tag:blogger.com,1999:blog-73550363843480930872023-11-15T22:31:58.600-08:00DEJA VUgoe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.comBlogger11125tag:blogger.com,1999:blog-7355036384348093087.post-23203358509492560072010-02-24T07:57:00.000-08:002010-02-24T09:34:37.038-08:00PENAWAR TERTINGGI<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHwDuJubhK6p3XGmjsoF3ARasNoDJHOONF2-w9mxtDRwR8rbs0jAlQnAZG2e8nO0Pey2Wc0VGNbvN1H7FsGZsJzjKfSTYAiz7cxmlaohOlwWa32jrEvyvSHyd7f1RSzmliPCWOBd6R036N/s1600-h/1_494649395l.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 211px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHwDuJubhK6p3XGmjsoF3ARasNoDJHOONF2-w9mxtDRwR8rbs0jAlQnAZG2e8nO0Pey2Wc0VGNbvN1H7FsGZsJzjKfSTYAiz7cxmlaohOlwWa32jrEvyvSHyd7f1RSzmliPCWOBd6R036N/s400/1_494649395l.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5441864446112086818" border="0" /></a><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >GADIS</span> kecil itu berjalan agak ragu memasuki hotel berbintang lima. Sang petugas satpam yang berdiri di samping pintu hotel menangkap kecurigaan pada wanita itu. Tapi dia hanya memandang saja dengan awas ke arah langkah wanita itu yang kemudian mengambil tempat duduk di lounge yang agak di pojok. Petugas satpam itu memperhatikan sekian lama, ada sesuatu yang harus dicurigainya terhadap wanita itu. Karena dua kali waiter mendatanginya tapi, wanita itu hanya menggelengkan kepala. Mejanya masih kosong. Tak ada yang dipesan. Lantas untuk apa wanita itu duduk seorang diri. Adakah seseorang yang sedang ditunggunya.<br />Petugas satpam itu mulai berpikir bahwa wanita itu bukanlah tipe wanita nakal yang biasa mencari mangsa di hotel ini. Usianya nampak belum terlalu dewasa. Tapi tak bisa dibilang anak-anak. Sekitar usia remaja yang t engah beranjak dewasa.<br />Setelah sekian lama, akhirnya memaksa petugas satpam itu untuk mendekati meja wanita itu dan bertanya:<br />'' Maaf, nona ... Apakah anda sedang menunggu seseorang? "<br />'' Tidak! '' Jawab wanita itu sambil mengalihkan wajahnya ke tempat lain.<br />'' Lantas untuk apa anda duduk di sini?"<br />'' Apakah tidak boleh? '' Wanita itu mulai memandang ke arah sang petugas satpam..<br />'' Maaf, Nona. Ini tempat berkelas dan hanya diperuntukan bagi orang yang ingin menikmati layanan kami.''<br />'' Maksud, bapak? "<br />'' Anda harus memesan sesuatu untuk bisa duduk disini ''<br />'' Nanti saya akan pesan setelah saya ada uang. Tapi sekarang, izinkanlah saya duduk di sini untuk sesuatu yang akan saya jual ''<br />Kata wanita itu dengan suara lambat.<br />'' Jual? Apakah anda menjual sesuatu di sini? ''<br />Petugas satpam itu memperhatikan wanita itu. Tak nampak ada barang yang akan dijual. Mungkin wanita ini adalah pramuniaga yang hanya membawa brosur.<br />'' Ok, lah. Apapun yang akan anda jual, ini bukanlah tempat untuk berjualan. Mohon mengerti. ''<br />'' Saya ingin menjual diri saya, '' Kata wanita itu dengan tegas sambil menatap dalam-dalam kearah petugas satpam itu.<span class="fullpost"><br />Petugas satpam itu terkesima sambil melihat ke kiri dan ke kanan.<br />'' Mari ikut saya, '' Kata petugas satpam itu memberikan isyarat dengan tangannya.<br />Wanita itu menangkap sesuatu tindakan kooperativ karena ada secuil senyum di wajah petugas satpam itu. Tanpa ragu wanita itu melangkah mengikuti petugas satpam itu.<br />Di koridor hotel itu terdapat kursi yang hanya untuk satu orang. Di sebelahnya ada telepon antar ruangan yang tersedia khusus bagi pengunjung yang ingin menghubungi penghuni kamar di hotel ini. Di tempat inilah deal berlangsung.<br />'' Apakah anda serius? ''<br />'' Saya serius '' Jawab wanita itu tegas.<br />'' Berapa tarif yang anda minta? ''<br />'' Setinggi-tingginya. .' '<br />'' Mengapa?" Petugas satpam itu terkejut sambil menatap wanita itu.<br />'' Saya masih perawan ''<br />'' Perawan? '' Sekarang petugas satpam itu benar-benar terperanjat. Tapi<br />wajahnya berseri. Peluang emas untuk mendapatkan rezeki berlebih hari ini.. Pikirnya<br />'' Bagaimana saya tahu anda masih perawan?''<br />'' Gampang sekali. Semua pria dewasa tahu membedakan mana perawan dan mana bukan.. Ya kan ...''<br />'' Kalau tidak terbukti? "<br />'' Tidak usah bayar ...''<br />'' Baiklah ...'' Petugas satpam itu menghela napas. Kemudian melirik ke kiri dan ke kanan.<br />'' Saya akan membantu mendapatkan pria kaya yang ingin membeli keperawanan anda. ''<br />'' Cobalah. ''<br />'' Berapa tarif yang diminta? ''<br />'' Setinggi-tingginya. ''<br />'' Berapa? ''<br />'' Setinggi-tingginya. Saya tidak tahu berapa? ''<br />'' Baiklah. Saya akan tawarkan kepada tamu hotel ini. Tunggu sebentar ya.''<br />Petugas satpam itu berlalu dari hadapan wanita itu.<br />Tak berapa lama kemudian, petugas satpam itu datang lagi dengan wajah cerah.<br />'' Saya sudah dapatkan seorang penawar. Dia minta Rp. 5 juta. Bagaimana? ''<br />'' Tidak adakah yang lebih tinggi? ''<br />'' Ini termasuk yang tertinggi, '' Petugas satpam itu mencoba meyakinkan.<br />'' Saya ingin yang lebih tinggi...''<br />'' Baiklah. Tunggu disini ...'' Petugas satpam itu berlalu.<br /><br />Tak berapa lama petugas satpam itu datang lagi dengan wajah lebih berseri.<br /><br />'' Saya dapatkan harga yang lebih tinggi. Rp. 6 juta rupiah. Bagaimana? ''<br /><br />'' Tidak adakah yang lebih tinggi? ''<br />'' Nona, ini harga sangat pantas untuk anda. Cobalah bayangkan, bila anda diperkosa oleh pria, anda tidak akan mendapatkan apa apa. Atau andai perawan anda diambil oleh pacar anda, andapun tidak akan mendapatkan apa apa, kecuali janji. Dengan uang Rp. 6 juta anda akan menikmati layanan hotel berbintang untuk semalam dan keesokan paginya anda bisa melupakan semuanya dengan membawa uang banyak. Dan lagi, anda juga telah berbuat baik terhadap saya. Karena saya akan mendapatkan komisi dari transaksi ini dari tamu hotel. Adilkan. Kita sama-sama butuh ... ''<br />'' Saya ingin tawaran tertinggi ... '' Jawab wanita itu, tanpa peduli dengan celoteh petugas satpam itu.<br />Petugas satpam itu terdiam. Namun tidak kehilangan semangat.<br />'' Baiklah, saya akan carikan tamu lainnya. Tapi sebaiknya anda ikut saya. Tolong kancing baju anda disingkapkan sedikit.<br />Agar ada sesuatu yang memancing mata orang untuk membeli. '' Kata petugas satpam itu dengan agak kesal.<br />Wanita itu tak peduli dengan saran petugas satpam itu tapi tetap mengikuti langkah petugas satpam itu memasuki lift.<br />Pintu kamar hotel itu terbuka. Dari dalam nampak pria bermata sipit agak berumur tersenyum menatap mereka berdua.<br />'' Ini yang saya maksud, tuan. Apakah tuan berminat? " Kata petugas satpam itu dengan sopan.<br />Pria bermata sipit itu menatap dengan seksama ke sekujur tubuh wanita itu ...<br />'' Berapa? '' Tanya pria itu kepada Wanita itu.<br />'' Setinggi-tingginya '' Jawab wanita itu dengan tegas.<br />'' Berapa harga tertinggi yang sudah ditawar orang? '' Kata pria itu kepada sang petugas satpam.<br />'' Rp.. 6 juta, tuan ''<br />'' Kalau begitu saya berani dengan harga Rp. 7 juta untuk semalam. ''<br />Wanita itu terdiam.<br />Petugas satpam itu memandang ke arah wanita itu dan berharap ada jawaban bagus dari wanita itu.<br />'' Bagaimana? '' tanya pria itu.<br />''Saya ingin lebih tinggi lagi ...'' Kata wanita itu.<br />Petugas satpam itu tersenyum kecut.<br />'' Bawa pergi wanita ini. '' Kata pria itu kepada petugas satpam sambil<br />menutup pintu kamar dengan keras.<br />'' Nona, anda telah membuat saya kesal. Apakah anda benar benar ingin menjual? ''<br />'' Tentu! ''<br />'' Kalau begitu mengapa anda menolak harga tertinggi itu ... ''<br />'' Saya minta yang lebih tinggi lagi ...''<br />Petugas satpam itu menghela napas panjang. Seakan menahan emosi. Dia pun tak ingin kesempatan ini hilang.<br />Dicobanya untuk tetap membuat wanita itu merasa nyaman bersamanya.<br />'' Kalau begitu, kamu tunggu di tempat tadi saja, ya. Saya akan mencoba mencari penawar yang lainnya. ''<br />Di lobi hotel, petugas satpam itu berusaha memandang satu per satu pria yang ada. Berusaha mencari langganan yang biasa memesan wanita melaluinya.<br />Sudah sekian lama, tak ada yang nampak dikenalnya. Namun, tak begitu jauh dari hadapannya ada seorang pria yang sedang berbicara lewat telepon genggamnya.<br />'' Bukankah kemarin saya sudah kasih kamu uang 25 juta Rupiah. Apakah itu tidak cukup? " Terdengar suara pria itu berbicara.<br />Wajah pria itu nampak masam seketika<br /><br />'' Datanglah kemari. Saya tunggu. Saya kangen kamu. Kan sudah seminggu lebih kita engga ketemu, ya sayang?! ''<br />Kini petugas satpam itu tahu, bahwa pria itu sedang berbicara dengan wanita.<br />Kemudian, dilihatnya, pria itu menutup teleponnya. Ada kekesalan di wajah pria itu.<br />Dengan tenang, petugas satpam itu berkata kepada Pria itu: '' Pak, apakah anda butuh wanita ... ??? ''<br />Pria itu menatap sekilas kearah petugas satpam dan kemudian memalingkan wajahnya.<br />'' Ada wanita yang duduk disana, '' Petugas satpam itu menujuk kearah wanita tadi.<br />Petugas satpam itu tak kehilangan akal untuk memanfaatkan peluang ini.<br />"Dia masih perawan..''<br />Pria itu mendekati petugas satpam itu.<br />Wajah mereka hanya berjarak setengah meter. '' Benarkah itu? ''<br />'' Benar, pak. ''<br />'' Kalau begitu kenalkan saya dengan wanita itu ... ''<br />'' Dengan senang hati. Tapi, pak ...Wanita itu minta harga setinggi tingginya.''<br />'' Saya tidak peduli ... '' Pria itu menjawab dengan tegas.<br />Pria itu menyalami hangat wanita itu.<br /><br />'' Bapak ini siap membayar berapapun yang kamu minta. Nah, sekarang seriuslah ....'' Kata petugas satpam itu dengan nada kesal.<br />'' Mari kita bicara di kamar saja.'' Kata pria itu sambil menyisipkan uang kepada petugas satpam itu.<br />Wanita itu mengikuti pria itu menuju kamarnya.<br /><br />Di dalam kamar ...<br /><br />'' Beritahu berapa harga yang kamu minta? ''<br />'' Seharga untuk kesembuhan ibu saya dari penyakit ''<br />'' Maksud kamu? ''<br />'' Saya ingin menjual satu satunya harta dan kehormatan saya untuk kesembuhan ibu saya. Itulah cara saya berterima kasih ....''<br />'' Hanya itu ...''<br />'' Ya ...! ''<br />Pria itu memperhatikan wajah wanita itu. Nampak terlalu muda untuk menjual kehormatannya. Wanita ini tidak menjual cintanya. Tidak pula menjual penderitaannya. Tidak! Dia hanya ingin tampil sebagai petarung gagah berani di tengah kehidupan sosial yang tak lagi gratis. Pria ini sadar, bahwa di hadapannya ada sesuatu kehormatan yang tak ternilai. Melebihi dari kehormatan sebuah perawan bagi wanita. Yaitu keteguhan untuk sebuah pengorbanan tanpa ada rasa sesal. Wanta ini tidak melawan gelombang laut melainkan ikut kemana gelombang membawa dia pergi. Ada kepasrahan diatas keyakinan tak tertandingi. Bahwa kehormatan akan selalu bernilai dan dibeli oleh orang terhormat pula dengan cara-cara terhormat.<br />'' Siapa nama kamu? ''<br />'' Itu tidak penting. Sebutkanlah harga yang bisa bapak bayar ... '' Kata wanita itu<br />'' Saya tak bisa menyebutkan harganya. Karena kamu bukanlah sesuatu yang pantas ditawar. ''<br />''Kalau begitu, tidak ada kesepakatan! ''<br />'' Ada ! " Kata pria itu seketika.<br />'' Sebutkan! ''<br />'' Saya membayar keberanianmu. Itulah yang dapat saya beli dari kamu.<br />Terimalah uang ini.<br />Jumlahnya lebih dari cukup untuk membawa ibumu ke rumah sakit.<br />Dan sekarang pulanglah ... '' Kata pria itu sambil menyerahkan uang dari dalam tas kerjanya.<br />'' Saya tidak mengerti ...''<br />'' Selama ini saya selalu memanjakan istri simpanan saya.<br />Dia menikmati semua pemberian saya tapi dia tak pernah berterima kasih.<br />Selalu memeras. Sekali saya memberi maka selamanya dia selalu meminta.<br />Tapi hari ini, saya bisa membeli rasa terima kasih dari seorang wanita yang gagah berani untuk berkorban bagi orang tuanya.<br />Ini suatu kehormatan yang tak ada nilainya bila saya bisa membayar ...''<br />'' Dan, apakah bapak ikhlas...? ''<br />'' Apakah uang itu kurang? ''<br />'' Lebih dari cukup, pak ... ''<br />'' Sebelum kamu pergi, boleh saya bertanya satu hal? ''<br />'' Silahkan ...''<br />'' Mengapa kamu begitu beraninya ... ''<br />'' Siapa bilang saya berani. Saya takut pak ...<br /><br />Tapi lebih dari seminggu saya berupaya mendapatkan cara untuk membawa ibu saya ke rumah sakit dan semuanya gagal.<br />Ketika saya mengambil keputusan untuk menjual kehormatan saya maka itu bukanlah karena dorongan nafsu.<br />Bukan pula pertimbangan akal saya yang `bodoh` ... Saya hanya bersikap dan berbuat untuk sebuah keyakinan ... ''<br />'' Keyakinan apa? ''<br />'' Jika kita ikhlas berkorban untuk ibu atau siapa saja, maka Tuhan lah yang akan menjaga kehormatan kita ... '' Wanita itu kemudian melangkah keluar kamar.<br />Sebelum sampai di pintu wanita itu berkata:<br />'' Lantas apa yang bapak dapat dari membeli ini ... ''<br />'' Kesadaran... '' .. . .<br /><br />Di sebuah rumah di pemukiman kumuh. Seorang ibu yang sedang terbaring sakit dikejutkan oleh dekapan hangat anaknya.<br />'' Kamu sudah pulang, nak ''<br />'' Ya, bu ... ''<br />'' Kemana saja kamu, nak ... ???''