Selasa, 18 Agustus 2009

STATUS PALSU...

. Selasa, 18 Agustus 2009

Suara kokok ayam membuat aku terjaga dari tidur. Mengakhiri mimpi-mimpiku semalam. Cahaya mentari mengintip dari ventilasi jendela, menyilaukan mataku yang kupaksa membuka kelopaknya. Kuberi kedipan manis untuk Pussy, boneka kucing kesayangan yang selalu ada di samping bantal. Dia membalas dengan mengucapkan ‘good morning’dengan bahasa bangsa boneka yang tak pernah kumengerti. Segera kujulurkan tangan mengambil guling yang jatuh ke lantai, korban ‘tidur liarku’ semalam. Selimutku! Menggantung di kaki ranjang tidur. Uaaaah… dengan malas kuputar pinggang ke kanan dan ke kiri, menggeliat. Pemanasan paling baik setelah tidur, menurutku.

Pandanganku terhenti pada kalender yang tergantung di dinding. Kemarin tanggal satu bulan Juli. Hari Bhayangkara, hari Anak-Anak Indonesia, tahun pembelajaran baru sekolahku dan… hari Sabtu tentunya. Sekarang, tanggal dua. Hariku. Maksudnya, tepat tujuh belas tahun lalu hari pertama aku memperoleh hak hidup di dunia ini. Aku meloncat dari tempat tidur dengan girang seperti anak kecil menyambut kedatangan ibunya. Ah, bodoh amat, pikirku. Mengapa harus girang? Bukankah dengan bertambahnya umur berarti jatah hidupku di dunia ini semakin berkurang? Cita-cita masih mengambang, ilmu masih mepet. Duit masih minta mama, rumah numpang papa. Tak ada yang bisa kubanggakan.

Kutatap wajahku di depan cermin. Apa yang aku punya selama ini? Wajah oval bibir sensual. Tahi lalat di pipi dan dahi. Serta identitas puberku, sebutir jerawat di bawah hidung. Leher jenjang, dada sedang, perut langsing, paha sampai betis terbentuk sempurna. Tangan lampai, jemari lentik, semakin cantik dengan tahi lalat di jari tengah tangan kiriku. Kuku tangan kubiarkan memanjang menyempurnakan jemariku yang meruncing ujungnya. Bagian tubuhku yang disukai Yasrul adalah jariku.
“Hasil pahatan seniman yang bernilai seni tinggi”, katanya memuja jariku yang menari di whiteboard menyalin tugas bahasa Inggris dari Pak Jono. Satu lagi, kulitku, wajahku kuning langsat, bersih meski tanpa make up. Percuma!

Bangkit dari kekaguman pada bayangan tubuhku di cermin, kuambil diary biru lazuardi di laci meja. Membuka kembali sejarah yang pernah mengisi lembaran hidupku.
...Senin, 2 Juli lima tahun lalu, rangking satu. Kado ultah yang kedua belas. Heboh, usil, konyol.
Kucoba meraba makna dari tiga kata terakhir itu. Ulang tahun paling membekas dalam ingatanku.

Sesudah penerimaan raport cawu tiga, kegiatan ekskul belum diliburkan. Malahan lebih ditingkatkaan. Drumband yang biasanya sekali seminggu, kini menjadi tiga kali seminggu. Maklumlah, semua itu dipersiapkan untuk menghadiri undangan di balaikota tanggal dua belas Agustus nanti. Untuk upacara tujuh belasan di lapangan Pancasila pun grup drumband dari SD kami yang akan mengisinya. Walaupun tujuh belas Agustus masih sebulan lebih, tapi persiapan yang matang akan membuat kami tampil pede di depan peserta upacara nanti.

Kedisiplinan baris-berbaris kami tingkatkan. Pak Kurnia, guru drumband-ku mengajarkan beberapa variasi baris-berbaris. Pak Kurnia mengajari kami formasi barisan yang membentuk angka lima puluh enam (karena HUT RI ke 56 saat itu). Bagaimanapun juga kedisiplinan baris-berbaris dalam drumband lebih menyenangkan daripada Pramuka. Kedisiplinan yang fun dalam drumband membuat kami aktif dalam mengikuti kegiatan ekskul tanpa ganjalan apapun. Tidak seperti Pramuka di sekolah lanjutan, aku mengikutinya hanya untuk menghindari sanksi dari kakak-kakak Dewan Ambalan.

