengannya yang merasa bersalah itu.
Kupeluk erat buku harian merah hati itu mengingat saat mas Pras memeluk hangat tubuhku. Begitu damai dan indah. Dadanya yang bidang membuatku merasa nyaman dalam rengkuhannya. Kulihat jam dinding berdetak. Jam setengah delapan malam. Mas Pras tentu sedang keluar mencari makan malam. Hidup jauh dari keluarganya tidak memberikan inspirasi baginya untuk memasak makanannya sendiri. Katanya hidup di negeri orang harus banyak sosialisasi. Jajan di warung adalah satu bentuk sosialisasi, katanya. Hidup mas Pras penuh konsep. Rasanya dunia ini berada dalam genggamannya. Bahkan akupun merasa pasrah berada dalam genggaman mas Pras. Saat akhir kebersamaan dengan mas Pras aku memberanikan diri meminta sesuatu. Entah mengapa, aku merasa begitu menyatu dengan mas Pras, dan begitu bebas berekspresi di hadapannya. Sebelum aku katakan apa keinginanku dia sudah menyela, “Apapun yang tuan puteri inginkan, hamba pasti kabulkan”. Mas Pras memang pintar menggombal. Tetapi aku senang dibuatnya. Aku hanya meminta diary, kataku. Setiap kutulis diary itu, aku akan selalu ingat mas Pras. Senyumannya yang tulus membuat tubuhku lemas. Giliran dia yang mengajukan permintaan.”Tapi aku takut yayang Cita jadi marah atas permintaanku”. Mas Pras pandai membuat parodi sebuah sinetron yang dimainkan Anjasmara dengan Tamara Bleszinsky untuk melambungkan hatiku. “Memangnya mas pingin apa dari Cita? Ingin dicium?”, mas Pras menggeleng. Edan! Padahal, sejak kejadian dia memegang tanganku aku sudah pasrah mau diapakan. Mencium bibirnya yang indah pun aku mau. Jangan-jangan mas Pras ingin lebih, aku memancing, “Atau mas Pras ingin Cita peluk?”. Lagi-lagi mas Pras menggeleng. Benar-benar edan! Aku siap memelukmu sepenuh kehangatan, mas. Atau, …, jangan-jangan mas Pras menginginkan yang paling esensial? Oh…. Walaupun aku sangat ingin, tetapi jangan. Posisi aku dan dia memang sangat menguntungkan. Aku mencintai mas Pras, saat akan menikah. Mas Pras pria dewasa, berpengalaman menikah. Kalau saja dia yang pertama merobek hymen-ku, aku pasti akan sangat menyukainya. Dan akan menjadi pengalaman yang paling indah dalam sejarah hidupku. Tetapi aku tidak ingin citranya luntur di mataku hanya karena ambisi libidoku. Oh… god, help me… Dengan sepenuh kekuatan kupersilakan dia menyampaikan keinginannya. Ya atau tidak pikirkan kemudian. ”Lalu keinginan mas Pras apa?” dengan rasa was-was aku menunggu jawabannya. Sorot matanya yang tajam dan lembut membuat napasku terhenti. “Aku ingin mencium tangan Cita”, dewata Amor yang agung! Darahku pun ikut terhenti. Jiwa Mas Pras benar-benar mulia. ”Bolehkah?”, aku merasa tidak perlu menjawab. Aku yakin mas Pras tahu apa jawabnya. Yah… mas Pras tidak hanya mendapatkan jemari tanganku yang lentik. Dia juga mendapatkan pipiku, bibirku, pelupuk mataku, semua yang ada padaku. Juga jiwaku. Aku terperanjat kaget setengah mati, di saat lamunan seindah itu telepon di samping ranjang tidurku berdering. Segera kuangkat sembari kuarahkan pandangan ke dinding. Jam delapan lima menit. “Halo…” kubuka percakapan. “Yayang Cita……”, suara dari seberang sana. “Mas Pras!!!…” aku memekik tertahan.

Cidangiang, Maret 2002

Klik disini untuk melanjutkan »»
 
{redundasi.blogspot.com} is proudly powered by Blogger.com | Template by Agus Santosa