Senin, 10 Agustus 2009

DUNIA LAIN

. Senin, 10 Agustus 2009

Tiba-tiba datang kepadaku. Seorang lelaki berperawakan kurus tinggi. Kepala oval dengan volume yang tak sepadan dibandingkan dengan perawakannya. Sepatu kets putih lusuh tanpa kaus kaki berpadu padan secara ganjil dengan celana pendek coklat dan baju coklat muda menunjukkan kostum kepanduan. Hari itu Jumat pagi Matahari belum tinggi. Aku masih berdiri di lobi sekolah menunggu pergantian jadwal mengajar beberapa jam ke depan.
Lelaki berwajah lugu itu menghampiriku. Aku menyambutnya dengan antusias dan santun. Beberapa patah kata yang keluar dari mulutnya tak kunjung bisa kupahami meski telah kunaikkan level adrenalin di kepalaku hingga mencapai titik maksimum. Yang bisa kumengerti adalah bahwa dia memiliki pita suara yang sama sekali getarannya tak bisa ditangkap oleh genderang telingaku yang terlatih mendengar wacana verbal dari ribuan muridku. Dia difabel. Aku hanya bisa mencoba membaca isyarat dan bahasa tubuh yang ia mainkan.
Beberapa belas menit berlalu, aku kewalahan. Telah kukerahkan segala kecerdasan yang kurasa kumiliki sebagai guru bergelar master. Namun berakhir dengan putus asa. Kuberikan padanya selembar kertas yang tergeletak di atas meja lobi dan kucabut sebuah pena dari saku bajuku yang selalu bertengger sepasang. Dia menulis beberapa nama. Aku mengernyitkan dahi dengan sangat dalam. Dia memandangku sesaat dan menulis lagi beberapa kata berikut angka-angka yang aku tahu itu bukan nomor teleponku, juga bukan kantorku.