<br />'' Menjual sesuatu, bu ... ''<br />'' Apa yang kamu jual?'' Ibu itu menampakkan wajah keheranan. Tapi wanita muda itu hanya tersenyum ...<br />Hidup sebagai yatim lagi miskin terlalu sia-sia untuk diratapi di tengah kehidupan yang serba pongah ini.<br /><br />Di tengah situasi yang tak ada lagi yang gratis. Semua orang berdagang. Membeli dan menjual adalah keseharian yang tak bisa dielakan. Tapi Tuhan selalu memberi tanpa pamrih, tanpa perhitungan ....<br /><br /><br />'' Kini saatnya ibu untuk berobat ... ''<br />Digendongnya ibunya dari pembaringan, sambil berkata: '' Tuhan telah membeli yang saya jual... ''.<br />Taksi yang tadi ditumpanginya dari hotel masih setia menunggu di depan rumahnya. Dimasukannya ibunya ke dalam taksi dengan hati-hati dan berkata kepada supir taksi: '' Antar kami kerumah sakit ...''<br /><br />Sebuah Perenungan, September 2007<br /></span>goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7355036384348093087.post-31084289959167911862010-02-16T08:48:00.001-08:002010-02-16T08:55:04.606-08:00LOVE LETTER FOR AJENG<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioB1ZCbckCHSajiR59WVGdyCz066wWP8Yo95n75iiuaE7c4_A7ORwuuLrd51QjdTwSwVS8I_f6IDOIw_HMzc00e0leb5pVuuhbF_xcdZ_vwNXaC8PlpNJkaeGOEUehpZqCWEbIiBLWzE3O/s1600-h/Love_Letter_by_BenF.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 207px; height: 253px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioB1ZCbckCHSajiR59WVGdyCz066wWP8Yo95n75iiuaE7c4_A7ORwuuLrd51QjdTwSwVS8I_f6IDOIw_HMzc00e0leb5pVuuhbF_xcdZ_vwNXaC8PlpNJkaeGOEUehpZqCWEbIiBLWzE3O/s400/Love_Letter_by_BenF.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438884399899147474" border="0" /></a><span style="font-size:180%;"><span style="font-weight: bold;">D</span></span>himas bolak-balik ke toilet di ujung kamar kostnya yang gelap. Sebuah apartemen ‘proletariat’ katanya berdalih di hadapan teman-teman kuliahnya yang berkomentar tentang seleranya yang rendah memilih tempat pondokan.<br />Rumah kost itu milik sebuah keluarga besar, rumah besar yang dihuni kakak-adik beserta anak-anaknya, dan kakek-nenek berikut cucu-cucunya. Terletak di pinggiran kota, desain interior yang sederhana dengan budget rendah. Dinding trilplek dan sumur timba, hm…. benar-benar proletar. Penghuni kost campuran laki-perempuan,… nah ini yang bikin Dhimas amat demen. Dinding kamar yang terbuat dari triplek membangkitkan selera Dhimas untuk membuat ‘black hole’ (wuih… istilah ilmiah yang sangat keren untuk sebuah lubang kecil di dinding yang dibuat dengan bantuan obeng untuk mengintip!). Celakanya, kamar sebelah Dhimas selalu laki-laki yang nempatin, sementara ide brilian ‘black hole’ Dhimas dibajak Jeriko, mahasiswa asal Makasar yang kamarnya bersebelahan dengan Tante Tuti, mahasiswi ekstension yang bekerja di sebuah perusahaan swasta ternama.<br />Ini adalah ketujuh kalinya Dhimas bolak-balik ke kamar kecil gelap dan pengap itu. Hanya untuk sekedar memanjakan ureternya bekerja memompakan beberapa tetes urine, karena dipacu adrenalin yang membludak. Dhimas lagi nervous…. Dia sedang nulis surat! Surat cinta!<br /><span class="fullpost"><br />“Sama anak ingusan aja kau kelabakan gitu Dhimov!”, seloroh Jeriko mengejekku. Dia suka mem-plesetkan namaku dengan panggilan Dhimov karena menurutnya jalan pikiranku seperti orang-orangnya Gorbachev yang menganut paham Marxisme memperjuangkan kaum marjinal, orang pinggiran, ‘proletar’ dalam bahasanya Stalin.<br />“Cara pikir kamu tuh yang rasis, Ko’… semua-muanya musti dipertentangkan. Yang kecil lemah, yang besar kuat. Yang statusnya tinggi musti menjadi pemenang yang statusnya rendah harus mengalah. Dasar Kapitalis kamu anaknya paman Sam…. saya sumpahin deh jadi fried chicken…”. Jeriko tertawa ngakak kukatain begitu. Dasar Yahudi...<br />Aku mulai emosi kalau ada yang nglecehin gadisku sebagai anak kecil, ingusan, dan bla.. bla.. bla.. mentang-mentang dia masih kelas dua SMA. Eh.. kelas dua atau kelas sebelas ya…. Waduh, harus dihitung dari es de enam kelas, terus es em pe berarti kelas tujuh sampe sembilan… arcch…repot. Dulu waktu aku masih kecil dan belum sekolah sering ditanya orang, kelas berapa anak kecil? Aku bilang ‘kelas tujuh!’ sambil tereak, e.. malah pada ngetawain. Katanya kelas tujuh itu nggak ada. Sekarang, malahan kelas bisa sampai dua belas. Untung nggak ada kelas tiga belas, angka sial kata nenekku.<br />Gadis pujaanku, kelas sebelas .. arch.. aku lebih nyaman menyebutnya kelas dua SMA. Habis, sensasi cintaku kayak dulu waktu masih kelas dua SMA. Dia emang mirip banget sama pacarku waktu itu, mm… tujuh tahun yang lalu. Sekarang dia kuliah di fakultas Hukum. Emang sih di kelas dua dulu juga kita udah bubaran, cuman kita pacaran diam-diam, sulit untuk saling melupakan dan ga’ bisa akur disatukan. Yah... teman tapi mesra gitulah... Dia punya pacar aku cemburu,.. aku punya pacar dia malah nglabrak. Makanya aku sekarang pindah kost biar dia kagak datang buat nglabrak gadis kecilku ini yang… ehmmmmm imut abis kaya’ coklat Itali.<br />Tempat kost aku agak jauh dari kampus, tapi… yang lebih penting nichh.. deket ama sekolahan doi. Kalau mau berangkat kuliah aku kudu jalan kaki dulu nglewatin depan sekolahan dia sebelum sampai ke pemberhentian bus yang ke kampus. Seringnya sih, aku nongkrong dulu di warnet depan sekolahan dia, pura-pura antre ke internet. Padahal seh,.. asal udah liat doi datang di sekolah badan jadi fit meski ga usah senam pagi segar ceria, liat rambutnya yang panjang terurai wanginya sampai radius lima kilometer (pake shampo minyak duyung kali ya,,..) otak jadi bening kaya kaca kristal. Ngliat doi senyum, meskipun senyumnya ke orang laen wuih…wuih… rasanya pagi yang cerah bukan karena mentari terbit deh… tapi karena senyum Ajeng.<br />Ajeng Sekar Arum, tuch…kamu-kamu yang mbaca ntu nama langsung terasa khan wangi aroma yang menyumbat kepala dan pikiran… Udah deh.. nggak usah ndebatin ‘n nlecehin gadisku lagi. Kalian aku jamin pingsan kalo dapet kiss bye dari Ajeng,… dua ujung jarinya yang putih dan lentik menyatu; diletakkan di depan bibirnya yang hm…… alangkah lezatnya.. bakso di kafe Andromeda aza kalah lezat; dengan sedikit gerakan bibir membuka perlahan menimbulkan bunyi lembut.. mmmuuahh… “brak!…” tiba-tiba tubuhku udah telentang di trotoar, pingsan! cuman dikasih isyarat gituan aza?… apalagi yang lebih dalem .. ya….<br />Aduh…. HIV-ku kambuh neh,… ntu tuch… Hasrat Ingin Vivis!. Aku tahan dulu aja. Surat ini harus aku rampungkan sekarang juga. Besok pagi harus dikirim pake internet. Itu tuch.. minta anterin Neti, temen dia yang ngecomblangin aku. Besok kami janjian mau nonton twenty one di Jalan Soekarno-Hatta pulang doi sekolah. Padahal besok siang aku ada kuliah Paradigma Cartesian di Era Posmo ala Habermas. Ah… peduli amat, lagian iseng banget sih itu Mr. Tiala dosen filsafat ilmu mindahin jadwal seenaknya. Materi filsafat berat gitu ditaroh siang hari… ya.. mendingan ngedate aza ama Ajeng yang bola matanya seindah bintang jatuh…<br />Ini adalah lembar ketujuh. Enam lembar kertas surat wangi yang aku beli di toko buku Gramedia udah kusulap jadi bola basket dan masuk keranjang saat slam dunk. Aku ingin ini surat jadi sempurna, perfect ga boleh ada kesalahan barang dikit pun…. Tentu saja karena Ajeng adalah cewek sempurna yang aku tau, meski dia masih kelas dua SMA. Hati-hati banget pena Rotring ku menari-nari di atas selembar kertas wangi. Dengan tinta khusus, dan suasana khusus, yang setiap hurufnya ditorehkan dengan segenap perasaan dan jiwa jadilah sebuah surat cinta….<br /><br /><br /> <span style="font-family:courier new;">Di tepi jendela, Maret 2005</span><br /><br /><span style="font-family:courier new;">Lam Pramuka !!! eh...salah</span><br /><span style="font-family:courier new;">Lam Manies maksudnya</span><br /><br /><span style="font-family:courier new;">Oh....say saat kamu berjalan melenggang, alangkah indah bagai peragawati berjalan di atas cat tembok...eh, sorry salah nulis maksudnya cat walk..</span><br /><span style="font-family:courier new;">Ditambah dengan senyum maniesmu, oh.. betapa indahnya hari ini. ( kadar senyummu 50% nikotin, 25% caffeine n’ sisanya rahasia perusahaan )</span><br /><br /><span style="font-family:courier new;">Sejenak aku terbius dengan suasana itu, ngiler sich udah pasti. Ditambah puyeng, kejang-kejang, kram otot, tapi ngeluarin busa dari mulut sich nggak!</span><br /><span style="font-family:courier new;">T’rus aku diem, bengong , t’rus nelen ludah sampe-sampe aku gak sadar kalo permen karet yang lagi di emut ikut ketelen juga.</span><br /><span style="font-family:courier new;">Oh...say, senyum maniesmu emang bikin orang jadi lupa diri, lupa mandi n’ lupa ngangkat jemuran (waduh... musim hujan lagi..). Tapi untungnya ga’ lupa ingatan (karena selalu ingat senyummoe gitu loooch..)</span><br /><br /><span style="font-family:courier new;">Dan seandainya kamu tau kalo aku sering nongkrong di depan sekolahmu pagi-pagi bukan lagi nungguin tukang batagor lewat, ato nungguin duren jatuh, tapi aku lagi nungguin kamu lho.</span><br /><span style="font-family:courier new;">Demi kamu aku rela kepanasan, kehujanan, t’rus ditubuhku tumbuh lumut, jamur, ganggang n’ yang lainnya. Demi kamu aku rela ko’.</span><br /><br /><span style="font-family:courier new;">Emang sich aku gak bisa bawa kamu jalan-jalan ke ujung dunia, ujung kulon ato ujung kuku. Ato juga beliin kamu cokelat stick yang panjangnya dari sekolahanmu sampe kampusku.</span><br /><br /><span style="font-family:courier new;">Tapi karena status kamu masih pelajar, aku siap ko’ bantuin PR kamu. Yach, asal jangan matematika, fisika, kimia, bhs Inggris, akuntansi ato bahasa Arab. He...he...</span><br /><span style="font-family:courier new;">Pas udah ketagihan ma’ senyum kamu tuch, tumbuh satu rasa yang aku yakin rasa ini bukan rasa ayam bawang, rasa kari ayam, ato rasa jagung bakar. Tapi rasa ini rasa apa yach...????</span><br /><span style="font-family:courier new;">Tebak rasa apa coba..????.</span><br /><br /><span style="font-family:courier new;">Sorry, kalo tanpa basa-basi aku udah terlanjur speak love ma’ kamu. Eh... Sorry kelepasan, aduh bisa-bisa bocor nich rahasia.</span><br /><span style="font-family:courier new;">Yach udah kalo gitu jujur aza dech.</span><br /><br /><span style="font-family:courier new;">Dulu waktu masa Megalithicum (kalo gak salah... aku ga suka sejarah sih) Aku pernah kesengsem ma’ seorang cewek , tapi jujur aza jatuh cintanya Cuma satu kalie..</span><br /><span style="font-family:courier new;">T’rus, pernah juga dizamannya Dinasti Ming aku juga pernah suka ma’ gadis tetangga itu juga jatuh cintanya Cuma sekal</span><br /><br /><span style="font-family:courier new;">Tapi s’karang di zaman teknologi dah pada canggih, zamannya internit, eh internet, Aku jatuh cinta, jatuh hati, sampe jatuh bangun (kayak Meggy Z! Gitu dech..) Ma cewek spesial pake telor. Eh.. sorry pake pita merah jambu gitu lho maksudnya.</span><br /><br /><br /><span style="font-family:courier new;">Tapi anehnya, aku jatuh cinta ma’ dia gak Cuma satu kali. Tapi berkali-kali kali..kali .. n’ kalikan kali.</span><br /><span style="font-family:courier new;">Yang jelas Dhimas saat ini mo’ jujur-sejujurnya, cewek yang bikin jatuh cinta berkali-kali itu adalah kamu!</span><br /><span style="font-family:courier new;">Cewek yang bikin rindu ini numpuk setinggi gunung itu adalah kamu!.</span><br /><span style="font-family:courier new;">N’ kamulah satu-satunya cewek yang dah bikin cerita di zaman Megalithicum itu jadi,.. apa ya? masa sebelum orang-orang jadi bisa baca tulis itu masa apa ya? o..ya masa bodoh!</span><br /><br /><span style="font-family:courier new;">Say,.. cuman kamu yang bikin aku harus nulis kata kangen tiap detik di buku, baju, sprei, gordyn, kamar mandi, tembok, pager, sampe’ punggung orang laen yang lewat di depanku. Terang aja aku dimarahin, peduli amat karena aku emang kangen ama kamu setiap detik</span><br /><span style="font-family:courier new;">(satu detik adalah lamanya unsur cesium berpendar dalam suhu kamar dan di tekanan 1 atmosfir, kata guru fisika sih tapi menurutku sih.. satu detik seperti saat aku mengenang bulu lembut di keningmu, yang meremang kala kukecup dan ketika kusibak rambutmu.. waktu jadi terhenti).</span><br /><br /><br /><span style="font-family:courier new;">Dhim@s</span><br /><br /><br />Dengan hati-hati Dhimas melipat kertas wangi itu. Ujung kanan atas dan ujung kiri atas ditautkan menyatu di tengah kertas. Sisa bawahnya dilipat keatas muka dan belakang. Tengah kertas yang membentuk kerucut segitiga ditarik ke kanan dan kiri kemudian dilipat lagi ujung runcing ke atas pada sisi muka dan belakang. Seketika dibalik dan dibuka…. Warakadah!!… jadi kapal kertas!….tolooooong….<br /><br /><br /><br />Pondok Nara Pandeglang, Maret 2005<br />S. Agus Santosa, M.Pd<br /><br /><\span></span>goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7355036384348093087.post-91643650689452782192010-02-12T07:52:00.000-08:002010-02-12T08:07:47.866-08:00KESAKSIAN BURUNG KECIL...<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifhu1B5LvsOyUUbG4ZcWe-oaSMOsOd4q6EyaUdTRWhdnhTYjxMw7y_caeXSwzN21XtltkbLQvixcu-l0k3PC82PT7PvrqdCQV4mTh7Sd26ESkuo_kIyVwvjAUFgMN5SOptOrsFTMfneSee/s1600-h/ist2_3255875-love-birds.