Kamis, 30 Juli 2009

RAHASIA CITA

. Kamis, 30 Juli 2009

Cita tak kuasa lagi membendung air matanya. Mengalir begitu saja usai lelaki di sebelahnya mengucapkan kata-kata sakral. Dua potong tisu tak mampu membendung banjir air yang keluar dari dua matanya yang indah dan dua lubang hidungnya yang menggunung. Dari sudut matanya yang sembab dilirik lelaki setengah baya di depannya, ayah Cita. Lelaki itu pun tak mampu menyembunyikan perasaan antah barantah yang berujung embun di sudut mata. Lelaki di kanan Cita tetap tegar dan tenang seperti sebelumnya. Dia menjadi suami syah Cita secara empiris.
“Cita, kami pulang dulu. Besok kemari lagi. Pestanya masih dua hari lagi khan ?”. Aku hanya bisa mengangguk seraya memoles wajah dengan sedikit senyum terpaksa. Mama kak Ade mengucapkan kata-kata pamitan atas nama keluarga, dan membawa suamiku pulang ke rumahnya. Kak Ade sendiri tak banyak berkata-kata, atau aku yang tak mendengarkan kata-kata kak Ade, entahlah. Bagiku kini, kata-kata Mas Pras jauh lebih memberi makna dari ucapan ijab kabul kak Ade. Aku bergegas masuk kamar pengantin yang masih perawan ini sepeninggal suamiku. Kuangkat gagang telepon dan kumainkan jari jemari menekan nomor yang sudah sangat aku hapal. Bahkan jari jemariku mampu melakukannya sendiri tanpa perintah otak di kepalaku. Dan bahkan telepon ini mampu menekan dirinya sendiri menuju nomor telepon di seberang sana, di meja kamar tidur mas Pras.
Tonika pertama muncul dari seberang telepon memecah lamunanku yang sesaat tetapi terasa dalam itu. Tiba-tiba tangan kiriku secepat kilat menekan tombol off hook, hubungan telepon pun terputus. Aku menimang-nimang diary merah tua sambil melangkah bimbang. Diary itu selalu kubawa kemanapun pergi. Bahkan pergi ke pasar sekalipun. Pada diary ini tersimpan separuh dari jiwaku yang pernah hilang. Kini menyembul keluar membuatku tersentak kaget seakan tak percaya dengan diriku sendiri. Separuh jiwaku ada pada sosok mas Pras. Pria tampan bijaksana yang aku kenal secara dekat tiga minggu terakhir.