Menjelang 17-an, lagu-lagu daerah seperti Suwe Ora Jamu dan Kampuang Nan Jauh di Mato diganti dengan lagu-lagu nasionalisme. Kali ini Pak Kurnia memberi lagu Bangun Pemuda-pemudi. Mula-mula kami mencatat not angka lengkap dengan intro. Selesai mencatat kami mengambil instrument masing-masing seperti pianika, bass dan tamtam, sesuai dengan peranan kami tanpa menunggu komando dari Pak Kurnia. Guru membacakan not-not angka tiap-tiap baris dan kami mengulangnya.

’sol do re mi sol sol fa mi re do re mi
sol do re mi sol sol fa mi re mi re do…’

Begitulah intro lagu Bangun Pemuda-pemudi dibacakan oleh Pak Kur diikuti suara kami. Pak Kur begitu telaten mendengarkan pita suara kami yang masih sering false sehingga dalam dua kali tempo, kami sudah bisa mengulangnya dengan tuts-tuts pianika. Tanpa waktu panjang kami masuk ke lagu.
‘sol mi fa sol do re mi do do si re do si la sol
sol mi fa sol do re mi do re re mi fa sol……

Bangun pemuda pemudi Indonesia
Lengan baju kau singsingkan untuk negara…….’

Sekali lagi kami mengikuti suara Pak Kur. Tak lama kemudian kami sudah bisa mengalunkan ‘Bangun Pemuda-pemudi’ mulai dari intro sampai selesai. Satu lagu penuh dengan tuts-tuts pianika. Giliran pemegang alat musik ritmis mendapat pelatihan Pak Kur untuk mengiringi alunan musik melodies. Gema drumband yang merupakan perpaduan alat musik melodies dan ritmis memenuhi ruangan tujuh kali tujuh yang biasa kami pakai berlatih drumband ini. Pak Kur memacu semangat kami dengan lambaian tangannya seperti seorang dirigen memimpin sebuah koor. Dan suara pianika, tamtam, bass berpadu selaras dan harmonis menyerupai pertunjukan orkestra Erwin Gutawa.
Setelah berlatih di dalam, kamipun digiring keluar ruangan. Sesegera mungkin kami membentuk formasi barisan sebelum kedua mayoret datang. Dua deretan paling depan adalah pembawa bendera triwarna, pink, kuning, dan biru. Warna bendera grup drumband kami. Disusul empat deretan pemain pianika, termasuk aku. Di belakangnya dua barisan pembawa tamtam. Tetapi dimana Victor? Rupanya dia sedang mengganti stick tamtamnya yang patah ketika latihan indoor tadi.

One…two…three… suara Septi dan Netik disertai gerakan lincahnya menarikan tongkat mayoret memberi aba-aba tanda mulai. Bunyi tamtam, bass disusul pianika membentuk kesatuan irama pembukaan. Permainan orkestra kami mulai goyah ketika dikombinasikan dengan gerakan membentuk formasi lima enam. Bunyi peluit panjang Pak Kur mengisyaratkan supaya kami berhenti. Dilatihnya kami membentuk formasi lima enam tanpa diiringi drumband. Setelah bisa baru dimulailah kombinasi orkestra drumband kami dengan formasi lima enam.

Selanjutnya kami mulai keluar dari kompleks sekolah dan berjalan mengelilingi sebuah gang di samping sekolah kami. Kedisiplinan dan ketertiban baris-berbaris kami mulai diuji. Inilah yang palin berat bagi kami, drumband sambil berjalan dengan melihat kiri kanan meluruskan barisan. Sampai di lapangan kami beristirahat kurang lebih limabelas menit sebelum akhirnya berlatih lagi.

“Ini untuk melatih mental kalian menghadapi lapangan yang luas dan para peserta upacara yang mungkin membludak nantinya,” kata Pak Kur ketika kami mulai mengeluhkan panasnya hawa di lapangan.

Matahari mulai melangkah ke barat ketika kami kembali dari lapangan. Drumband ditutup dengan lagu Happy Birthday di halaman sekolah. Tak seperti biasanya yang menggunakan lagu Sayonara sebagai lagu penutup. Lagu itu mereka dendangkan untuk aku tentunya.

Keluar dari kelas tanganku ditarik-tarik Asni dan Retno ke tengah halaman. Satu persatu bungkusan plastik transparan berisi air dilemparkan teman-teman ke aku.
“Sialan semuanya, hentikan!!” teriakku. Meronta berusaha lepas dari mereka. Namun mereka malah tertawa seakan tak mendengarkan suaraku.
“Ada apa ini, ada apa?” suara Pak Kur terdengar dari kantor guru.
Pak Kur hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal itu, saat melihat tingkah usil teman-temanku. Kemudian beliau mengambil sebuah bungkusan dari dalam tasnya dan diberikannya kepadaku.
“Selamat ulang tahun, Diah. Bapak ada sesuatu buat kamu.” Masih sambil tersenyum walaupun aku tahu kata-kata Pak Kur tulus.

Dengan baju basah aku pulang menjinjing pianika di tangan kanan dan kado ulang tahun di dalam tas yang juga sedikit basah.
“Nanti juga kering kena sinar matahari, Diah.”kata Asni yang berjalan di sampingku karena rumah kami searah.
“lho nduk, ngendhi sing wis udan?” tanya seorang kakek penjaga masjid, begitu melihat bajuku basah kuyup.
“Hi…hi…hi…”
Aku dan Asni ketawa cekikikan, sementara sang kakek masih terbengong-bengong melihat baju dan kepalaku basah.
Sampai di rumah, kubuka bungkusan kecil pemberian Pak Kur. Jam beker berbentuk piano miniatur dan kertas kecil bertuliskan ’sweet twelve, Diah. Pertahankan prestasimu dan jadilah yang terbaik selalu’
Kutatap jam beker yang sekarang sudah usang itu. Debu musim kemarau suka sekali hinggap di atasnya. Catnya sudah sedikit terkelupas. Pada kacanya tergores noktah kenangan enam tahun silam. Masa akhir kanak-kanakku. Tarikan napas panjang menutup semua anganku yang entah berapa lamanya, kembali terpampang memory di usia sebelas tahun lewat jam beker yang usang itu. Kututup diary.

* * * *

Dua puluh menit sudah aku di kamar mandi. Harum aroma bath soap membuat aku enggan cepat-cepat beranjak keluar. Baru setelah terdengan suara ibu memanggil, kupercepat aktivitasku di kamar mandi.
“Diah, cepatlah, Yasrul sudah datang!” kusambar handuk yang tergantung di sudut, kini telah membalut tubuhku.

Sekali lagi aku berkaca di depan cermin. Menyempurnakan sapuan bedakku. Rambutku yang mulai tak rapi dan sedikit liar harus kututupi dengan kerudung tsunami pendek warna creamy terpadu sempurna dengan baju kuning motif bunga. Munafik, munafik, munafik kau Diah! Tiba-tiba cermin di depanku menembakkan kata-kata sarkatisnya kepadaku. Untuk yang kesekian kali. Setiap aku bersolek di depan cermin ini, dia selalu bilang,,”Munafik kau, Diah” tapi aku tak mengerti makna di balik ucapannya itu. Dan memang akupun tak mau mengerti. Bergegas aku keluar kamar dengan tas kecil di bahu kiriku.
“Udah lama, Rul?” sapaku begitu melihat Yasrul di kursi tamu, terpaku. Entah apa yang dipikirkanyya.
“Oh, baru saja kok. Yuk kita berangkat.”
“Ibu, Diah berangkat dulu, ya..” tanpa menunggu jawaban ibu, aku keluar bersama Yasrul.

Dihidupkannya Supra X warna tembaga dan aku membonceng tanpa rasa canggung. Tak lama kemudian motornya telah melesat dengan kecepatan sedang menginjak jalan beraspal yang mulai aus digilas kendaraan berat. Sesampai di rumah Wiwid tak ada seorangpun yang kami temui sehingga memaksa langkah kami lebih jauh ke ruang tengah. Rumah Wiwid biasa kami gunakan untuk ngumpul bareng dan belajar kelompok. Di ruang tengah inilah kami biasa berkumpul sekedar main-main, dan berdiskusi teenagers.
Lama aku menunggu Wiwid. Yasrul yang dari tadi diam saja , mulai gelisah. Aku berusaha menggodanya.

“Rul, kata guru agama jika seorang cewek dan cowok menyepi berdua kaya gini syetan jadi pihak ketiganya”
“Kau percaya itu?”
“Percaya. Karena memang di belakangmu ada syetan.” gurauku sambil melemparkan boneka dracula ke punggung Yasrul. Boneka itu dibuat sendiri oleh Wiwid dalam tugas hasta karya sewaktu SMP.

Yasrul tertawa. Tawa manis yang setiap hari mengundang kerinduanku padanya. Tiba-tiba dari arah dapur terdengar terdengar suara teman-teman yang tak asing lagi bagiku. Menyanyikan lagu klasik yang yang mengiringi setiap ceremonial potong kue pada waktu ultah. Wajah mereka muncul satu persatu dari balik gorden. Lidya, Retno, Lukman, Pinkan dan Tio. Wiwid di belakangnya membawa nampan dengan tart ulang tahun di atasnya.
Tart bergaris tengah tigapuluh centimeter itu terbalut butter cream biru. Warna kesukaanku. Di atasnya tertancap patung mini dua sejoli berdansa dengan gaun warna putih. Dalam imajinasiku patung itu adalah Yasrul dan aku di sebuah pesta dansa serupa Julius Caesar dan Cleopatra.

Segera satu persatu kecupan pipi menghujani mukaku. Retno, Lidya, Wiwid, dan Pinkan memelukku mengucap “Met Ultah, Diah” aku tiup lilin berbentuk tujuh belas itu.
Aku hanya sanggup menahan haru dan bahagia saat Wiwid menyodorkan pisau kecil untuk mengiris kue tart. Potongan pertama kuberikan pada Yasrul yang dari tadi berdiri di sampingku. Ia memasukkan sendok kecil berisi kue tart ditaburi ketulusan kasih yang lahir dari hatinya yang paling dalam. Belum sempat menyelesaikan kunyahanku ketika sebuah jari mencoret-coret mukaku dengan butter cream dari tart itu disusul jari-jari usil dari teman-teman yang lain.

Dalam sekejap mukaku berubah menjadi kanvas yang penuh coreng-moreng cat seorang seniman yang frustasi karena gagal menyalurkan alam bawah sadarnya di media lukis.
Tiba-tiba aku telah duduk di kursi panjang berdua dengan Yasrul. Entah bagaimana mulanya tak kusadari benar. Terasa ada magnet yang menarik kami berdua untuk singgah di kursi ini.

“Diah, kaulah Cleopatraku. Kaulah permaisuriku yang pantas mendiami dataran Kashmir. Dan kita bangun istana cinta di atasnya.” kata-kata itu telah berulang kali kudengar dari bibir lembut Yasrul. Hanya kusambut dengan senyum kecil, namun bahagia raya di dasar hatiku

Hanya beberapa inchi jarakku dengan Yasrul, ketika bibirnya menyentuh bibirku. Berbaur, menyatu. Kecupan lembutnya telah melumat bibirku, membuatku kehilangan setengah kesadaran, bumi tempatku berpijak hilang dari pandangan dan aku melayang di suatu dunia lain. Di luar atmosfer mendekati bulan. Tanpa tarikan gravitasi bumi.
Darahku mendidih. Denyut nadi tak berirama sebagaimana jarum jam aku nervous. Lemaslah seluruh persendianku. Tak kuhiraukan lagi Retno, Lukman, Tio, Wiwid, Lidya dan Pinkan di ruang tengah yang mungkin memelototiku dan Yasrul. Lupa dengan jatah hariku yang makin habis di makan usia. Aku mengintrospeksi diri, meneropong misteri masa depan. Siang hari aku buang jauh segala koreksi atas diriku. Kerudung yang kupakai tinggal identitas palsu, berganti kebohongan lewat terpadunya dua bibir dan belaian manja tangan Yasrul. Terngiang kembali sarkasme cerminku tadi pagi. Betulkah yang ia teriakkan, aku munafik? Sedangkan aku masih saja mempraktikkan “French kissing” dengan Yasrul.

(sebuah renungan dari siswi di Solo)


November, 14th ‘06

blog comments powered by Disqus
 
{redundasi.blogspot.com} is proudly powered by Blogger.com | Template by Agus Santosa