Aku masih tidak mengerti. Meski ia sudah berusaha menjelaskan dengan bahasa yang tak kupahami. Dia mulai putus asa juga. Sedikit memang yang kupahami dari bahasa isyarat yang ia mainkan, ketika tangannya memperagakan memegang stang kemudi motor atau stir mobil. Aku hanya meyakini ini pasti berkaitan dengan salah satu dari kedua benda itu. Aku pandangi sekeliling tempat parkir mobil dan motor yang terletak di depan lobi. Tak ada yang janggal, menurutku. Lalu ia menunjuk dadanya dengan jari, kemudian mengarahkan telunjuknya ke area parkir. Aku mulai mengerti.
Aku memutuskan untuk menyimpulkan bahwa pria aneh yang berdiri di seberang meja lobiku itu minta diantarkan ke suatu tempat dengan kendaraan. Sebisa mungkin aku ekspresikan kesimpulan ini dengan isyarat tangan diikuti bahasa verbal versiku
“Anda ingin saya mengantarkan Anda naik motor ke suatu tempat?”
Dia menjawab dengan ekspresi puas dan lega. Aku bergegas menuju sepeda motorku yang parkir di ujung lorong. Ia mengikuti dari belakang dengan langkah aneh...
Sadar aku bahwa ini ghosob, kupinjam tanpa pamit helm yang bertengger di motor teman mengajar dan kuberikan pada lelaki aneh itu. Sesaat ia memantapkan dudukannya di belakangku, dan motorku segera melaju tanpa tahu arah yang harus dituju. Kesadaran ‘kiri’ku membisikkan kemungkinan tindakan jahat yang mungkin dia lakukan ketika ada di belakangku tanpa bisa kupantau gerak-geriknya. Teringat aku akan berita-berita di koran dan tivi tentang tukang ojek yang dianiaya penumpangnya. Tapi aku hanya pasrah. Karena hanya itu yang bisa kulakukan.
Salah satu kata yang ditulisnya di atas kertas yang sedikit memanduku adalah tulisan “SLB C”, maka kubelokkan motor ke kanan menuju arah Tirtonadi, karena di sanalah aku ingat ada papan penunjuk jalan tertulis SLB C. Dia meronta dan memintaku untuk jalan lurus saja. Aku mencoba mengalah sembari memahami cara pikirnya yang menurutku sangat tipikal. Tirtonadi juga bisa ditempuh dengan jalan lurus yang artinya akan memakan lebih banyak kilometer. Tiba di persimpangan kukirim isyarat kepadanya bahwa ini saatnya belok kanan, meski terus lurus juga masih memungkinkan mencapai Tirtonadi dengan lebih banyak lagi kilometer. Tetapi dia meronta lagi. Bahkan memintaku untuk belok ke kiri. Aku mulai gundah. Ini jalur yang sepi, meski ujungnya adalah sebuah perumahan yang ramai, Mojosongo Permai. Berkali-kali aku menelan ludah kegalauan sambil terus berharap semua akan baik-baik saja. Jarak yang hanya tujuh ratus meter menuju persimpangan Mojosongo itu terasa seperti tujuh mil.
Tepat di tengah jalan sepi dengan rerimbunan akasia, dia berteriak dengan bahasa anehnya kepada sekelompok lelaki di tepi jalan. Segera kuhentikan motor menghampiri mereka dengan perasaan sedikit lega. Dia asyik ngobrol dalam bahasa aneh dengan mereka dan aku konsentrasi pada lelaki bertopi untuk menanyakan kira-kira kemana penumpang misteriusku ini minta diantar. Lelaki bertopi itu menunjukkan ekspresi bingung dan tidak menjawab pertanyaanku. Aku mulai merasa bersalah, apakah mereka juga difabel? Beberapa menit kemudian setelah dia melepas topinya dan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, dia mulai bicara. Aku lega. Setidaknya aku tidak lagi berada di dalam hutan yang sunyi dan mencekam. Lelaki bertopi itu menjelaskan bahwa dia sering melihat lelaki yang duduk di belakangku itu jalan kaki di sepanjang jalan ini atau diantar dengan sebuah mobil hijau menuju arah Timur. Hanya itu informasi yang aku peroleh. Aku kembali masygul. Tak ada alasan yang memadai kecuali mengikuti keinginan penumpang misteriusku ke arah manapun yang ia mau.
Motor kembali melaju dengan kecepatan dua puluh. Sempat aku berpikir apakah penumpangku ini semacam Forrest Gump (salah satu film layar lebar monumental yang dibintangi Tom Hanks). Ach,... apapun dan siapapun dia, aku sudah terlanjur memutuskan untuk mengikuti apa saja yang ia mau. Baru kali ini aku merasa seperti melompat dalam sumur tanpa dasar. Melakukan sesuatu tanpa harus tahu akhirnya akan seperti apa. Saat terlunta-lunta dua tahun untuk mengakhiri tesis masterku, setidaknya aku sadar dan tahu setiap konsekuensi paradigmatik yang bakal mengikutinya jika aku memutuskan berpijak pada salah antara positivistik, phenomenologik, atau post positivistik. Aku hanya butuh waktu untuk mengumpulkan keberanian memilih jalan berpikir. Sehingga harus kutulis :

“Sebuah kebimbangan besar menggelayuti proses yang kulalui untuk mengakhiri penelitian ini. Aku bisa dan kuasa membawa arah dan kesimpulan (penelitian) ini ke manapun yang ku suka dengan berlindung pada segudang teori-teori yang tersedia. Hasilnya bisa jadi sangat fantastis (atau bahkan bombastis!)
Pada saat yang sama aku menyadari telah melakukan tindakan yang zalim bila hal itu dilakukan, dengan mempermainkan dunia pendidikan seperti sepotong lempung yang bisa sesuka hati kubentuk apapun meski dengan referensi yang sahih.
Aku memutuskan untuk tidak mengambil langkah itu, dan butuh dua semester untuk merenungkannya. Akhirnya, seburuk apapun karya yang kulahirkan ini, inilah aku. Dengan segala ketulusan intelektualku...”

Lamunanku terasa sublim sekali dalam laju motor yang rendah ini. Dan teriakan si Forrest Gump membangunkan kesadaranku, saat ia minta supaya aku membelokkan arah motorku ke kiri. Aku semakin heran, karena ini adalah arah menuju pinggiran Solo yang jalannya masih berbatu-batu dan sungainya kering. Beberapa ratus meter kemudian dia bersorak girang sambil menunjukkan papan nama bertuliskan Yayasan Bina Sejahtera dengan arah panah menuju gang kampung. Sebuah yayasan sekolah luar biasa campuran A, B dan C.
Kutelusuri gang kampung yang sepi dan asing bagiku ini. Kanan kiri tak banyak hal yang menarik diamati selain gerombolan kambing di antara rerumputan dan pohon-pohon yang meranggas. Ketika jalan menikung turun si Forrest Gump berteriak girang menunjuk ke arah gedung sekolah berwarna hijau teduh sambil meneriakkan kata yang dalam penafsiran genderang telingaku berbunyi ‘ibu!...ibu!...ibu!...’. Aku membayangkan seorang ibu dengan tubuh subur dan raut wajah sabar akan menyambutku di depan kantor yayasan itu. Ruang kantor sepi. Tak sorangpun berada di meja kerja atau duduk di lobi. Sementara si Forrest Gump langsung berlari menuju kelas. Kelas gaduh dalam bahasa aneh, sesaat aku mengenal sebuah frekuensi suara yang akrab di telingaku dalam warna tenor “berangkat dengan siapa kamu Yongki?”. Rupanya lelaki aneh ini namanya Yongki. Demi etika, aku masuk kelas yang dipimpin seorang bapak guru ini.
Aku memperkenalkan diri dan berbasa-basi dengan pak Tikno, yang namanya bisa kukenal lewat nameplate yang bertengger di dada kanannya. Dia menjelaskan bahwa Yongki tinggal di asrama yang letaknya lima kilometer dari sekolah tempatku mengajar. Rupanya tadi pagi Yongki telah menempuh jalan sejauh itu dan kelelahan ketika memutuskan masuk menemuiku. Yongki memang sering memisahkan diri dari kelompok sehingga sering tidak ikut mobil jemputan. Aku hanya diam menyimak penjelasan pak Tikno, dan sebenarnya justru lebih serius mencuri pandang pada apa yang terjadi pada Yongki dan teman-temannya.
Segera saja Yongki di kelilingi teman-temannya yang berlainan jenis difabel, berlainan jenis kelamin, bahkan usia. Mereka bicara entah dengan bahasa apa. Yang kutangkap mereka berkomunikasi dengan serius, bercakap-cakap dan bercanda saling cerita. Mereka mungkin Rika, Pungky, Mei atau Budi seperti yang ditulis Yongki pada selembar kertas yang kukantongi. Aku merasa seperti berada di planet yang salah. Di dunia lain.

***
Kupacu motor dengan kecepatan lambat dan hati masygul menuju sekolahku. Aku menangis. Sesenggukkan di tengah hingar bingar lalu lintas. Aku tak tahu apa yang aku tangiskan. Tatapan mata aneh dari para pengendara yang berlawanan arah, tak kuhiraukan.

Aku menangis saat kusadari
Betapa aku tidak bisa memahami bahasa Yongki, dan dia tidak bisa memahami bahasaku. Aku ternyata seorang guru master yang bodoh...
Aku menangis saat menyaksikan raut kebahagiaan Yongki dan teman-temannya. Mereka seperti menciptakan dimensi sendiri di sela-sela dimensi ruang dan waktu dimana aku berada dan mereka juga ada. Mereka menjebol sekat-sekat ruang dan waktu itu, dan berhasil menemukan kebahagiaan sejati dengan cara mereka sendiri...
Aku menangis....
Karena baru sedikit fenomena kehidupan yang bisa kupahami...

Orang bilang mereka cacat. Tapi kelebihan hakiki berupa kebahagiaan tulus yang mereka miliki tak dipunyai oleh orang-orang yang mengaku normal.
Pada dasarnya setiap makhluk dilahirkan dalam keadaan cacat. Karena cacat itulah ia jadi sempurna...

Mojosongo-Solo, September 2006
By. S. Agus Santosa, M.Pd

blog comments powered by Disqus
 
{redundasi.blogspot.com} is proudly powered by Blogger.com | Template by Agus Santosa