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 282px; height: 308px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifhu1B5LvsOyUUbG4ZcWe-oaSMOsOd4q6EyaUdTRWhdnhTYjxMw7y_caeXSwzN21XtltkbLQvixcu-l0k3PC82PT7PvrqdCQV4mTh7Sd26ESkuo_kIyVwvjAUFgMN5SOptOrsFTMfneSee/s400/ist2_3255875-love-birds.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5437389142853372882" border="0" /></a><span style="font-size:180%;"><span style="font-weight: bold;">L</span></span>angit gelap. Senja tak ada dalam bayangan pikiran. Sejauh arah mata memandang ke angkasa yang terlihat hanyalah gumpalan awan yang sudah enggan menahan hujan. Hari Jum’at, 7 November 2008 langit nampaknya begitu muram dalam kegelapannya.<br />Apakah aku benar-benar telah mengatakannya? Pertanyaan itu berulang kali meluap ke udara yang terasa dingin dan tak bersahabat. Apalagi aku tak menggunakan sandal bahkan sepatu. Semua terasa aneh? Tapi tak masalah. Ada yang lebih dari itu, udara dingin dan ketelanjangan telapak kaki membuat aku merasa lebih yakin ini kenyataan. Ya nyata. Dan aku tampar pipiku, apakah ini mimpi atau ini benar benar bukan sekedar mimpi?<br />Hujan nampaknya akan segera turun seperti turunnya Ilham. Pada sore hari yang baru aku kenal. Karena sebelumnya aku tak mengenal sore”yang indah dengan warna kejujuran” Mendung di sore hari terasa mesra dan begitu akrab mendekap hati yang sedang melambung ke langit tujuh.<br />”Benarkah aku bisa?” Semua pertanyaan terasa mencekik keyakinan. Jika aku dapat menggambarkan semua maka akan aku katakan pada malam. Bahwa aku bisa berjalan selayaknya manusia biasa. Bisa berbicara dengan mulut yang terbuka. Dan bisa berkata ” Ya “ karena Ya dan melafalkanya dengan kata YA.<br />Bisakah kita bayangkan juga betapa bahagianya orang yang bisa berbicara dengan jujur dan apa adanya dari hati. Indah. Indah sekali, Seperti malaikat-malaikat turun dan memberikan salam kepada angin sore di gapura barat Sambek. Memberikan salam kejujuran. Aku bahagia?<br />Aku telah lepas dari segala beban. Surga serasa hadir dalam lamunanku menuju ganggang kecil dengan cat-cat rusak yang tak terawat. Jamur-jamur di tembok seolah memberikan semagat baru untuk tumbuh...<br /><span class="fullpost"><br />Di samping kanan, berdiri pohon-pohon yang doyong terhempas angin sore, burung-burung kembali ke sarangnya...membawakan makanan untuk anak-anaknya yang melonglong minta makan...<br />Bahagia terasa. Terasa benar dalam dada yang selama ini gersang dengan kemunafikan. Aku merasa malu karena dilahirkan sebagai manusia, mengapa sulit sekali berbicara apa adanya. “Lebih baik anak burung di sangkar pohon cemara yang melonglong minta makan karena kelaparan daripada manusia berdiam diri semedi pada kemunafikan’’.<br />Aku merasa hari ini Tuhan melahirkan aku kembali, aku bisa merasakan detak jantung yang gandrung, perasaan yang telah lama terpendam rasa kesedihan perlahan luluh dengan semua yang aku rasakan, seperti halnya hujan yang turun dari langit memberikan kedamaian di muka dunia.<br />Semuanya terasa lepas, dan aku merasa melayang di dekapan Tuhan ketika semuanya dimulai dari jalan menurun dari gapura dan aku berkata<br />“Bolehkah aku mengantarmu?”<br />Kau jawab pelan dengan nada sederhana dan berirama<br />“Tak usah sungkan kakak”<br />Dan aku kembali lagi mengucapkan kata-kata biasa<br />“Emmm... Adek baik banget”<br />“Ah tak usah merayu”<br />Aku diam. Benar-benar diam. Hanya suara sepatu Shevina dan Raran yang mengetarkan jalan dan memberikan irama lemah lembut di ujung detak jantung yang sudah semakin gandrung.<br /> Detak jantungku kembali seperti suara senapan yang terburu-buru mengarah ke buronan yang baru saja kabur dari tahanan.<br />“Kakak mau mengantar adek sampai mana? Hari sudah sore lho jangan buat keluarga menjadi bingung!”<br />“Iya mas...”sambung Raran juga.<br />“ Sampai bawah tiang listrik, di ujung persimpangan desa, di gang-gang kecil yang biasa adek lewati atau tepatnya sampai ujung kakimu menyentuh rumahmu”<br />Tapi tak ada jawaban. Aku merasa malu. Benar. Tak bohong. Mengapa kakiku terus melangkah dan aku tak tau apa yang harus aku bicarakan...<br />Aku mengganti... dan mencoba berbicara lain tapi apa ? ah semua terasa terpaku. Lidahku tak lagi selincah ketika aku sedang berpidato atau memberi sambutan sebagai ketua OSIS atau kegiatan pengajian rutin hari Jum’at di Desa. Ih ... indah walau aku sulit berbicara tak lain karena aku belum paham apa yang hendak aku bicarakan. Tapi, apakah setiap aku bicara harus mengandung nasihat-nasihat? Atau petuah tentang berbuat kebaikan dan mengutuk sebuah kesalahan.? Aku benar-benar ingin lepas dari semua yang pernah ada dalam kebiasaanku. Aku ingin bebas dengan kata-kata biasa...seperti ketika aku kecil aku sering bernyanyi di jalan dengan lagu “Aku Seorang Kapiten” atau berteriak-teriak di puncak gunung...pasti lebih indah dari pada aku bersuara pada dialek yang sudah aku rancang semalaman...Uh.. nampaknya memang saatnya aku lepas dari segala yang biasa. Segalanya akan terasa indah karena keluar dari kebiasaan dan semuanya akan di kenang karena memang berbeda dari kenangan yang sudah biasa.<br />“He....ini hari Jum’at kan?” aku memulai lagi pembicaraan yang tadi sempat putus sesaat.<br />Sebelum ada jawaban aku menambah kata lagi pada udara di langit gelap tanggal tujuh itu, “Sekarang kakak sedang menghadap barat, kiblat tepatnya, atau entah menghadap ke mana yang jelas kakak ingin berbicara pada adek seperti pembicaraan burung dalam sangkar itu” dan tanganku menunjuk ke pohon cemara yang ada di kanan jalan tempat sangkar anak burung pleci melonglong kelaparan”<br />“ Adek lihat burung-burung itu...merekalah yang seharusnya masuk surga..., bukan manusia. Burung selalu berbicara jujur, ketika mereka lapar mereka akan berteriak dengan bahasa mereka. Tapi manusia?”<br />“Ya, terus apa hubunganya dengan kakak?”<br />Aku tak berani menjawab. Ayo... kata-kata di hati dan semuanya bergelut untuk saling mendahului...(ini saatnya Jamrud muncul dengan lagunya Ada Pelangi di Matamu….)<br />Aku sekali lagi belum bisa berkata dan Shevina lima langkah di depanku,<br />“Kakak kenapa ?“<br />Dan sebelum aku menjawab aku tarik tangan Shevina dan aku dekap tubuhnya tepat pada dadaku. Allhamdulillah, sepeda motor tidak mengenainya walau sedikitpun. Dan sedetik itu terasa berhenti ketika aku berkata<br />“Aku Mencintaimu....”<br /><br /><br />Wonosobo, 25 Januari 2009<br /></span>goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7355036384348093087.post-73730284536095011762009-12-17T10:35:00.001-08:002010-02-12T07:54:49.568-08:00LOVE IS A CRAZY THING<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSGRQT5mCJ3o9W0oaT4DEZZr84qUwKducmGQ_DjeNwZmgcT5eLzceUCWXyu2lkrIhwjHaJw6fxuVedc4UfgnLvGzWBwWHgztJ7sGKhpcTQEDmotVnlPxf5lOwP_DXzxjYWtezAzQDY9gWY/s1600-h/love+craz.gif"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 243px; height: 279px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSGRQT5mCJ3o9W0oaT4DEZZr84qUwKducmGQ_DjeNwZmgcT5eLzceUCWXyu2lkrIhwjHaJw6fxuVedc4UfgnLvGzWBwWHgztJ7sGKhpcTQEDmotVnlPxf5lOwP_DXzxjYWtezAzQDY9gWY/s400/love+craz.gif" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5437379614096551586" border="0" /></a><span style="font-size:180%;"><span style="font-weight: bold;">L</span></span>ilin tersenyum sendiri ketika ia melihat Andre. Kedua temannya, Bily dan Vel juga ikut tersenyum melihat gelagat temannya itu.<br />"Woi, udahan ... nanti dikira gila lagi" Kata-kata Bily menghentikan keasyikan Lilin.<br />"Ih, biasa aja kali." Lilin menimpali.<br />"Yang biasa tuch harusnya kamu. Orangnya udah lewat dari tadi masih senyum." Kata Vel.<br />"Lin, kalo dia udah pergi gimana?"<br />"Gimana ya Ly. Aku belum kepikiran sampe kesitu."<br />"Lho, kok belum sich?! Eh, Lin! Dia itu kelas 3 bentar lagi mau lulus. Kok belum dipikirin sich?" tiba-tiba Vel menimpali pernyataan Lilin.<br />"Vel, bukan gitu juga sich. Tapi ..."<br />"Bukan gitu gimana?" tanya Bily.<br />"Tahu sendiri kalo aku tu secret admirer, jadi ya gak bisa ngapa-ngapain ama hubungan ini."<br />"Ngomong kek." Kata Vel.<br />"Aje gile! Cewek ngomong duluan?? Situ gak salah? Malu-maluin tahu!" sentak Bily.<br />"Ya, dicoba ..." sahut Vel.<br />"Vel, gimanapun juga, aku masih punya harga diri. Suka sich suka, cinta sich cinta tapi kalo mpe nembak duluan ... ya ogah! Mending diterima nah, kalo gak gimana? Mau ditaruh dimana mukaku?? Apalagi dia juga lumayan populer, apa kata anak laen? Please deh Vel, pikir dulu kek kalo ngomong." Lilin tiba mencecar Vel habis-habisan.<br />"Iya-iya gak usah sewot dong." Vel pun menyesal.<br />œ�<br /><span class="fullpost"><br />Adalah Kalin Natasya, Nabilia dan Marvella Riana, tiga sahabat yang menjalin persahabatan sejak SMP. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang semester 2 dan awal menjadi siswa kelas 3 SMA.<br />"Panasnya ....."Vel mengeluh dengan udara yang panassss banget.<br />"Iyah ..... " Bily mengiyakan. "Lho, Lin kenapa masih pake jaket sich? Mank kamu gak panas?"<br />"Dikit ...." Jawabnya lesu.<br />Istirahat pertama terasa membosankan. Kantin penuh disesaki para manusia kelaparan, membuat ketiga sahabat ini terpaksa duduk di depan kantin. Nunggu kalo udah agak sepi.<br />"Lin, kenapa?" tanya Bily.<br />"Iyah, kenapa sich? Koq murung gitu? Ada juga kalo pas pertama masuk sekolah seneng bukan muka ditekuk gitu." Vel menimpali.<br />Lilin tetap murung. Tahun ini terasa berbeda, dulu waktu dia masih kelas 2 dia masih bisa liat si Andre tapi sekarang .... sepi. Lilin juga tahu kalo dia cuma ngefans doang tapi rasanya .... perasaan Lilin lebih dari seorang fans terhadap idolanya.<br />"Lin, jajan yuk! Dah agak sepian nich ..." ajak Vel.<br />"Hm .." Lin langsung beranjak bangun. Sementara kedua sahabatnya mulai mengerti keadaan Lilin sekarang.<br /><br />Bel berbunyi, mereka bertiga mulai meninggalkan kantin sampai Lilin .....<br />"Andre......" Langkah Lilin terhenti ketika seseorang berjalan ke arah kantin.<br />"Apa, Lin?" kata Bily dan Vel bersamaan.<br />Bily dan Vel pun dilanda kebingungan. Mana Andre? Bukannya dia dah lulus? Masa tiba-tiba balik? Ini kan masih jadwal masuk kuliah.<br />"Lin, mana Andre?" tanya Bily<br />Seseorang yang dikira Andre pun lewat di depan Lilin, membuyarkan lamunannya.<br />"Eh, gak koq! Yuk masuk! Nanti Bu Rini marah lagi." Kata Lilin gugup.<br />Lilin segera saja ngeloyor pergi diikuti Vel dan Bily.<br />œ�<br /><br />Di sebuah kamar tampak seorang gadis duduk di ranjang tempat tidurnya. Senyumnya terkembang. Sejak bertemu dengan cowok yang mirip Andre wajah Lilin berbunga-bunga. Dia mulai bergumam ...<br />"Siapa dia?"<br />œ�<br />"Pagi ....." Sapa Lilin pada Vel.<br />"Pagi ...."<br />"Yang laen mana Vel? Koq cuma kamu doang?"<br />"Tau tuch! Penyakit telat mereka mulai kumat kali."<br />"Eh, kluar yuk! Sambil nungguin anak-anak."<br />"Yuk."<br /><br />Udara pagi ini cukup dingin. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.45 dan baru mereka yang datang. Tiba-tiba mata Lilin menangkap sosok seseorang yang dia kenal.<br />"Kenapa Lin?"<br />"Tau gak Vel?"<br />"Apa?"<br />"Ada adek kelas yang mirip ma Andre."<br />"Serius? Kelas berapa?"<br />"Gak tau, makanya hari ini aku mau cari tau. Bantuin aku ya?"<br />"OK!"<br />œ�<br />Pelajaran Sejarah tuch agak membosankan. Kenapa? Karena gurunya membosankan. Bukannya mau ngejelekin tapi aduuuuh ni Guru ampun deh bikin ngantuk doang. Lilin menoleh ke belakang.<br />"Ly, ngantuk nich."<br />"Sama Lin, mata tinggal lima watt doang"<br />"Eh, aku belum crita ya?"<br />"Apaan?"<br />"Tadi aku liat ada adek kelas yang mukanya mirip Andre."<br />"Oh, yang bikin kamu nglamun di depan kantin itu?"<br />"He'eh. Jadi nanti pas istirahat kamu ma Vel bantuin aku cari tau siapa tu cowok ya?"<br />"Iya deh. Paling gak ni buat have fun kamu setelah gak da Andre."<br />"Mungkin ya ..."<br />Mereka berdua tersenyum bahagia. Tapi apa hanya have fun? Lets see ...<br />œ�<br />Istirahat kali ini jadi misi mereka. Lilin terlihat semangat. Lilin merasa agak gugup tapi tak terlihat. Dia memang ingin tau siapa nama cowok itu tapi dia tidak terlalu berharap. Let it flow.<br />"Ly, liat itu Andre!"<br />"Mirip doang Lin!" kata Vel.<br />"Iya-iya. Kliyatannya dia mau ke kantin sebelah bareng temen-temennya."<br />"Itu ya cowok yang mirip Andre. Agak mirip. Pantesan kamu suka." Kata Bily.<br />"He he he ...."<br />"Tapi Lin, ini ya kayak peribahasa gak da ranting, akar pun jadi." Kata Vel.<br />"Bener tuch, gak da Andre ...." kata-kata Lin terpotong ketika seseorang mulai berteriak.<br />"Tachibana!"<br />Sontak anak yang dipanggil menoleh.<br />"Apa?" tanyanya.<br />"Kantin sini dulu. Gue mau nambah lagi."<br />"Gue tunggu disini" Jawabnya dingin.<br /><br />Jadi namanya Tachibana ..... Senyum Lilin terkembang.<br />" ..... Tachibana pun jadi." Kata Lilin dalam hati.<br />Kedua sahabat Lilin pun mulai tersenyum. Gotcha! I get u ….<br />œ�<br />Saat pulang sekolah.<br />"Vel, kamu tau gak siapa temennya Tachibana tadi?" tanya Lin.<br />"Kalo gak salah namanya Ricki. Mau cari tau lewat dia ya?"<br />"Makasih pak." Katanya pada penjual siomay depan sekolah. "Iya dong. Bantuin ya?"<br />"Gak memohon pun kita pasti bakal bantuin kamu." Kata Bily. "Pak, siomaynya komplit 2000." Kata Bily pada penjual siomay.<br />"Iya, Neng!" Jawab penjual siomay.<br />"Lho, Lin itu kan Ricki!" kata Vel sambil menunjuk ke arah Ricki.<br />"Eh, iya! Ayo Vel cari tau! Ly, tunggu bentar ya! Ntar Ricki-nya keburu pergi."<br />"Iya, cepetan!"<br /><br />Terburu-buru mereka menghampiri Ricki.<br />"Hei! Hei! Adek kelas! Ricki!" teriak Vel.<br />Yang punya nama langsung menoleh.<br />"Ada apa?"<br />"Ricki ya?" tanya Lilin.<br />"Iya, kenapa?"<br />"Temennya Tachibana?" tanya Vel.<br />"Iya. Ada apa sich?"<br />Lilin dan Vel saling memandang. Sementara Ricki mulai penasaran.<br />"Boleh tau gak ..." tanya Vel.<br />"Nomor HP Tachibana ... " Lilin melanjutkan.<br />"Oh, itu. Bentar." Katanya sambil mengeluarkan HP-nya.<br />Ricki mulai mencari nomor Tachibana.<br />"Nomornya … "<br />"Bentar …."kata Lilin sambil mengeluarkan HP-nya.<br />"086327777" kata Ricki.<br />"Udah. Makasih ya."<br />"Iya. Udah kan, Mbak?"<br />"Udah. Eh, tapi jangan bilang Tachibana kalo kita minta nomor HP-nya. OK?"<br />"Iya."<br />"Ya udah, pulang gih! Makasih ya." Kata Lilin.<br />Ricki mulai pergi. Dan kedua gadis itu tersenyum bahagia.<br />"Gimana?" tanya Bily tiba-tiba.<br />"Udah ya? Cepet banget, bukannya rame?" tanya Vel.<br />"Iya, tu penjual tangannya agak cekatan. Eh, gimana Lin?"<br />"Dapet!" jawab Lilin<br />"Siip deh!"<br />œ�<br />"Vel, coba hubungi Tachibana!" kata Lilin.<br />Nongkrong pas istirahat tu nyenengin lho! Hm … apalagi kalo sambil ngomongin cowok.<br />"Kenapa gak kamu aja sich?" tanya Bily.<br />"Gak ah, coba dulu pake nomornya Vel. Kali aja kan Ricki bo'ong." Jawab Lilin.<br />"Berapa nomornya?"<br />"086327777. Ayo cepet!"<br />"Bentar, Bu!" kata Vel menenangkan Lilin.<br />Vel mulai memencet tombol dial. Tak berapa lama kemudian terdengar nada sambung.<br />"Eh, nyambung koq!" kata Vel.<br />"Beneran?" tanya Lilin.<br />"Iya!" jawab Vel.<br />"Tutup! Tutup!" kata Bily terburu-buru.<br />Vel menutup telponnya.<br />"He he he ... akhirnya." Lilin lega banget.<br />"Kita tunggu kelanjutannya teman!" kata Bily.<br />œ�<br />Malam ini Lilin mulai sms Tachibana, berharap sambutan baik menghinggapinya.<br /><br />Hi ....!<br /><br />Tak lama HP Lilin berbunyi,<br /><br />Hi juga ....<br /><br />Tuhan!!!! Makasih!!!!!!! Segera ia menjawab ...<br /><br />9Y nGapa!n neehh?<br /><br />HP-nya berbunyi lagi ...<br /><br />Gy nonton tv<br />Siapa ya?<br /><br />Senyum Lilin terkembang melihat jawaban Tachibana.<br /><br />Lilin. Gan9gu gak?<br /><br />Lagi ... berbunyi ...<br /><br />Oh, Hi Lilin! Gak ganggu kok<br /><br />Thx God!!!!! Malem tu Lilin menikmati kegiatannya itu.<br />œ�<br />Belakangan Lilin mulai menikmati hubungannya dengan Tachibana. Dia ramah banget. Lilin suka. Setiap hari dia bercerita pada Vel dan Bily tentang perkembangannya dengan Tachibana. Bahkan ketika Lilin sms ..<br /><br />JdikaN cntA sb9 kmbn9 aPi ...<br />MesKi sIngkaT,,tpI smuA<br />akaN mn9aguMi keindhaNny,,<br />jdKan sprtI Li2n y9 reLa haNcur deMi<br />mNeran9i Org y9 dsyaNgi<br /><br />atau ....<br /><br />gUnuNg mnaNgiS kRn<br />khiLanGan huTanNy.<br />huTan mnaNGis kRn khilanGan ph0nNy<br />laUT mnaNgis kRn<br />khLaNgan teruMbu KranGny...<br />buMi mnaNgis kRn khlaNgan guNuNg,<br />huTan n lauTny..<br />pY cMua ikT bsedih n mnaNgis saaT<br />mELihaTku mEraNa<br />khLanGan ssUaTu yG<br />cGd bhaRga ...<br />i2 adH kM ....<br /><br />Kedua sahabatnya pun mulai senang dengan perubahan sikap Lilin. Lama-kelamaan perasaan Lilin berubah, bukan hanya seorang fans terhadap idolanya tapi kali ini dia benar-benar suka ....<br />œ�<br />Sampai suatu pagi ....<br />"Vel! Ly! Denger deh!"<br />" Ada sich? Pagi-pagi dah gempar!" kata Bily.<br />"Tadi malem aku sms Tachibana lagi trus dia bilang kalo dia udah berkeluarga. Masa sich anak kelas 2 SMA dah berkeluarga?"<br />"Ya iyalah. Mank kedua orang tuanya bukan kluarganya? Pantes donk kalo dia ngomong gitu." Kata Bily.<br />"Iya yah, bener juga. Tadi malem aku sempet ngirain dia bo'ong tapi dia tetep keukeuh kalo dia udah berkeluarga. Makasih Ly."<br />"Makanya jangan suudzon dulu. Pikir dengan kepala jernih." Kata Vel.<br /><br />Tapi pagi itu adalah awal dari sebuah perubahan besar bagi Lilin.<br />œ�<br />Singkat cerita ....<br /><br />"Teman-teman! Dia ngajakin ketemuan!" kata Lilin girang.<br />"Di mana?" tanya Vel<br />"Hoka-Hoka Bento."<br />"Kapan?" tanya Bily.<br />"Pulang sekolah ini."<br />"Ya udah, temui aja. Kita temenin deh." Kata Bily.<br />"OK!<br /><br />Sampai di HokBen (Hoka-Hoka Bento-red) mereka mulai mencari-cari Tachibana.<br />"Ada gak?" tanya Lilin.<br />"Gak da deh." Kata Vel.<br />"Tapi tadi ada Honda Tiger di parkiran." Kata Bily.<br />"Telpon dulu deh ..." kata Vel.<br />Lilin menghubungi Tachibana. Selang beberapa saat.<br />"Dia udah nunggu koq. Katanya pake jaket item, gitu."<br />"Trus ...." Bily mulai tidak sabar.<br />"Ya, itu tadi aku bilang aku pake baju biru."<br />Kemudian, selang beberapa saat, seorang bapak-bapak berjaket hitam menghampiri mereka. Kontan Lilin langsung shock. Dia tak percaya, begitupun kedua sahabatnya. Tiba-tiba mereka langsung berlari kencang. Lilin menahan air mata sambil berlari. Pikirannya kalut. Tak lama tangisnya pecah. Tuhan .... katanya dalam hati.<br />Hosh hosh hosh hosh ....<br />"Lin, bapak-bapak tadi ....." kata-kata Vel terputus.<br />"Aku g tau ... hiks hiks hiks ... kenapa yang muncul bapak-bapak?" Katanya terisak.<br />"Tenang, tenang Lin. Telpon lagi deh." Kata Bily.<br />"Iya telpon lagi." Saran Vel.<br />Lilin mencoba menenangkan perasaannya dan mencoba mengubungi "Tachibana".<br />"Halo,."<br />"Halo, Lilin?"<br />"Iya,. Kamu pake jaket item?"<br />"Iya, kamu pake baju biru itu kan? Kenapa lari?"<br />Wajah Lilin pucat pasi. Bapak-bapak = Om-om??? Lilin menutup sambungannya. Kali ini ia benar-benar tak bisa menahan tangisnya lagi. Kenapa jadi gini???? Tiba-tiba seorang lelaki muda menghampiri mereka. Ketiganya terkejut.<br />"Yang namanya Lilin mana? Kamu?" tanyanya sambil menunjuk Bily<br />"Bukan!" jawab Bily.<br />"Kamu?" tunjuknya pada Vel.<br />"Bukan! Kata Vel. "Dia!" tunjuk Vel dan Bily bersamaan.<br />"Kamu Lilin?" tanyanya lagi.<br />"Ayo temui guru kami." katanya<br />Guru???? Apa-apaan ini???<br /><br />Awalnya Lilin bersikeras tidak mau tapi setelah dibujuk beberapa kali akhirnya dia bersedia walau ia tau sekali perasaannya hancur. Dia juga punya alasan lain, dia ingin minta maaf. Usianya kini masih remaja, dan ia tidak ingin dianggap perempuan yang tidak baik gara-gara sering sms bapak-bapak. Sesampainya di sana jantungnya berderap kencang, pikirannya kalut. Tangisnya semakin menjadi-jadi ketika ia diminta bercerita oleh bapak-bapak tadi kenapa Lilin sering sms bapak-bapak itu. Dan dia baru tahu kalo bapak-bapak tadi bernama Pak Dhimas, seorang guru SMA di kotanya. Pak Dhim juga mengajak murid-muridnya untuk menemani menemui Lilin bertiga, karena dia yakin Lilin dan kawan-kawan pasti akan shock. Setelah puas bercerita barulah perasaan Lilin lega. Dan barulah tersadar bahwa ia telah mempermalukan dirinya di depan semua orang. Tapi dia masih tetap shock. Jadi selama ini dia udah sms-an sama seorang Guru yang sudah berkeluarga dan memiliki dua anak???? What a crazy is it!!!!! Ya Ampyyuuuuuuunnnn .....<br />-End-<br />Wonosobo, Desember 2008<br /><br /></span>goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7355036384348093087.post-72707334218003578862009-08-18T21:04:00.000-07:002009-08-19T19:11:54.657-07:00STATUS PALSU...<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhP7bpBSiDeS5uagiDpi8vUiwzTtXH4etbiCYRG1gEhlIVuhXlLr9YYnjLNPq0vGjcTZMImktkBMAGlbr7r6NxRR7Z6XiQ4MoiBXczH06gh3L72w9eTFtatUsPHcIvp0PEcq5w-mEkkE8DU/s1600-h/status.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 216px; height: 343px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhP7bpBSiDeS5uagiDpi8vUiwzTtXH4etbiCYRG1gEhlIVuhXlLr9YYnjLNPq0vGjcTZMImktkBMAGlbr7r6NxRR7Z6XiQ4MoiBXczH06gh3L72w9eTFtatUsPHcIvp0PEcq5w-mEkkE8DU/s400/status.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5371540175417384610" border="0" /></a>Suara kokok ayam membuat aku terjaga dari tidur. Mengakhiri mimpi-mimpiku semalam. Cahaya mentari mengintip dari ventilasi jendela, menyilaukan mataku yang kupaksa membuka kelopaknya. Kuberi kedipan manis untuk Pussy, boneka kucing kesayangan yang selalu ada di samping bantal. Dia membalas dengan mengucapkan ‘good morning’dengan bahasa bangsa boneka yang tak pernah kumengerti. Segera kujulurkan tangan mengambil guling yang jatuh ke lantai, korban ‘tidur liarku’ semalam. Selimutku! Menggantung di kaki ranjang tidur. Uaaaah… dengan malas kuputar pinggang ke kanan dan ke kiri, menggeliat. Pemanasan paling baik setelah tidur, menurutku.<br /><br />Pandanganku terhenti pada kalender yang tergantung di dinding. Kemarin tanggal satu bulan Juli. Hari Bhayangkara, hari Anak-Anak Indonesia, tahun pembelajaran baru sekolahku dan… hari Sabtu tentunya. Sekarang, tanggal dua. Hariku. Maksudnya, tepat tujuh belas tahun lalu hari pertama aku memperoleh hak hidup di dunia ini. Aku meloncat dari tempat tidur dengan girang seperti anak kecil menyambut kedatangan ibunya. Ah, bodoh amat, pikirku. Mengapa harus girang? Bukankah dengan bertambahnya umur berarti jatah hidupku di dunia ini semakin berkurang? Cita-cita masih mengambang, ilmu masih mepet. Duit masih minta mama, rumah numpang papa. Tak ada yang bisa kubanggakan.<br /><br />Kutatap wajahku di depan cermin. Apa yang aku punya selama ini? Wajah oval bibir sensual. Tahi lalat di pipi dan dahi. Serta identitas puberku, sebutir jerawat di bawah hidung. Leher jenjang, dada sedang, perut langsing, paha sampai betis terbentuk sempurna. Tangan lampai, jemari lentik, semakin cantik dengan tahi lalat di jari tengah tangan kiriku. Kuku tangan kubiarkan memanjang menyempurnakan jemariku yang meruncing ujungnya. Bagian tubuhku yang disukai Yasrul adalah jariku.<br />“Hasil pahatan seniman yang bernilai seni tinggi”, katanya memuja jariku yang menari di whiteboard menyalin tugas bahasa Inggris dari Pak Jono. Satu lagi, kulitku, wajahku kuning langsat, bersih meski tanpa make up. Percuma!<br /><br />Bangkit dari kekaguman pada bayangan tubuhku di cermin, kuambil diary biru lazuardi di laci meja. Membuka kembali sejarah yang pernah mengisi lembaran hidupku.<br />...Senin, 2 Juli lima tahun lalu, rangking satu. Kado ultah yang kedua belas. Heboh, usil, konyol.<br />Kucoba meraba makna dari tiga kata terakhir itu. Ulang tahun paling membekas dalam ingatanku.<br /><span class="fullpost"><br />Sesudah penerimaan raport cawu tiga, kegiatan ekskul belum diliburkan. Malahan lebih ditingkatkaan. Drumband yang biasanya sekali seminggu, kini menjadi tiga kali seminggu. Maklumlah, semua itu dipersiapkan untuk menghadiri undangan di balaikota tanggal dua belas Agustus nanti. Untuk upacara tujuh belasan di lapangan Pancasila pun grup drumband dari SD kami yang akan mengisinya. Walaupun tujuh belas Agustus masih sebulan lebih, tapi persiapan yang matang akan membuat kami tampil pede di depan peserta upacara nanti.<br /><br />Kedisiplinan baris-berbaris kami tingkatkan. Pak Kurnia, guru drumband-ku mengajarkan beberapa variasi baris-berbaris. Pak Kurnia mengajari kami formasi barisan yang membentuk angka lima puluh enam (karena HUT RI ke 56 saat itu). Bagaimanapun juga kedisiplinan baris-berbaris dalam drumband lebih menyenangkan daripada Pramuka. Kedisiplinan yang fun dalam drumband membuat kami aktif dalam mengikuti kegiatan ekskul tanpa ganjalan apapun. Tidak seperti Pramuka di sekolah lanjutan, aku mengikutinya hanya untuk menghindari sanksi dari kakak-kakak Dewan Ambalan.<br /><br />Menjelang 17-an, lagu-lagu daerah seperti Suwe Ora Jamu dan Kampuang Nan Jauh di Mato diganti dengan lagu-lagu nasionalisme. Kali ini Pak Kurnia memberi lagu Bangun Pemuda-pemudi. Mula-mula kami mencatat not angka lengkap dengan intro. Selesai mencatat kami mengambil instrument masing-masing seperti pianika, bass dan tamtam, sesuai dengan peranan kami tanpa menunggu komando dari Pak Kurnia. Guru membacakan not-not angka tiap-tiap baris dan kami mengulangnya.<br /><br />’sol do re mi sol sol fa mi re do re mi<br />sol do re mi sol sol fa mi re mi re do…’<br /><br />Begitulah intro lagu Bangun Pemuda-pemudi dibacakan oleh Pak Kur diikuti suara kami. Pak Kur begitu telaten mendengarkan pita suara kami yang masih sering false sehingga dalam dua kali tempo, kami sudah bisa mengulangnya dengan tuts-tuts pianika. Tanpa waktu panjang kami masuk ke lagu.<br />‘sol mi fa sol do re mi do do si re do si la sol<br />sol mi fa sol do re mi do re re mi fa sol……<br /><br />Bangun pemuda pemudi Indonesia<br />Lengan baju kau singsingkan untuk negara…….’<br /><br />Sekali lagi kami mengikuti suara Pak Kur. Tak lama kemudian kami sudah bisa mengalunkan ‘Bangun Pemuda-pemudi’ mulai dari intro sampai selesai. Satu lagu penuh dengan tuts-tuts pianika. Giliran pemegang alat musik ritmis mendapat pelatihan Pak Kur untuk mengiringi alunan musik melodies. Gema drumband yang merupakan perpaduan alat musik melodies dan ritmis memenuhi ruangan tujuh kali tujuh yang biasa kami pakai berlatih drumband ini. Pak Kur memacu semangat kami dengan lambaian tangannya seperti seorang dirigen memimpin sebuah koor. Dan suara pianika, tamtam, bass berpadu selaras dan harmonis menyerupai pertunjukan orkestra Erwin Gutawa.<br />Setelah berlatih di dalam, kamipun digiring keluar ruangan. Sesegera mungkin kami membentuk formasi barisan sebelum kedua mayoret datang. Dua deretan paling depan adalah pembawa bendera triwarna, pink, kuning, dan biru. Warna bendera grup drumband kami. Disusul empat deretan pemain pianika, termasuk aku. Di belakangnya dua barisan pembawa tamtam. Tetapi dimana Victor? Rupanya dia sedang mengganti stick tamtamnya yang patah ketika latihan indoor tadi.<br /><br />One…two…three… suara Septi dan Netik disertai gerakan lincahnya menarikan tongkat mayoret memberi aba-aba tanda mulai. Bunyi tamtam, bass disusul pianika membentuk kesatuan irama pembukaan. Permainan orkestra kami mulai goyah ketika dikombinasikan dengan gerakan membentuk formasi lima enam. Bunyi peluit panjang Pak Kur mengisyaratkan supaya kami berhenti. Dilatihnya kami membentuk formasi lima enam tanpa diiringi drumband. Setelah bisa baru dimulailah kombinasi orkestra drumband kami dengan formasi lima enam.<br /><br />Selanjutnya kami mulai keluar dari kompleks sekolah dan berjalan mengelilingi sebuah gang di samping sekolah kami. Kedisiplinan dan ketertiban baris-berbaris kami mulai diuji. Inilah yang palin berat bagi kami, drumband sambil berjalan dengan melihat kiri kanan meluruskan barisan. Sampai di lapangan kami beristirahat kurang lebih limabelas menit sebelum akhirnya berlatih lagi.<br /><br />“Ini untuk melatih mental kalian menghadapi lapangan yang luas dan para peserta upacara yang mungkin membludak nantinya,” kata Pak Kur ketika kami mulai mengeluhkan panasnya hawa di lapangan.<br /><br />Matahari mulai melangkah ke barat ketika kami kembali dari lapangan. Drumband ditutup dengan lagu Happy Birthday di halaman sekolah. Tak seperti biasanya yang menggunakan lagu Sayonara sebagai lagu penutup. Lagu itu mereka dendangkan untuk aku tentunya.<br /><br />Keluar dari kelas tanganku ditarik-tarik Asni dan Retno ke tengah halaman. Satu persatu bungkusan plastik transparan berisi air dilemparkan teman-teman ke aku.<br />“Sialan semuanya, hentikan!!” teriakku. Meronta berusaha lepas dari mereka. Namun mereka malah tertawa seakan tak mendengarkan suaraku.<br />“Ada apa ini, ada apa?” suara Pak Kur terdengar dari kantor guru.<br />Pak Kur hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal itu, saat melihat tingkah usil teman-temanku. Kemudian beliau mengambil sebuah bungkusan dari dalam tasnya dan diberikannya kepadaku.<br />“Selamat ulang tahun, Diah. Bapak ada sesuatu buat kamu.” Masih sambil tersenyum walaupun aku tahu kata-kata Pak Kur tulus.<br /><br />Dengan baju basah aku pulang menjinjing pianika di tangan kanan dan kado ulang tahun di dalam tas yang juga sedikit basah.<br />“Nanti juga kering kena sinar matahari, Diah.”kata Asni yang berjalan di sampingku karena rumah kami searah.<br />“lho nduk, ngendhi sing wis udan?” tanya seorang kakek penjaga masjid, begitu melihat bajuku basah kuyup.<br />“Hi…hi…hi…”<br />Aku dan Asni ketawa cekikikan, sementara sang kakek masih terbengong-bengong melihat baju dan kepalaku basah.<br />Sampai di rumah, kubuka bungkusan kecil pemberian Pak Kur. Jam beker berbentuk piano miniatur dan kertas kecil bertuliskan ’sweet twelve, Diah. Pertahankan prestasimu dan jadilah yang terbaik selalu’<br />Kutatap jam beker yang sekarang sudah usang itu. Debu musim kemarau suka sekali hinggap di atasnya. Catnya sudah sedikit terkelupas. Pada kacanya tergores noktah kenangan enam tahun silam. Masa akhir kanak-kanakku. Tarikan napas panjang menutup semua anganku yang entah berapa lamanya, kembali terpampang memory di usia sebelas tahun lewat jam beker yang usang itu. Kututup diary.<br /><br />* * * *<br /><br />Dua puluh menit sudah aku di kamar mandi. Harum aroma bath soap membuat aku enggan cepat-cepat beranjak keluar. Baru setelah terdengan suara ibu memanggil, kupercepat aktivitasku di kamar mandi.<br />“Diah, cepatlah, Yasrul sudah datang!” kusambar handuk yang tergantung di sudut, kini telah membalut tubuhku.<br /><br />Sekali lagi aku berkaca di depan cermin. Menyempurnakan sapuan bedakku. Rambutku yang mulai tak rapi dan sedikit liar harus kututupi dengan kerudung tsunami pendek warna creamy terpadu sempurna dengan baju kuning motif bunga. Munafik, munafik, munafik kau Diah! Tiba-tiba cermin di depanku menembakkan kata-kata sarkatisnya kepadaku. Untuk yang kesekian kali. Setiap aku bersolek di depan cermin ini, dia selalu bilang,,”Munafik kau, Diah” tapi aku tak mengerti makna di balik ucapannya itu. Dan memang akupun tak mau mengerti. Bergegas aku keluar kamar dengan tas kecil di bahu kiriku.<br />“Udah lama, Rul?” sapaku begitu melihat Yasrul di kursi tamu, terpaku. Entah apa yang dipikirkanyya.<br />“Oh, baru saja kok. Yuk kita berangkat.”<br />“Ibu, Diah berangkat dulu, ya..” tanpa menunggu jawaban ibu, aku keluar bersama Yasrul.<br /><br />Dihidupkannya Supra X warna tembaga dan aku membonceng tanpa rasa canggung. Tak lama kemudian motornya telah melesat dengan kecepatan sedang menginjak jalan beraspal yang mulai aus digilas kendaraan berat. Sesampai di rumah Wiwid tak ada seorangpun yang kami temui sehingga memaksa langkah kami lebih jauh ke ruang tengah. Rumah Wiwid biasa kami gunakan untuk ngumpul bareng dan belajar kelompok. Di ruang tengah inilah kami biasa berkumpul sekedar main-main, dan berdiskusi teenagers.<br />Lama aku menunggu Wiwid. Yasrul yang dari tadi diam saja , mulai gelisah. Aku berusaha menggodanya.<br /><br />“Rul, kata guru agama jika seorang cewek dan cowok menyepi berdua kaya gini syetan jadi pihak ketiganya”<br />“Kau percaya itu?”<br />“Percaya. Karena memang di belakangmu ada syetan.” gurauku sambil melemparkan boneka dracula ke punggung Yasrul. Boneka itu dibuat sendiri oleh Wiwid dalam tugas hasta karya sewaktu SMP.<br /><br />Yasrul tertawa. Tawa manis yang setiap hari mengundang kerinduanku padanya. Tiba-tiba dari arah dapur terdengar terdengar suara teman-teman yang tak asing lagi bagiku. Menyanyikan lagu klasik yang yang mengiringi setiap ceremonial potong kue pada waktu ultah. Wajah mereka muncul satu persatu dari balik gorden. Lidya, Retno, Lukman, Pinkan dan Tio. Wiwid di belakangnya membawa nampan dengan tart ulang tahun di atasnya.<br />Tart bergaris tengah tigapuluh centimeter itu terbalut butter cream biru. Warna kesukaanku. Di atasnya tertancap patung mini dua sejoli berdansa dengan gaun warna putih. Dalam imajinasiku patung itu adalah Yasrul dan aku di sebuah pesta dansa serupa Julius Caesar dan Cleopatra.<br /><br />Segera satu persatu kecupan pipi menghujani mukaku. Retno, Lidya, Wiwid, dan Pinkan memelukku mengucap “Met Ultah, Diah” aku tiup lilin berbentuk tujuh belas itu.<br />Aku hanya sanggup menahan haru dan bahagia saat Wiwid menyodorkan pisau kecil untuk mengiris kue tart. Potongan pertama kuberikan pada Yasrul yang dari tadi berdiri di sampingku. Ia memasukkan sendok kecil berisi kue tart ditaburi ketulusan kasih yang lahir dari hatinya yang paling dalam. Belum sempat menyelesaikan kunyahanku ketika sebuah jari mencoret-coret mukaku dengan butter cream dari tart itu disusul jari-jari usil dari teman-teman yang lain.<br /><br />Dalam sekejap mukaku berubah menjadi kanvas yang penuh coreng-moreng cat seorang seniman yang frustasi karena gagal menyalurkan alam bawah sadarnya di media lukis.<br />Tiba-tiba aku telah duduk di kursi panjang berdua dengan Yasrul. Entah bagaimana mulanya tak kusadari benar. Terasa ada magnet yang menarik kami berdua untuk singgah di kursi ini.<br /><br />“Diah, kaulah Cleopatraku. Kaulah permaisuriku yang pantas mendiami dataran Kashmir. Dan kita bangun istana cinta di atasnya.” kata-kata itu telah berulang kali kudengar dari bibir lembut Yasrul. Hanya kusambut dengan senyum kecil, namun bahagia raya di dasar hatiku<br /><br />Hanya beberapa inchi jarakku dengan Yasrul, ketika bibirnya menyentuh bibirku. Berbaur, menyatu. Kecupan lembutnya telah melumat bibirku, membuatku kehilangan setengah kesadaran, bumi tempatku berpijak hilang dari pandangan dan aku melayang di suatu dunia lain. Di luar atmosfer mendekati bulan. Tanpa tarikan gravitasi bumi.<br />Darahku mendidih. Denyut nadi tak berirama sebagaimana jarum jam aku nervous. Lemaslah seluruh persendianku. Tak kuhiraukan lagi Retno, Lukman, Tio, Wiwid, Lidya dan Pinkan di ruang tengah yang mungkin memelototiku dan Yasrul. Lupa dengan jatah hariku yang makin habis di makan usia. Aku mengintrospeksi diri, meneropong misteri masa depan. Siang hari aku buang jauh segala koreksi atas diriku. Kerudung yang kupakai tinggal identitas palsu, berganti kebohongan lewat terpadunya dua bibir dan belaian manja tangan Yasrul. Terngiang kembali sarkasme cerminku tadi pagi. Betulkah yang ia teriakkan, aku munafik? Sedangkan aku masih saja mempraktikkan “French kissing” dengan Yasrul.<br /><br /> (sebuah renungan dari siswi di Solo)<br /><br /><br /> November, 14th ‘06<br /></span>goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7355036384348093087.post-12153351530424751392009-08-10T18:33:00.000-07:002009-08-10T19:15:47.300-07:00DUNIA LAIN<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCQdcmlnpI8p4W4eG-WuRLA0sx1TnRUpe_VAC7UwKW7dJQT-S2MsJ0kjJoDU2c2qDUUuq1zMpZykx_LTJSX1_qNCbzV5mlx70iLzDepYFV8DY6bGhXC6ja3SCuCRK2AcPrvL9UhpbGqw0w/s1600-h/dunia+lain.gif"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 294px; height: 208px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCQdcmlnpI8p4W4eG-WuRLA0sx1TnRUpe_VAC7UwKW7dJQT-S2MsJ0kjJoDU2c2qDUUuq1zMpZykx_LTJSX1_qNCbzV5mlx70iLzDepYFV8DY6bGhXC6ja3SCuCRK2AcPrvL9UhpbGqw0w/s400/dunia+lain.gif" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5368519894804379650" border="0" /></a>Tiba-tiba datang kepadaku. Seorang lelaki berperawakan kurus tinggi. Kepala oval dengan volume yang tak sepadan dibandingkan dengan perawakannya. Sepatu kets putih lusuh tanpa kaus kaki berpadu padan secara ganjil dengan celana pendek coklat dan baju coklat muda menunjukkan kostum kepanduan. Hari itu Jumat pagi Matahari belum tinggi. Aku masih berdiri di lobi sekolah menunggu pergantian jadwal mengajar beberapa jam ke depan.<br />Lelaki berwajah lugu itu menghampiriku. Aku menyambutnya dengan antusias dan santun. Beberapa patah kata yang keluar dari mulutnya tak kunjung bisa kupahami meski telah kunaikkan level adrenalin di kepalaku hingga mencapai titik maksimum. Yang bisa kumengerti adalah bahwa dia memiliki pita suara yang sama sekali getarannya tak bisa ditangkap oleh genderang telingaku yang terlatih mendengar wacana verbal dari ribuan muridku. Dia difabel. Aku hanya bisa mencoba membaca isyarat dan bahasa tubuh yang ia mainkan.<br />Beberapa belas menit berlalu, aku kewalahan. Telah kukerahkan segala kecerdasan yang kurasa kumiliki sebagai guru bergelar master. Namun berakhir dengan putus asa. Kuberikan padanya selembar kertas yang tergeletak di atas meja lobi dan kucabut sebuah pena dari saku bajuku yang selalu bertengger sepasang. Dia menulis beberapa nama. Aku mengernyitkan dahi dengan sangat dalam. Dia memandangku sesaat dan menulis lagi beberapa kata berikut angka-angka yang aku tahu itu bukan nomor teleponku, juga bukan kantorku.<br /><span class="fullpost"><br />Aku masih tidak mengerti. Meski ia sudah berusaha menjelaskan dengan bahasa yang tak kupahami. Dia mulai putus asa juga. Sedikit memang yang kupahami dari bahasa isyarat yang ia mainkan, ketika tangannya memperagakan memegang stang kemudi motor atau stir mobil. Aku hanya meyakini ini pasti berkaitan dengan salah satu dari kedua benda itu. Aku pandangi sekeliling tempat parkir mobil dan motor yang terletak di depan lobi. Tak ada yang janggal, menurutku. Lalu ia menunjuk dadanya dengan jari, kemudian mengarahkan telunjuknya ke area parkir. Aku mulai mengerti.<br />Aku memutuskan untuk menyimpulkan bahwa pria aneh yang berdiri di seberang meja lobiku itu minta diantarkan ke suatu tempat dengan kendaraan. Sebisa mungkin aku ekspresikan kesimpulan ini dengan isyarat tangan diikuti bahasa verbal versiku<br />“Anda ingin saya mengantarkan Anda naik motor ke suatu tempat?”<br />Dia menjawab dengan ekspresi puas dan lega. Aku bergegas menuju sepeda motorku yang parkir di ujung lorong. Ia mengikuti dari belakang dengan langkah aneh...<br />Sadar aku bahwa ini ghosob, kupinjam tanpa pamit helm yang bertengger di motor teman mengajar dan kuberikan pada lelaki aneh itu. Sesaat ia memantapkan dudukannya di belakangku, dan motorku segera melaju tanpa tahu arah yang harus dituju. Kesadaran ‘kiri’ku membisikkan kemungkinan tindakan jahat yang mungkin dia lakukan ketika ada di belakangku tanpa bisa kupantau gerak-geriknya. Teringat aku akan berita-berita di koran dan tivi tentang tukang ojek yang dianiaya penumpangnya. Tapi aku hanya pasrah. Karena hanya itu yang bisa kulakukan.<br />Salah satu kata yang ditulisnya di atas kertas yang sedikit memanduku adalah tulisan “SLB C”, maka kubelokkan motor ke kanan menuju arah Tirtonadi, karena di sanalah aku ingat ada papan penunjuk jalan tertulis SLB C. Dia meronta dan memintaku untuk jalan lurus saja. Aku mencoba mengalah sembari memahami cara pikirnya yang menurutku sangat tipikal. Tirtonadi juga bisa ditempuh dengan jalan lurus yang artinya akan memakan lebih banyak kilometer. Tiba di persimpangan kukirim isyarat kepadanya bahwa ini saatnya belok kanan, meski terus lurus juga masih memungkinkan mencapai Tirtonadi dengan lebih banyak lagi kilometer. Tetapi dia meronta lagi. Bahkan memintaku untuk belok ke kiri. Aku mulai gundah. Ini jalur yang sepi, meski ujungnya adalah sebuah perumahan yang ramai, Mojosongo Permai. Berkali-kali aku menelan ludah kegalauan sambil terus berharap semua akan baik-baik saja. Jarak yang hanya tujuh ratus meter menuju persimpangan Mojosongo itu terasa seperti tujuh mil.<br />Tepat di tengah jalan sepi dengan rerimbunan akasia, dia berteriak dengan bahasa anehnya kepada sekelompok lelaki di tepi jalan. Segera kuhentikan motor menghampiri mereka dengan perasaan sedikit lega. Dia asyik ngobrol dalam bahasa aneh dengan mereka dan aku konsentrasi pada lelaki bertopi untuk menanyakan kira-kira kemana penumpang misteriusku ini minta diantar. Lelaki bertopi itu menunjukkan ekspresi bingung dan tidak menjawab pertanyaanku. Aku mulai merasa bersalah, apakah mereka juga difabel? Beberapa menit kemudian setelah dia melepas topinya dan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, dia mulai bicara. Aku lega. Setidaknya aku tidak lagi berada di dalam hutan yang sunyi dan mencekam. Lelaki bertopi itu menjelaskan bahwa dia sering melihat lelaki yang duduk di belakangku itu jalan kaki di sepanjang jalan ini atau diantar dengan sebuah mobil hijau menuju arah Timur. Hanya itu informasi yang aku peroleh. Aku kembali masygul. Tak ada alasan yang memadai kecuali mengikuti keinginan penumpang misteriusku ke arah manapun yang ia mau.<br />Motor kembali melaju dengan kecepatan dua puluh. Sempat aku berpikir apakah penumpangku ini semacam Forrest Gump (salah satu film layar lebar monumental yang dibintangi Tom Hanks). Ach,... apapun dan siapapun dia, aku sudah terlanjur memutuskan untuk mengikuti apa saja yang ia mau. Baru kali ini aku merasa seperti melompat dalam sumur tanpa dasar. Melakukan sesuatu tanpa harus tahu akhirnya akan seperti apa. Saat terlunta-lunta dua tahun untuk mengakhiri tesis masterku, setidaknya aku sadar dan tahu setiap konsekuensi paradigmatik yang bakal mengikutinya jika aku memutuskan berpijak pada salah antara positivistik, phenomenologik, atau post positivistik. Aku hanya butuh waktu untuk mengumpulkan keberanian memilih jalan berpikir. Sehingga harus kutulis :<br /><br />“Sebuah kebimbangan besar menggelayuti proses yang kulalui untuk mengakhiri penelitian ini. Aku bisa dan kuasa membawa arah dan kesimpulan (penelitian) ini ke manapun yang ku suka dengan berlindung pada segudang teori-teori yang tersedia. Hasilnya bisa jadi sangat fantastis (atau bahkan bombastis!)<br />Pada saat yang sama aku menyadari telah melakukan tindakan yang zalim bila hal itu dilakukan, dengan mempermainkan dunia pendidikan seperti sepotong lempung yang bisa sesuka hati kubentuk apapun meski dengan referensi yang sahih.<br />Aku memutuskan untuk tidak mengambil langkah itu, dan butuh dua semester untuk merenungkannya. Akhirnya, seburuk apapun karya yang kulahirkan ini, inilah aku. Dengan segala ketulusan intelektualku...”<br /><br />Lamunanku terasa sublim sekali dalam laju motor yang rendah ini. Dan teriakan si Forrest Gump membangunkan kesadaranku, saat ia minta supaya aku membelokkan arah motorku ke kiri. Aku semakin heran, karena ini adalah arah menuju pinggiran Solo yang jalannya masih berbatu-batu dan sungainya kering. Beberapa ratus meter kemudian dia bersorak girang sambil menunjukkan papan nama bertuliskan Yayasan Bina Sejahtera dengan arah panah menuju gang kampung. Sebuah yayasan sekolah luar biasa campuran A, B dan C.<br />Kutelusuri gang kampung yang sepi dan asing bagiku ini. Kanan kiri tak banyak hal yang menarik diamati selain gerombolan kambing di antara rerumputan dan pohon-pohon yang meranggas. Ketika jalan menikung turun si Forrest Gump berteriak girang menunjuk ke arah gedung sekolah berwarna hijau teduh sambil meneriakkan kata yang dalam penafsiran genderang telingaku berbunyi ‘ibu!...ibu!...ibu!...’. Aku membayangkan seorang ibu dengan tubuh subur dan raut wajah sabar akan menyambutku di depan kantor yayasan itu. Ruang kantor sepi. Tak sorangpun berada di meja kerja atau duduk di lobi. Sementara si Forrest Gump langsung berlari menuju kelas. Kelas gaduh dalam bahasa aneh, sesaat aku mengenal sebuah frekuensi suara yang akrab di telingaku dalam warna tenor “berangkat dengan siapa kamu Yongki?”. Rupanya lelaki aneh ini namanya Yongki. Demi etika, aku masuk kelas yang dipimpin seorang bapak guru ini.<br />Aku memperkenalkan diri dan berbasa-basi dengan pak Tikno, yang namanya bisa kukenal lewat nameplate yang bertengger di dada kanannya. Dia menjelaskan bahwa Yongki tinggal di asrama yang letaknya lima kilometer dari sekolah tempatku mengajar. Rupanya tadi pagi Yongki telah menempuh jalan sejauh itu dan kelelahan ketika memutuskan masuk menemuiku. Yongki memang sering memisahkan diri dari kelompok sehingga sering tidak ikut mobil jemputan. Aku hanya diam menyimak penjelasan pak Tikno, dan sebenarnya justru lebih serius mencuri pandang pada apa yang terjadi pada Yongki dan teman-temannya.<br />Segera saja Yongki di kelilingi teman-temannya yang berlainan jenis difabel, berlainan jenis kelamin, bahkan usia. Mereka bicara entah dengan bahasa apa. Yang kutangkap mereka berkomunikasi dengan serius, bercakap-cakap dan bercanda saling cerita. Mereka mungkin Rika, Pungky, Mei atau Budi seperti yang ditulis Yongki pada selembar kertas yang kukantongi. Aku merasa seperti berada di planet yang salah. Di dunia lain.<br /><br />***<br />Kupacu motor dengan kecepatan lambat dan hati masygul menuju sekolahku. Aku menangis. Sesenggukkan di tengah hingar bingar lalu lintas. Aku tak tahu apa yang aku tangiskan. Tatapan mata aneh dari para pengendara yang berlawanan arah, tak kuhiraukan.<br /><br />Aku menangis saat kusadari<br />Betapa aku tidak bisa memahami bahasa Yongki, dan dia tidak bisa memahami bahasaku. Aku ternyata seorang guru master yang bodoh...<br />Aku menangis saat menyaksikan raut kebahagiaan Yongki dan teman-temannya. Mereka seperti menciptakan dimensi sendiri di sela-sela dimensi ruang dan waktu dimana aku berada dan mereka juga ada. Mereka menjebol sekat-sekat ruang dan waktu itu, dan berhasil menemukan kebahagiaan sejati dengan cara mereka sendiri...<br />Aku menangis....<br />Karena baru sedikit fenomena kehidupan yang bisa kupahami...<br /><br />Orang bilang mereka cacat. Tapi kelebihan hakiki berupa kebahagiaan tulus yang mereka miliki tak dipunyai oleh orang-orang yang mengaku normal.<br />Pada dasarnya setiap makhluk dilahirkan dalam keadaan cacat. Karena cacat itulah ia jadi sempurna...<br /><br /> Mojosongo-Solo, September 2006<br /> By. S. Agus Santosa, M.Pd<br /><br /><span style="" lang="FI"></span></span>goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7355036384348093087.post-66720037791843279362009-07-30T09:08:00.000-07:002009-08-06T20:57:15.214-07:00RAHASIA CITA<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgC3KkQuk2L6_zz0HnZ-wa1GkinOSVXpi5T847V9AmrxSVZ0gylFtMxZtfGfdBgDj7rJzL6v3oZChW5Cnf5HIPc-VTCgT4yQCq2NzI9PFCbMFRQRZVcOuTyK5XKQAscAKJwuPfBz45iPWAB/s1600-h/cita.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 242px; height: 182px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgC3KkQuk2L6_zz0HnZ-wa1GkinOSVXpi5T847V9AmrxSVZ0gylFtMxZtfGfdBgDj7rJzL6v3oZChW5Cnf5HIPc-VTCgT4yQCq2NzI9PFCbMFRQRZVcOuTyK5XKQAscAKJwuPfBz45iPWAB/s400/cita.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5367065301503643458" border="0" /></a>Cita tak kuasa lagi membendung air matanya. Mengalir begitu saja usai lelaki di sebelahnya mengucapkan kata-kata sakral. Dua potong tisu tak mampu membendung banjir air yang keluar dari dua matanya yang indah dan dua lubang hidungnya yang menggunung. Dari sudut matanya yang sembab dilirik lelaki setengah baya di depannya, ayah Cita. Lelaki itu pun tak mampu menyembunyikan perasaan antah barantah yang berujung embun di sudut mata. Lelaki di kanan Cita tetap tegar dan tenang seperti sebelumnya. Dia menjadi suami syah Cita secara empiris.<br />“Cita, kami pulang dulu. Besok kemari lagi. Pestanya masih dua hari lagi khan ?”. Aku hanya bisa mengangguk seraya memoles wajah dengan sedikit senyum terpaksa. Mama kak Ade mengucapkan kata-kata pamitan atas nama keluarga, dan membawa suamiku pulang ke rumahnya. Kak Ade sendiri tak banyak berkata-kata, atau aku yang tak mendengarkan kata-kata kak Ade, entahlah. Bagiku kini, kata-kata Mas Pras jauh lebih memberi makna dari ucapan ijab kabul kak Ade. Aku bergegas masuk kamar pengantin yang masih perawan ini sepeninggal suamiku. Kuangkat gagang telepon dan kumainkan jari jemari menekan nomor yang sudah sangat aku hapal. Bahkan jari jemariku mampu melakukannya sendiri tanpa perintah otak di kepalaku. Dan bahkan telepon ini mampu menekan dirinya sendiri menuju nomor telepon di seberang sana, di meja kamar tidur mas Pras.<br />Tonika pertama muncul dari seberang telepon memecah lamunanku yang sesaat tetapi terasa dalam itu. Tiba-tiba tangan kiriku secepat kilat menekan tombol off hook, hubungan telepon pun terputus. Aku menimang-nimang diary merah tua sambil melangkah bimbang. Diary itu selalu kubawa kemanapun pergi. Bahkan pergi ke pasar sekalipun. Pada diary ini tersimpan separuh dari jiwaku yang pernah hilang. Kini menyembul keluar membuatku tersentak kaget seakan tak percaya dengan diriku sendiri. Separuh jiwaku ada pada sosok mas Pras. Pria tampan bijaksana yang aku kenal secara dekat tiga minggu terakhir.<br /><span class="fullpost"><br />Mas Pras teman sejawatku mengajar. Selama ini aku mengenalnya sebagai sosok guru yang idealis. Karena idealismenya dalam pendidikan kami sering membicarakan, em… lebih tepat mengolok-olok dan memberinya label Umar Bakrie. Sebenarnya terlalu muda bagi mas Pras mendapat julukan itu. Jiwa muda dengan kebijakan a la Jalaludin Rumi yang membuat mas Pras tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Lebih matang. Aku sendiri tidak mengerti mengapa guru sebaik mas Pras justru dipergunjingkan. Belakangan aku tahu lewat penuturan mas Pras, bahwa ia berpihak kepada siswa; itu yang membuat teman-teman guru tidak sependapat. Mereka masih dalam paradigma bahwa guru adalah segalanya, dan siswa adalah botol kosong.<br />Seringkali aku melihat mas Pras ngobrol serius (dia selalu mengelak dikatakan berdiskusi) dengan Bu Tria guru Biologi yang cantik. Topik apa pun selalu menjadi obrolan serius mereka berdua. Dari masalah teori evolusi, mutasi genetis sampai masalah anomali-anomali makhluk hidup. Kali lain kutemukan mas Pras tengah serius pula ngobrol dengan bu Minah Guru senior Fisika yang terkenal killer. Jangankan siswa, guru pun enggan bicara dengannya. Entah ajian apa yang dimilikinya sehingga bisa ngobrol seindah itu dengan bu Minah. Topik yang serius mengenai kegagalan Newton membuat definisi gerak, teori kuantum, sampai Relativitas Einstein bisa dijalani dengan tetap dibumbui gelak tawa. Suatu ketika kulihat mas Pras asyik ngobrol dalam bahasa Jerman dengan pak Topa guru bahasa Jerman. Tetap dengan tawa. Aku cemburu. Mas pras telah mengobrol dengan banyak teman-teman guru, dan mampu menjiwai semuanya. Untuk ukuran sebagai guru bahasa Indonesia kemampuannya memang luar biasa. Hobi membacanya tergolong istimewa. Apapun jenis buku ia membaca. Sepertinya mas Pras tidak memiliki alergi ilmu tertentu. Bahkan sekali waktu kucuri pandang buku-buku bacaan yang dibawanya untuk mengisi waktu senggang di kantor guru. Mas Pras ternyata menguasai bahasa Inggris dengan baik. Buku-buku filsafat pendidikan John Dewey, Francis Schrag, Michael Fullan sering kulihat tergeletak di mejanya yang berantakan tetapi tertata rapi. Terakhir kulihat buku Fritjhoef Capra ‘Titik Balik Peradaban’ versi asli berbahasa Inggris; ‘Turning point’. Aku sendiri sebagai guru bahasa Inggris hanya mampu membaca edisi terjemahan. Aku menjadi tahu bahwa mas Pras piawai berbahasa Inggris. Mengapa tidak mengajak ngobrol aku? Bukankah aku lebih menarik dari bu Tria apalagi bu Minah?<br />Saat itu aku tengah jengah setelah memberi ulangan harian. Ketika hendak masuk ruang guru aku dikagetkan dengan sosok idola yang ada didepanku. Bukan lantaran dia tiba-tiba di depanku, tetapi dia menyapaku dan mengajak ngobrol. Aku tersanjung.<br />“Bagaimana hasil ulangan anak-anak Bu Cita? Tentu bagus-bagus Bukan? Saya tahu Bu Cita guru yang baik dan disukai para siswa”. Mas Pras memberondong pertanyaan seakan tak memperdulikan bagaimana gugupnya aku menghadapi situasi itu. Aku menghela napas seraya menetralisir perasaan. Sedari pagi cuap-cuap di depan kelas tentu bukan hal yang ringan sesiang ini dipacu adrenalinnya. “Kalau sedang gundah seperti ini Bu Cita justru tampak memikat lho”. My god…. Kali ini adrenalinku sampai ke ubun-ubun. Mengetahui raut mukaku yang memerah karena dipuji bercampur lelah, mas Pras menarik tempat dudukku dan mempersilakan aku duduk sementara dia sendiri mengambil kursi bu Deli yang ada di sampingku. Keluarlah joke-joke segar dari bibirnya yang indah yang selalu membuatku bergetar bila memandangnya lama-lama. Aku jadi segar kembali untuk bisa menanggapi obrolannya. Mas Pras pandai membuat atmosfer. Aku tak mengira selama setengah tahun mengajar di sekolah ini diperhatikan secara detil oleh orang lain. Apalagi orang itu mas Pras! Dia bercerita tentang perkembangan siswa dalam memahami wacana ilmiah. Dan menurutnya perkembangan yang sangat signifikan itu oleh sebab kemampuanku membawa siswa belajar dengan benar bahasa Inggris. Kemampuan berbahasa Indonesia siswa meningkat sejalan dengan peningkatan kemampuan bahasa Inggrisnya. Wow… kesimpulan yang luar biasa. Tidak salah kepala sekolah mengangkatnya sebagai ketua Litbang. Jabatan bergengsi setelah wakil kepala. Lebih lagi untuk seusia mas Pras yang masih muda.<br />Aku terbangun setelah sayup-sayup mendengar ayam jago berkokok. Rupanya aku tertidur setelah beberapa saat melamunkan mas Pras. Dan suara jago di petang ini yang membuatku bangun. Pukul enam petang ada suara ayam jago? Setelah kuamati, suara itu berasal dari bungkusan merah jambu kado pernikahan salah satu muridku. Kubuka pelan-pelan agar kertas kadonya masih utuh. Benar juga, jam meja cantik dengan suara weker ayam jago. Ada tulisan kecil “Bu.. bangun, sudah jam enam pagi”. Hm… aku tersenyum kecil membayangkan imajinasi yang terbentuk di kepala muridku. Anak sekarang, imajinasinya berkembang bebas dan berani. Andai saja diarahkan kepada imajinasi yang kreatif dan positif. Aku bergegas bangun dan mandi. Setelah makan malam dan sedikit canda bersama keluarga tak tahan aku segera masuk kamar pengantin yang masih perawan ini. Buku harian merah itu tergeletak di atas ranjang. Selalu menemaniku dengan mimpi-mimpi yang indah. Tentang mas Pras.<br />Buku harian merah hati itu pemberian mas Pras. Aku sendiri yang memintanya. Buku harian adalah kenangan abadi, kataku. “Bagaimana dengan kecupan lembut di dua mata?” mas Pras memancing emosiku untuk kemudian mencubitnya sekeras mungkin. Tawa mas Pras yang renyah di sela ringis kesakitan membuatku selalu terkenang. Tiba-tiba saja aku dan mas Pras menjadi sedekat itu, di saat detik-detik akhir pernikahanku. Awalnya aku meminta bantuannya mendesain kartu undangan pernikahan dengan kepiawaiannya bermain komputer. Dari situlah pembicaraan demi pembicaraan mengalir. Tanpa kusadari kata-kata yang diucapkannya masuk semua dalam dendrit kepalaku. Katanya suatu ketika, banyak orang keliru memandang hubungan intim suami istri sebagai penyalur energi birahi saja. Padahal bila dipahami bedanya sangat tipis antara orgasme dengan asketisme. Mengapa tidak diarahkan hubungan intim sebagai salah satu bentuk media menuju hakikat Tuhan? Aku kagum dengan analisis filosofis mas Pras yang baru menikah tiga tahun itu. Bahkan ia dapat menebak besarnya fantasi seks yang mengembang di batok kepalaku. Aku malu sekaligus pasrah. Kemampuan mas Pras memahami psikologis orang lain berbekal teori Psikoanalisis Freud dan teori-teori astrologi membuatku seakan-akan bagai tubuh transparan yang dapat dengan leluasa dilihat isi detilnya. Tak ada alasan lain selain bersimpuh di hadapannya. Ia dapat membaca ketika aku merasa ingin dipuji, keluarlah pujian sejuta bintang. Ia tahu ketika aku sedang bete keluarlah joke-joke segar dan cerita ringan mitos-mitos Yunani kuno. Ia tahu ketika adrenalinku beranjak naik maka ia mencoba-coba memancing dengan gerakan erotis tangannya di depan dadaku sambil seolah-olah membenahi penampilanku. Mas Pras tidak menyentuhku, aku kagum, padahal dia tahu aku sangat ingin dibelai olehnya.<br />Desain kartu undangan telah jadi dan amatlah menawan. Selera seni mas Pras cukup bergengsi. Jika berhenti sampai di situ aku kehilangan momentum ngobrol dengannya di depan komputer. Kucari akal, dan kuminta lagi bantuan untuk menuliskan alamat undangan dengan komputer. Itu saat terindah dimana aku bisa bercanda bersama lagi dengannya. Aku telah merasa percaya diri berada di sampingnya. Bahkan dengan percaya diri pula aku meminta saran kepadanya tentang penampilan yang tepat untukku yang memiliki dada kecil, tubuh pendek ini. Wajahku memang manis, dengan tahi lalat di bibir yang menurut mas Pras adalah permata. Tetapi seringkali aku merasa kurang dengan bentuk dadaku yang kecil, dan pantat yang tidak berisi. Mas Pras malahan memuji bahwa struktur dadaku bagus apalagi jika mengenakan PDH yang tidak ketat dan tidak terlalu kedodoran. Bawahan yang panjang dengan model span membuatku anggun, katanya. Keesokan harinya kukenakan PDH coklat dengan kriteria seperti yang diuraikannya. Mas Pras benar, dari pagi banyak yang memuji penampilanku. Bahkan siswa pun sempat memuji keanggunanku hari itu. Di depan komputer sepulang jam sekolah mas Pras tersenyum dan satu kata keluar “Chich! Pantas saja seharian hatiku berdebar-debar!”. Aku benar-benar tersanjung, meski kurang mengerti arti kata chich. Saat mas Pras istirahat mencari makanan dan minuman ringan, kugantikan mengetik nama-nama untuk undanganku. Kucari kata itu di kamus komputer. Mempesona!. Mas Pras pandai menggunakan kata-kata yang berisi.<br />Mas Pras datang dengan membawa dua botol minuman ringan dan beberapa bungkus penganan. Sambil menyeruput minuman di depanku dia mengamatiku mengetik. “Kau anggun dengan busana itu dan dengan cekatan itu di depan komputer. Perfect lady!”, mas Pras memujiku. Hidungku mengembang, sambil tersenyum pura-pura tidak mendengar. Tanganku tetap sibuk di atas keyboard. Tiba-tiba kurasakan kehangatan di telapak tangan kiriku, aku kaget. Mas Pras memegang tanganku! Jantungku serasa mau copot. Melihat reaksi demikian mas Pras buru-buru melepas pegangan dan merajuk minta maaf. Aku sungguh memaafkan, bahkan ingin lagi dipegang dengan kelembutan tatapan mata itu. Tetapi aku terlanjur gengsi karena kaget. Aku jadi kasihan dengannya yang merasa bersalah itu.<br />Kupeluk erat buku harian merah hati itu mengingat saat mas Pras memeluk hangat tubuhku. Begitu damai dan indah. Dadanya yang bidang membuatku merasa nyaman dalam rengkuhannya. Kulihat jam dinding berdetak. Jam setengah delapan malam. Mas Pras tentu sedang keluar mencari makan malam. Hidup jauh dari keluarganya tidak memberikan inspirasi baginya untuk memasak makanannya sendiri. Katanya hidup di negeri orang harus banyak sosialisasi. Jajan di warung adalah satu bentuk sosialisasi, katanya. Hidup mas Pras penuh konsep. Rasanya dunia ini berada dalam genggamannya. Bahkan akupun merasa pasrah berada dalam genggaman mas Pras. Saat akhir kebersamaan dengan mas Pras aku memberanikan diri meminta sesuatu. Entah mengapa, aku merasa begitu menyatu dengan mas Pras, dan begitu bebas berekspresi di hadapannya. Sebelum aku katakan apa keinginanku dia sudah menyela, “Apapun yang tuan puteri inginkan, hamba pasti kabulkan”. Mas Pras memang pintar menggombal. Tetapi aku senang dibuatnya. Aku hanya meminta diary, kataku. Setiap kutulis diary itu, aku akan selalu ingat mas Pras. Senyumannya yang tulus membuat tubuhku lemas. Giliran dia yang mengajukan permintaan.”Tapi aku takut yayang Cita jadi marah atas permintaanku”. Mas Pras pandai membuat parodi sebuah sinetron yang dimainkan Anjasmara dengan Tamara Bleszinsky untuk melambungkan hatiku. “Memangnya mas pingin apa dari Cita? Ingin dicium?”, mas Pras menggeleng. Edan! Padahal, sejak kejadian dia memegang tanganku aku sudah pasrah mau diapakan. Mencium bibirnya yang indah pun aku mau. Jangan-jangan mas Pras ingin lebih, aku memancing, “Atau mas Pras ingin Cita peluk?”. Lagi-lagi mas Pras menggeleng. Benar-benar edan! Aku siap memelukmu sepenuh kehangatan, mas. Atau, …, jangan-jangan mas Pras menginginkan yang paling esensial? Oh…. Walaupun aku sangat ingin, tetapi jangan. Posisi aku dan dia memang sangat menguntungkan. Aku mencintai mas Pras, saat akan menikah. Mas Pras pria dewasa, berpengalaman menikah. Kalau saja dia yang pertama merobek hymen-ku, aku pasti akan sangat menyukainya. Dan akan menjadi pengalaman yang paling indah dalam sejarah hidupku. Tetapi aku tidak ingin citranya luntur di mataku hanya karena ambisi libidoku. Oh… god, help me… Dengan sepenuh kekuatan kupersilakan dia menyampaikan keinginannya. Ya atau tidak pikirkan kemudian. ”Lalu keinginan mas Pras apa?” dengan rasa was-was aku menunggu jawabannya. Sorot matanya yang tajam dan lembut membuat napasku terhenti. “Aku ingin mencium tangan Cita”, dewata Amor yang agung! Darahku pun ikut terhenti. Jiwa Mas Pras benar-benar mulia. ”Bolehkah?”, aku merasa tidak perlu menjawab. Aku yakin mas Pras tahu apa jawabnya. Yah… mas Pras tidak hanya mendapatkan jemari tanganku yang lentik. Dia juga mendapatkan pipiku, bibirku, pelupuk mataku, semua yang ada padaku. Juga jiwaku. Aku terperanjat kaget setengah mati, di saat lamunan seindah itu telepon di samping ranjang tidurku berdering. Segera kuangkat sembari kuarahkan pandangan ke dinding. Jam delapan lima menit. “Halo…” kubuka percakapan. “Yayang Cita……”, suara dari seberang sana. “Mas Pras!!!…” aku memekik tertahan.<br /><br /> Cidangiang, Maret 2002<br /></span>goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7355036384348093087.post-89435534346101550402009-04-02T05:15:00.001-07:002009-08-10T19:48:08.559-07:00BLACK FORREST PUCAT PASI<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgizPLlxOMbJslEjno1evrqtF60Uf0yKTdburO94r0ee1sdCKEy1mTTlz5ACgHlOv2ly7LawkUH0wX690c7lt8d3bgcI9flPweJK4az0rviSD3f3iX9qaH5Fu3RN1XMUFSbAfugecXhx5mG/s1600-h/black.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 255px; height: 319px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgizPLlxOMbJslEjno1evrqtF60Uf0yKTdburO94r0ee1sdCKEy1mTTlz5ACgHlOv2ly7LawkUH0wX690c7lt8d3bgcI9flPweJK4az0rviSD3f3iX9qaH5Fu3RN1XMUFSbAfugecXhx5mG/s400/black.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5368532108474973810" border="0" /></a>Kupandangi lekat-lekat kotak putih itu. Perlahan tangan dan kakinya muncul. Juga kotak. Sejurus kemudian cuping kanan dan di kiri, diikuti mulut, hidung dan akhirnya…. Ach… bukan mata berbinar dengan bulu mata lentik tiga biji. Fantasiku gagal menggambarkan spongebob, kotak kuning yang selalu ceria meski kadang naïf, tetapi hidupnya senantiasa bahagia. Mata yang terbentuk menyiratkan sebuah kedukaan yang dalam. Mata adalah jendela jiwa, betapa kelam jiwa yang bersemayam di dalam kotak putih itu.<br /><br />Susah payah kuangkat tubuhku dari lantai yang beralaskan karpet bermotif tweety. Kupaksakan kaki untuk bergerak agar seluruh tubuhku terbawa ayunan langkah, entah kemana. Kamar kecil itu terasa seluas stadion olah raga. Saat kakiku mengitarinya dan anganku terbang ke mana-mana. Aku tak tahu arah yang akan dituju dendrit di kepalaku saat berputar-putar. Keputusan yang harus kuambil adalah...<br /><span class="fullpost"><br /><br />dibuka atau tidak kotak putih itu.<br />Apa sulitnya membuka kotak yang hanya ditali seutas pita merah jambu? Otak kiriku mulai melakukan aksi provokasi. Haruskah? Otak kananku meragukannya. Kubaca lagi tulisan indah dengan fontasi klasik ditutup kotak.<br /><br />‘May all your dream come true..<br />I love you more than word can say..<br />Cause love not to access from words<br />But from attention and conduct…<br />Happy birthday’<br /><br />Kue ulang tahun ini kami pesan seminggu lalu bersama mas Prie. Sebuah black forrest raksasa yang dibalur coklat pastel dan dihias kacang mede. Mas Prie dan aku sama-sama suka coklat, saat valentine lalu kami merayakannya dengan sekotak besar coklat Itali yang kami pesan khusus di kafe langganan. Kafe itu pula yang baru saja datang mengirim pesanan kami lewat kurir. Mestinya aku menyambut dengan suka cita berlarian adu cepat dengan Mas Prie. Dan yang lebih dulu berhasil menyentuh hidung si kurir mendapat hadiah khusus “ciuman istimewa!…”. Tapi, kini tak ada Mas Prie, apalagi special kisses; dan aku yang mencegahnya. Alangkah bodohnya aku, apakah lebih bodoh dari manusia bodoh?<br /><br />•* *<br /><br />“Tapi kau masih menyediakan waktu khusus buat kita berdua merayakan ulang tahunmu kan sayang?”, aku hanya menggeleng lemah, sambil menggigit bibir dan susah payah menahan air yang akan tumpah dari balik kelopak mata. Why? Bukankah hari itu yang selalu kita nanti?… “Maaf Mas, aku telah janji dengan teman-teman dekatku akhirnya”, aku menjawab dengan mantap dan tampak terbaca olehnya keraguanku. “Well!, setidaknya dihari lain, kita harus memiliki waktu khusus, honey, please…” nada suaranya sedikit merajuk dan tangannya yang lembut memegang tangan kiriku yang lentik katanya. Sedangkan aku susah payah menarik dengan halus tanganku dari rengkuhannya. Aku tak ingin jemariku dikecup, karena itu bisa merobohkan seluruh benteng pertahananku.<br /><br />“Sayang, aku tahu hatimu terluka. Kau tak perlu menyembunyikannya lagi. Akuilah itu, dan terkutuklah aku yang telah melukai hati gadis yang justru sangat kucintai”<br />“Tidak mas, aku sudah merenungkan dalam-dalam dan mempertimbangkannya masak-masak. Keputusan ini kurasa terbaik untuk Mas dan juga untukku. Mas harus yakin, aku tidak membencimu. Sedikitpun tidak, justru cintaku yang amat sangat dalam hingga aku mengambil keputusan ini”.<br /><br />Perlahan aku bangkit, kudekati Mas Prie yang masih termangu. Kubenamkan kepalaku di dadanya yang bidang dan, biasanya kutumpahkan bermeter-meter kubik air mata di sana. Kali ini sekuat mungkin kutahan-tahan. Kurasakan degup jantung Mas Prie yang mencapai tujuh skala Richter. Aku jadi khawatir, meski tangan lembutnya membelai-belai rambutku, tetapi sorot matanya jauh menerawang. Dengan lembut kulepaskan tangannya dari merengkuhku dan tanganku dari balik tubuhnya. Sebuah ciuman penuh jiwa kualamatkan di kedua pelupuk matanya, sebuah di keningnya. Seketika mengiang sebuah syair lagu yang Mas Prie suka mainkan untukku dengan gitarnya: ada yang tak mampu kulupa/bulu lembut di keningmu/yang meremang kala kukecup/dan ketika kusibak rambutmu.<br /><br />Berat rasanya, tapi harus kulakukan. Perlahan kutinggal Mas Prie yang duduk sendiri terpaku dalam kelam. Sorot matanya masih gelap dan kelam menerawang di kejauhan. Rambutnya yang lurus indah, kini kusam. Berkali-kali ia menghembuskan nafas dalam-dalam. Sesungguhnya aku tak tega meninggalkan lelaki yang paling kucinta dalam keadaan semacam ini. Tapi, ini harus aku lakukan.<br /><br />•* *<br /><br />Tiga hari menjelang ultahuku.<br /><br />Kita bicara tentang cinta, cinta sejati dan jodoh. Mungkin jadi, jodoh kita adalah orang yang tidak kita cintai, katanya. “Cinta kita mungkin ada di mana gitu, atau di mana-mana gitu loch…” gaya bicaranya gaul dan enteng meski mengandung filosofi yang sangat dalam. Berada di sisi Mas Prie, aku seperti mendapat kuliah privat tentang kehidupan. Aku berpendar, kata Mas Prie. Aku nggak paham apa maksudnya. Katanya lagi, aku senang melihatmu melesat tumbuh dewasa dan matang dengan begitu cepat. Jalan pikir dan tutur katamu adalah paduan kesempurnaan seorang gadis kecil manja dengan gaun kedewasaan”. Mas Prie pandai memujiku. Dia tidak pernah memujiku oleh karena fisikku. “Tahu nggak sayang, kamu tuh seksi!”, katanya suatu ketika. “Apanya yang seksi?” aku bertanya sambil menyelidik bagian-bagian tubuhku lalu kubandingkan dengan banyak wanita yang ada di sekelilingnya.<br /><br />Mas Prie memang pria idaman, setiap wanita yang dekat dengannya pasti akan berusaha selama mungkin ada di sampingnya. Banyak wanita cantik yang tergila-gila padanya. Sebut saja Meti, berambut panjang yang senantiasa anggun mengenakan blues span. Itu kriteria wanita charming yang pernah Mas Prie bilang. Atau Mila, yang memiliki dada berisi dan dan betis indah. Akan banyak harus disebut wanita-wanita yang gandrung kepadanya dengan kriteria-kriteria yang aduhai. Tapi dia malah memilih aku, yang belum selesai kuliah; berdada kecil dengan tubuh mungil. Bahkan penampilanku cenderung ceroboh, padu padan bawahan dan atasan yang mismatch, apalagi waktu mengenakan celana panjang kata Mas Prie “Penampilan dengan selera busana yang rendah”, aku marah, jengkel dan tersinggung; kupukul-pukul pundak Mas Prie sebagai ekspresi protes. Tawanya justru berderai ringan. Binar matanya sangat indah saat bahagia seperti itu.<br /><br />Beberapa bulan berada di samping Mas Prie, banyak yang berubah padaku. Mulai dari penampilanku yang sudah masuk level ‘berselera’, hingga cara berpikirku yang katanya ‘seksi’. “kau seksi karena kecerdasanmu, sayang”, kata Mas Prie akhirnya. Pantas saja dalam sebuah buku hariannya dia pernah menulis “Aku tidak akan pernah terangsang oleh ‘bidadari yang dungu’..”.<br /><br />Cinta kami bersemi dengan pondasi kepercayaan yang kokoh. Cinta sepenuh jiwa, hingga apapun yang Mas Prie lakukan aku dapat mempercayainya secara penuh dan total. Kecemburuanku pada gadis-gadis di kantonya sudah mulai menipis. Mas Prie sudah cerita semua tentang posisi dirinya di antara para gadis itu. Cerita Mas Prie penuh kejujuran, dia tidak pernah menutupi apapun dariku. Bahkan tidak keberatan kubuka buku hariannya, atau kubuka file-file di ponsel maupun laptop-nya. Sering aku berpikir, apakah Mas Prie jodohku? Betapa beruntungnya seseorang yang mendapati bahwa jodohnya adalah orang yang sangat dicintainya, kata Mas Prie dilain ketika.<br />Di kafe ini, semuanya tiba-tiba berubah menjadi fraktal, carut marut. Mas Prie cerita tentang Larisa…<br /></span>goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7355036384348093087.post-49894021095376893152008-05-08T19:44:00.000-07:002009-04-06T15:11:55.151-07:00DEWI FORTUNA<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8dBPz06n6VSHgkYxmPnBKVHLTA0jS9Pe_VlBJMdTAbX8WAl1HkAzVQZLVB639YFW0H65FEUyDIMCM9QrtIOF2QCz3ivPb6iMRgZUfC-RHc8AOKLailr4am4HqlzPQcADZHOn2wGXebOeL/s1600-h/blackfor.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 200px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8dBPz06n6VSHgkYxmPnBKVHLTA0jS9Pe_VlBJMdTAbX8WAl1HkAzVQZLVB639YFW0H65FEUyDIMCM9QrtIOF2QCz3ivPb6iMRgZUfC-RHc8AOKLailr4am4HqlzPQcADZHOn2wGXebOeL/s200/blackfor.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5321704446505433762" border="0" /></a>“Masa depan adalah masa kini ditambah sedikit tantangan…”, kata-kata itu terus mengiang dan menggema di telingaku, di seluruh batok kepalaku. Kutengadahkan kepala, bahkan seluruh penjuru langit terdengar suara itu. Setiap jalan yang kulalui tertulis kata-kata itu, bahkan di setiap tembok pinggir jalan. Aku mulai berkeringat, dahiku basah. Kaki kecilku melangkah letih, tubuh mungil terasa berat. Kuambil sepotong tisu dari saku jins,…. Alamak! Tertulis juga kata-kata itu. Mataku berkunang-kunang dan seluruh dunia menjadi gelap seketika.<br /><div style="text-align: left;">………………............<br />Uff… kubuka mata. Entah mengapa terasa berat, sepertinya bulu mataku terbuat dari kawat baja dan kelopaknya adalah lempengan plat tembaga. Kuraba seluruh tubuh, syukurlah masih utuh : kedua tangan, kedua kaki dan semua yang ada di antaranya. Bajuku? Indah sekali padanan duex pieces warna lembut. Sepotong syal cantik bertengger di atas krah rever, dan beberapa millineries lain, seperti tas tangan Gucci kecil tergantung di pundak kiri, dan sepatu hak tinggiku dengan model tertutup bagian depan. Rambutku, astaga!... shaggy pendek yang dapat kurasakan harumnya aroma herbal. Apakah aku baru saja memenangkan kontes model?<span class="fullpost">Tidak!.. aku masih bisa mengingat. Beberapa jam lalu di kafe menyeruput bubble tea blue coral. Celana jins ketat dan kaos panjang motif garis. Kerudung pink menutupi kepalaku, tetapi tidak sebagian atas dadaku. Ujung kerudung kulingkarkan melilit leher.</span><br /></div><span class="fullpost">Di hadapanku sesosok pria tampan. Rambut lurus sisir menyamping. Tanpa kumis tapi tetap jantan saat sebatang rokok bertengger di bibirnya. Matanya teduh, meski tertutup kaca mata tebal, semakin terbaca kebijakan dari setiap tutur katanya. Aku sangat bahagia dan tersanjung berada di keremangan kafe bersamanya, dimana kemungkinannya satu setengah banding tujuh-tujuh seorang gadis kecil bersamanya di kafe, “..aq di kafe supernova dew,... dtglah kalo mo gabung..”.<br />Atas dasar SMS itulah aku datang ke kafe. Dia guruku yang luar biasa. Meski bukan guru BP, namun banyak murid yang lebih mempercayakan permasalahan pribadinya ditangani oleh sang maestro. Seperti seorang psikolog, dia berhasil mengurai permasalahan-permasalahan kami yang rumit dan pelik dengan penuh kebajikan, meski sebenarnya dia guru bahasa Inggris. Bahkan mau meladeni curhat lewat SMS bagi murid yang malu berbicara langsung. Seringnya, dimulai dari SMS setiap murid yang malu kemudian menjadi ketagihan untuk ‘ngobrol’ bersamanya, yang tampaknya santai tetapi tak terasa permasalahan yang dihadapi setiap murid dapat disentuh semua. Usai ‘ngobrol’ kami membawa ‘insight’ masing-masing sesuai dengan permasalahan kami. Kata ‘insight’ dia juga yang merumuskan, katanya, “jika masing-masing kalian merasa beban menjadi ringan setelah kita ngobrol dan dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk kalian pakai sebagai pegangan, artinya kalian telah memperoleh ‘insight’...”<br />Ya... bahwa masa depan adalah masa kini plus sedikit tantangan, adalah ‘insight’ yang aku bawa oleh-oleh dari kafe yang ditraktir Mr. Prast guruku, maklum tanggal muda. Masa kiniku adalah.... ach... berat sekali aku mengakuinya. Aku murid yang pintar, dinamis, dewasa, dan memiliki aura keberhasilan kuat; kata Mr. Prast waktu aku duduk di kelas awal. Kata-kata sederhana yang tulus dari seorang guru itu ajaib, dan akupun secara ajaib berubah menjadi giat belajar, aktif kegiatan ekstra dan organisasi. Kata Mr. Prast pemikiranku mulai kritis saat menginjak akhir kelas satu.<br />Memasuki awal kelas dua, aku mulai kacau. Ruben, pacarku yang baru saja jadian saat akan tes kenaikan kelas, tiba-tiba dikeluarkan dari sekolah karena berbagai kasus ‘kenakalan remaja’ atas rekomendasi guru-guru BP.<br />“Anak kelas dua SMA nakal itu wajar Dew, bukan hanya buat cowok, cewek sekalipun syah-syah saja. Kapan lagi manusia mengalami masa nakal? Di SMP masih ingusan, saat kuliah tidak pantas ada mahasiswa tawuran...” Mr. Prast mencoba menghiburku agar tidak down.<br />Guru satu ini memang unik. Dia lebih suka dipanggil mister daripada ‘bapak’, lebih suka dianggap kawan daripada ‘guru’, terlalu feodal katanya. Pantas saja si mister ini tidak pernah memakai baju PDH atau PDL yang katanya ‘baju besi’. Sebenarnya Mr. Prast sangat keren dan berwibawa mengenakan seragam PDL, itu kulihat saat ada kunjungan bupati ke sekolah. Namun, dengan kemeja krem lengan panjang dan pantalon coklat tua membuatnya sangat tampan dan murid-murid perempuan betah berada di sampingnya yang wangi aroma Eclate<br />“Faktanya, dia dikeluarkan dari sekolah ini mister; aku sangat malu dan terpukul”, aku mencoba berapologi mencari pembenaran atas menurunnya semangat belajarku belakangan.<br />“Ya,... aku juga sulit memahami cara pikir teman-teman BP. Anak nakal itu justru tugas guru untuk membimbingnya agar tetap di jalur yang benar saat mengembangkan energi nakalnya. Mengeluarkan murid dari sekolah adalah langkah pengecut, apalagi jika guru belum melakukan upaya maksimal untuk membimbingnya” Mr. Prast membeberkan konsepnya sebagai guru.<br /><br />Mister, sejak saat itu aku sering diam-diam mencuri waktu untuk bertemu Ruben. Kadang aku relakan mbolos sekolah untuk memenuhi janjian dengan Ruben yang juga membolos dari sekolah barunya. Hambatan yang terbentang di depan kami, semakin meneguhkan cinta kami. Bagiku, keindahan adalah ketika bersamanya di rumah kontrakannya dan memasak makan siang untuknya. Nonton teve berdua atau jingkrak jingkrak diiringi komposisi DJ kesukaan kami lewat VCD. Jalan-jalan ke pasar loak mencari kaset-kaset koleksi langka musik underground, atau memburu buku bekas berbahasa asing dimana orang lain tidak memperdulikannya. Kemampuan bahasa Inggris kami jadi meningkat, justru –maaf- bukan oleh karena apa yang oleh Anda ajarkan di kelas, mister. Pemahaman kami akan sosiologi, ekonomi dan politik juga membaik bukan karena diajar oleh kolega Anda, mister. Hingga suatu saat keyakinan kami akan peran moralitas sekolah juga mulai mengendur. Bagi kami, nilai-nilai moral yang diajarkan sekolah adalah simbol kemunafikan dan kepura-puraan belaka.<br />Mister, dari Psikoanalisis-nya Freud kami meyakini bahwa pada hakikatnya jiwa manusia adalah bebas. Dan puncak kebahagiaan manusia tercapai jika ia mampu mengaktualisasikan alam bawah sadarnya, yang, selama ini secara pengecut hanya muncul dan menikam lewat mimpi dan trance saat sakau. Kita tidak perlu ragu mengeksploitasi keinginan alam bawah sadar kita dengan sepenuh kesadaran dan keyakinan tertentu. Kita tidak perlu takut dengan kejujuran alami semacam itu, apalagi hanya atas kekangan moralitas. Bukankah moralitas hanyalah kesepakan sosial seperti yang dirumuskan Emille Durkheim lewat collective consciens-nya? Perzinahan dilarang juga atas kesepakatan suatu komunitas sosial, sementara di belahan bumi lain dihalalkan dengan pembatasan-pembatasan tertentu atas nama kesehatan biologis masyarakat. Free sex lebih menekankan kepada pentingnya kesehatan psikologis masyarakat, dengan memberi kewenangan penuh kepada setiap individu untuk secara sadar melakukan atau tidak melakukan. Bukankah, dulu nenek moyang kita juga menerapkan sex bebas? Bukankah Adam dan Hawa tidak diikat oleh tali pernikahan yang sakral?<br />Mister, aku sudah tidak perawan...<br /><br />Kutatap wajah teduh itu lekat-lekat untuk memastikan tidak setitik pun momentum kulewatkan saat Mr. Prast menyimak pengakuanku yang tripple X itu.<br />“Lalu, apa yang membuatmu gundah sayang?”<br />Gila!... dengan entengnya dia mengeluarkan kata-kata itu di sela hembusan asap rokok. Aku kelabakan, seluruh anak panah yang aku luncurkan tiba-tiba berbalik mengejarku. Lingkang pukang aku dibuatnya.<br />“Ruben diterima kuliah kedokteran di perguruan tinggi yang berbeda, mister...¿” aku sadar ini adalah pernyataan konyol.<br />“so, .. what?”<br />Aku terjebak. Oleh ranjau yang kubuat sendiri. Alangkah naifnya aku.<br /><br />Mister, dalam sejarahnya kami mengalami berkali-kali putus-sambung. Mister tentu paham, pemicunya adalah gadis lain. