Jumat, 12 Februari 2010

KESAKSIAN BURUNG KECIL...

. Jumat, 12 Februari 2010

Langit gelap. Senja tak ada dalam bayangan pikiran. Sejauh arah mata memandang ke angkasa yang terlihat hanyalah gumpalan awan yang sudah enggan menahan hujan. Hari Jum’at, 7 November 2008 langit nampaknya begitu muram dalam kegelapannya.
Apakah aku benar-benar telah mengatakannya? Pertanyaan itu berulang kali meluap ke udara yang terasa dingin dan tak bersahabat. Apalagi aku tak menggunakan sandal bahkan sepatu. Semua terasa aneh? Tapi tak masalah. Ada yang lebih dari itu, udara dingin dan ketelanjangan telapak kaki membuat aku merasa lebih yakin ini kenyataan. Ya nyata. Dan aku tampar pipiku, apakah ini mimpi atau ini benar benar bukan sekedar mimpi?
Hujan nampaknya akan segera turun seperti turunnya Ilham. Pada sore hari yang baru aku kenal. Karena sebelumnya aku tak mengenal sore”yang indah dengan warna kejujuran” Mendung di sore hari terasa mesra dan begitu akrab mendekap hati yang sedang melambung ke langit tujuh.
”Benarkah aku bisa?” Semua pertanyaan terasa mencekik keyakinan. Jika aku dapat menggambarkan semua maka akan aku katakan pada malam. Bahwa aku bisa berjalan selayaknya manusia biasa. Bisa berbicara dengan mulut yang terbuka. Dan bisa berkata ” Ya “ karena Ya dan melafalkanya dengan kata YA.
Bisakah kita bayangkan juga betapa bahagianya orang yang bisa berbicara dengan jujur dan apa adanya dari hati. Indah. Indah sekali, Seperti malaikat-malaikat turun dan memberikan salam kepada angin sore di gapura barat Sambek. Memberikan salam kejujuran. Aku bahagia?
Aku telah lepas dari segala beban. Surga serasa hadir dalam lamunanku menuju ganggang kecil dengan cat-cat rusak yang tak terawat. Jamur-jamur di tembok seolah memberikan semagat baru untuk tumbuh...

Di samping kanan, berdiri pohon-pohon yang doyong terhempas angin sore, burung-burung kembali ke sarangnya...membawakan makanan untuk anak-anaknya yang melonglong minta makan...
Bahagia terasa. Terasa benar dalam dada yang selama ini gersang dengan kemunafikan. Aku merasa malu karena dilahirkan sebagai manusia, mengapa sulit sekali berbicara apa adanya. “Lebih baik anak burung di sangkar pohon cemara yang melonglong minta makan karena kelaparan daripada manusia berdiam diri semedi pada kemunafikan’’.
Aku merasa hari ini Tuhan melahirkan aku kembali, aku bisa merasakan detak jantung yang gandrung, perasaan yang telah lama terpendam rasa kesedihan perlahan luluh dengan semua yang aku rasakan, seperti halnya hujan yang turun dari langit memberikan kedamaian di muka dunia.
Semuanya terasa lepas, dan aku merasa melayang di dekapan Tuhan ketika semuanya dimulai dari jalan menurun dari gapura dan aku berkata
“Bolehkah aku mengantarmu?”
Kau jawab pelan dengan nada sederhana dan berirama
“Tak usah sungkan kakak”
Dan aku kembali lagi mengucapkan kata-kata biasa
“Emmm... Adek baik banget”
“Ah tak usah merayu”
Aku diam. Benar-benar diam. Hanya suara sepatu Shevina dan Raran yang mengetarkan jalan dan memberikan irama lemah lembut di ujung detak jantung yang sudah semakin gandrung.
Detak jantungku kembali seperti suara senapan yang terburu-buru mengarah ke buronan yang baru saja kabur dari tahanan.
“Kakak mau mengantar adek sampai mana? Hari sudah sore lho jangan buat keluarga menjadi bingung!”
“Iya mas...”sambung Raran juga.
“ Sampai bawah tiang listrik, di ujung persimpangan desa, di gang-gang kecil yang biasa adek lewati atau tepatnya sampai ujung kakimu menyentuh rumahmu”
Tapi tak ada jawaban. Aku merasa malu. Benar. Tak bohong. Mengapa kakiku terus melangkah dan aku tak tau apa yang harus aku bicarakan...
Aku mengganti... dan mencoba berbicara lain tapi apa ? ah semua terasa terpaku. Lidahku tak lagi selincah ketika aku sedang berpidato atau memberi sambutan sebagai ketua OSIS atau kegiatan pengajian rutin hari Jum’at di Desa. Ih ... indah walau aku sulit berbicara tak lain karena aku belum paham apa yang hendak aku bicarakan. Tapi, apakah setiap aku bicara harus mengandung nasihat-nasihat? Atau petuah tentang berbuat kebaikan dan mengutuk sebuah kesalahan.? Aku benar-benar ingin lepas dari semua yang pernah ada dalam kebiasaanku. Aku ingin bebas dengan kata-kata biasa...seperti ketika aku kecil aku sering bernyanyi di jalan dengan lagu “Aku Seorang Kapiten” atau berteriak-teriak di puncak gunung...pasti lebih indah dari pada aku bersuara pada dialek yang sudah aku rancang semalaman...Uh.. nampaknya memang saatnya aku lepas dari segala yang biasa. Segalanya akan terasa indah karena keluar dari kebiasaan dan semuanya akan di kenang karena memang berbeda dari kenangan yang sudah biasa.
“He....ini hari Jum’at kan?” aku memulai lagi pembicaraan yang tadi sempat putus sesaat.
Sebelum ada jawaban aku menambah kata lagi pada udara di langit gelap tanggal tujuh itu, “Sekarang kakak sedang menghadap barat, kiblat tepatnya, atau entah menghadap ke mana yang jelas kakak ingin berbicara pada adek seperti pembicaraan burung dalam sangkar itu” dan tanganku menunjuk ke pohon cemara yang ada di kanan jalan tempat sangkar anak burung pleci melonglong kelaparan”
“ Adek lihat burung-burung itu...merekalah yang seharusnya masuk surga..., bukan manusia. Burung selalu berbicara jujur, ketika mereka lapar mereka akan berteriak dengan bahasa mereka. Tapi manusia?”
“Ya, terus apa hubunganya dengan kakak?”
Aku tak berani menjawab. Ayo... kata-kata di hati dan semuanya bergelut untuk saling mendahului...(ini saatnya Jamrud muncul dengan lagunya Ada Pelangi di Matamu….)
Aku sekali lagi belum bisa berkata dan Shevina lima langkah di depanku,
“Kakak kenapa ?“
Dan sebelum aku menjawab aku tarik tangan Shevina dan aku dekap tubuhnya tepat pada dadaku. Allhamdulillah, sepeda motor tidak mengenainya walau sedikitpun. Dan sedetik itu terasa berhenti ketika aku berkata
“Aku Mencintaimu....”


Wonosobo, 25 Januari 2009

blog comments powered by Disqus
 
{redundasi.blogspot.com} is proudly powered by Blogger.com | Template by Agus Santosa