Mas Pras teman sejawatku mengajar. Selama ini aku mengenalnya sebagai sosok guru yang idealis. Karena idealismenya dalam pendidikan kami sering membicarakan, em… lebih tepat mengolok-olok dan memberinya label Umar Bakrie. Sebenarnya terlalu muda bagi mas Pras mendapat julukan itu. Jiwa muda dengan kebijakan a la Jalaludin Rumi yang membuat mas Pras tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Lebih matang. Aku sendiri tidak mengerti mengapa guru sebaik mas Pras justru dipergunjingkan. Belakangan aku tahu lewat penuturan mas Pras, bahwa ia berpihak kepada siswa; itu yang membuat teman-teman guru tidak sependapat. Mereka masih dalam paradigma bahwa guru adalah segalanya, dan siswa adalah botol kosong.
Seringkali aku melihat mas Pras ngobrol serius (dia selalu mengelak dikatakan berdiskusi) dengan Bu Tria guru Biologi yang cantik. Topik apa pun selalu menjadi obrolan serius mereka berdua. Dari masalah teori evolusi, mutasi genetis sampai masalah anomali-anomali makhluk hidup. Kali lain kutemukan mas Pras tengah serius pula ngobrol dengan bu Minah Guru senior Fisika yang terkenal killer. Jangankan siswa, guru pun enggan bicara dengannya. Entah ajian apa yang dimilikinya sehingga bisa ngobrol seindah itu dengan bu Minah. Topik yang serius mengenai kegagalan Newton membuat definisi gerak, teori kuantum, sampai Relativitas Einstein bisa dijalani dengan tetap dibumbui gelak tawa. Suatu ketika kulihat mas Pras asyik ngobrol dalam bahasa Jerman dengan pak Topa guru bahasa Jerman. Tetap dengan tawa. Aku cemburu. Mas pras telah mengobrol dengan banyak teman-teman guru, dan mampu menjiwai semuanya. Untuk ukuran sebagai guru bahasa Indonesia kemampuannya memang luar biasa. Hobi membacanya tergolong istimewa. Apapun jenis buku ia membaca. Sepertinya mas Pras tidak memiliki alergi ilmu tertentu. Bahkan sekali waktu kucuri pandang buku-buku bacaan yang dibawanya untuk mengisi waktu senggang di kantor guru. Mas Pras ternyata menguasai bahasa Inggris dengan baik. Buku-buku filsafat pendidikan John Dewey, Francis Schrag, Michael Fullan sering kulihat tergeletak di mejanya yang berantakan tetapi tertata rapi. Terakhir kulihat buku Fritjhoef Capra ‘Titik Balik Peradaban’ versi asli berbahasa Inggris; ‘Turning point’. Aku sendiri sebagai guru bahasa Inggris hanya mampu membaca edisi terjemahan. Aku menjadi tahu bahwa mas Pras piawai berbahasa Inggris. Mengapa tidak mengajak ngobrol aku? Bukankah aku lebih menarik dari bu Tria apalagi bu Minah?
Saat itu aku tengah jengah setelah memberi ulangan harian. Ketika hendak masuk ruang guru aku dikagetkan dengan sosok idola yang ada didepanku. Bukan lantaran dia tiba-tiba di depanku, tetapi dia menyapaku dan mengajak ngobrol. Aku tersanjung.
“Bagaimana hasil ulangan anak-anak Bu Cita? Tentu bagus-bagus Bukan? Saya tahu Bu Cita guru yang baik dan disukai para siswa”. Mas Pras memberondong pertanyaan seakan tak memperdulikan bagaimana gugupnya aku menghadapi situasi itu. Aku menghela napas seraya menetralisir perasaan. Sedari pagi cuap-cuap di depan kelas tentu bukan hal yang ringan sesiang ini dipacu adrenalinnya. “Kalau sedang gundah seperti ini Bu Cita justru tampak memikat lho”. My god…. Kali ini adrenalinku sampai ke ubun-ubun. Mengetahui raut mukaku yang memerah karena dipuji bercampur lelah, mas Pras menarik tempat dudukku dan mempersilakan aku duduk sementara dia sendiri mengambil kursi bu Deli yang ada di sampingku. Keluarlah joke-joke segar dari bibirnya yang indah yang selalu membuatku bergetar bila memandangnya lama-lama. Aku jadi segar kembali untuk bisa menanggapi obrolannya. Mas Pras pandai membuat atmosfer. Aku tak mengira selama setengah tahun mengajar di sekolah ini diperhatikan secara detil oleh orang lain. Apalagi orang itu mas Pras! Dia bercerita tentang perkembangan siswa dalam memahami wacana ilmiah. Dan menurutnya perkembangan yang sangat signifikan itu oleh sebab kemampuanku membawa siswa belajar dengan benar bahasa Inggris. Kemampuan berbahasa Indonesia siswa meningkat sejalan dengan peningkatan kemampuan bahasa Inggrisnya. Wow… kesimpulan yang luar biasa. Tidak salah kepala sekolah mengangkatnya sebagai ketua Litbang. Jabatan bergengsi setelah wakil kepala. Lebih lagi untuk seusia mas Pras yang masih muda.
Aku terbangun setelah sayup-sayup mendengar ayam jago berkokok. Rupanya aku tertidur setelah beberapa saat melamunkan mas Pras. Dan suara jago di petang ini yang membuatku bangun. Pukul enam petang ada suara ayam jago? Setelah kuamati, suara itu berasal dari bungkusan merah jambu kado pernikahan salah satu muridku. Kubuka pelan-pelan agar kertas kadonya masih utuh. Benar juga, jam meja cantik dengan suara weker ayam jago. Ada tulisan kecil “Bu.. bangun, sudah jam enam pagi”. Hm… aku tersenyum kecil membayangkan imajinasi yang terbentuk di kepala muridku. Anak sekarang, imajinasinya berkembang bebas dan berani. Andai saja diarahkan kepada imajinasi yang kreatif dan positif. Aku bergegas bangun dan mandi. Setelah makan malam dan sedikit canda bersama keluarga tak tahan aku segera masuk kamar pengantin yang masih perawan ini. Buku harian merah itu tergeletak di atas ranjang. Selalu menemaniku dengan mimpi-mimpi yang indah. Tentang mas Pras.
Buku harian merah hati itu pemberian mas Pras. Aku sendiri yang memintanya. Buku harian adalah kenangan abadi, kataku. “Bagaimana dengan kecupan lembut di dua mata?” mas Pras memancing emosiku untuk kemudian mencubitnya sekeras mungkin. Tawa mas Pras yang renyah di sela ringis kesakitan membuatku selalu terkenang. Tiba-tiba saja aku dan mas Pras menjadi sedekat itu, di saat detik-detik akhir pernikahanku. Awalnya aku meminta bantuannya mendesain kartu undangan pernikahan dengan kepiawaiannya bermain komputer. Dari situlah pembicaraan demi pembicaraan mengalir. Tanpa kusadari kata-kata yang diucapkannya masuk semua dalam dendrit kepalaku. Katanya suatu ketika, banyak orang keliru memandang hubungan intim suami istri sebagai penyalur energi birahi saja. Padahal bila dipahami bedanya sangat tipis antara orgasme dengan asketisme. Mengapa tidak diarahkan hubungan intim sebagai salah satu bentuk media menuju hakikat Tuhan? Aku kagum dengan analisis filosofis mas Pras yang baru menikah tiga tahun itu. Bahkan ia dapat menebak besarnya fantasi seks yang mengembang di batok kepalaku. Aku malu sekaligus pasrah. Kemampuan mas Pras memahami psikologis orang lain berbekal teori Psikoanalisis Freud dan teori-teori astrologi membuatku seakan-akan bagai tubuh transparan yang dapat dengan leluasa dilihat isi detilnya. Tak ada alasan lain selain bersimpuh di hadapannya. Ia dapat membaca ketika aku merasa ingin dipuji, keluarlah pujian sejuta bintang. Ia tahu ketika aku sedang bete keluarlah joke-joke segar dan cerita ringan mitos-mitos Yunani kuno. Ia tahu ketika adrenalinku beranjak naik maka ia mencoba-coba memancing dengan gerakan erotis tangannya di depan dadaku sambil seolah-olah membenahi penampilanku. Mas Pras tidak menyentuhku, aku kagum, padahal dia tahu aku sangat ingin dibelai olehnya.
Desain kartu undangan telah jadi dan amatlah menawan. Selera seni mas Pras cukup bergengsi. Jika berhenti sampai di situ aku kehilangan momentum ngobrol dengannya di depan komputer. Kucari akal, dan kuminta lagi bantuan untuk menuliskan alamat undangan dengan komputer. Itu saat terindah dimana aku bisa bercanda bersama lagi dengannya. Aku telah merasa percaya diri berada di sampingnya. Bahkan dengan percaya diri pula aku meminta saran kepadanya tentang penampilan yang tepat untukku yang memiliki dada kecil, tubuh pendek ini. Wajahku memang manis, dengan tahi lalat di bibir yang menurut mas Pras adalah permata. Tetapi seringkali aku merasa kurang dengan bentuk dadaku yang kecil, dan pantat yang tidak berisi. Mas Pras malahan memuji bahwa struktur dadaku bagus apalagi jika mengenakan PDH yang tidak ketat dan tidak terlalu kedodoran. Bawahan yang panjang dengan model span membuatku anggun, katanya. Keesokan harinya kukenakan PDH coklat dengan kriteria seperti yang diuraikannya. Mas Pras benar, dari pagi banyak yang memuji penampilanku. Bahkan siswa pun sempat memuji keanggunanku hari itu. Di depan komputer sepulang jam sekolah mas Pras tersenyum dan satu kata keluar “Chich! Pantas saja seharian hatiku berdebar-debar!”. Aku benar-benar tersanjung, meski kurang mengerti arti kata chich. Saat mas Pras istirahat mencari makanan dan minuman ringan, kugantikan mengetik nama-nama untuk undanganku. Kucari kata itu di kamus komputer. Mempesona!. Mas Pras pandai menggunakan kata-kata yang berisi.
Mas Pras datang dengan membawa dua botol minuman ringan dan beberapa bungkus penganan. Sambil menyeruput minuman di depanku dia mengamatiku mengetik. “Kau anggun dengan busana itu dan dengan cekatan itu di depan komputer. Perfect lady!”, mas Pras memujiku. Hidungku mengembang, sambil tersenyum pura-pura tidak mendengar. Tanganku tetap sibuk di atas keyboard. Tiba-tiba kurasakan kehangatan di telapak tangan kiriku, aku kaget. Mas Pras memegang tanganku! Jantungku serasa mau copot. Melihat reaksi demikian mas Pras buru-buru melepas pegangan dan merajuk minta maaf. Aku sungguh memaafkan, bahkan ingin lagi dipegang dengan kelembutan tatapan mata itu. Tetapi aku terlanjur gengsi karena kaget. Aku jadi kasihan dengannya yang merasa bersalah itu.
Kupeluk erat buku harian merah hati itu mengingat saat mas Pras memeluk hangat tubuhku. Begitu damai dan indah. Dadanya yang bidang membuatku merasa nyaman dalam rengkuhannya. Kulihat jam dinding berdetak. Jam setengah delapan malam. Mas Pras tentu sedang keluar mencari makan malam. Hidup jauh dari keluarganya tidak memberikan inspirasi baginya untuk memasak makanannya sendiri. Katanya hidup di negeri orang harus banyak sosialisasi. Jajan di warung adalah satu bentuk sosialisasi, katanya. Hidup mas Pras penuh konsep. Rasanya dunia ini berada dalam genggamannya. Bahkan akupun merasa pasrah berada dalam genggaman mas Pras. Saat akhir kebersamaan dengan mas Pras aku memberanikan diri meminta sesuatu. Entah mengapa, aku merasa begitu menyatu dengan mas Pras, dan begitu bebas berekspresi di hadapannya. Sebelum aku katakan apa keinginanku dia sudah menyela, “Apapun yang tuan puteri inginkan, hamba pasti kabulkan”. Mas Pras memang pintar menggombal. Tetapi aku senang dibuatnya. Aku hanya meminta diary, kataku. Setiap kutulis diary itu, aku akan selalu ingat mas Pras. Senyumannya yang tulus membuat tubuhku lemas. Giliran dia yang mengajukan permintaan.”Tapi aku takut yayang Cita jadi marah atas permintaanku”. Mas Pras pandai membuat parodi sebuah sinetron yang dimainkan Anjasmara dengan Tamara Bleszinsky untuk melambungkan hatiku. “Memangnya mas pingin apa dari Cita? Ingin dicium?”, mas Pras menggeleng. Edan! Padahal, sejak kejadian dia memegang tanganku aku sudah pasrah mau diapakan. Mencium bibirnya yang indah pun aku mau. Jangan-jangan mas Pras ingin lebih, aku memancing, “Atau mas Pras ingin Cita peluk?”. Lagi-lagi mas Pras menggeleng. Benar-benar edan! Aku siap memelukmu sepenuh kehangatan, mas. Atau, …, jangan-jangan mas Pras menginginkan yang paling esensial? Oh…. Walaupun aku sangat ingin, tetapi jangan. Posisi aku dan dia memang sangat menguntungkan. Aku mencintai mas Pras, saat akan menikah. Mas Pras pria dewasa, berpengalaman menikah. Kalau saja dia yang pertama merobek hymen-ku, aku pasti akan sangat menyukainya. Dan akan menjadi pengalaman yang paling indah dalam sejarah hidupku. Tetapi aku tidak ingin citranya luntur di mataku hanya karena ambisi libidoku. Oh… god, help me… Dengan sepenuh kekuatan kupersilakan dia menyampaikan keinginannya. Ya atau tidak pikirkan kemudian. ”Lalu keinginan mas Pras apa?” dengan rasa was-was aku menunggu jawabannya. Sorot matanya yang tajam dan lembut membuat napasku terhenti. “Aku ingin mencium tangan Cita”, dewata Amor yang agung! Darahku pun ikut terhenti. Jiwa Mas Pras benar-benar mulia. ”Bolehkah?”, aku merasa tidak perlu menjawab. Aku yakin mas Pras tahu apa jawabnya. Yah… mas Pras tidak hanya mendapatkan jemari tanganku yang lentik. Dia juga mendapatkan pipiku, bibirku, pelupuk mataku, semua yang ada padaku. Juga jiwaku. Aku terperanjat kaget setengah mati, di saat lamunan seindah itu telepon di samping ranjang tidurku berdering. Segera kuangkat sembari kuarahkan pandangan ke dinding. Jam delapan lima menit. “Halo…” kubuka percakapan. “Yayang Cita……”, suara dari seberang sana. “Mas Pras!!!…” aku memekik tertahan.

Cidangiang, Maret 2002

blog comments powered by Disqus
 
{redundasi.blogspot.com} is proudly powered by Blogger.com | Template by Agus Santosa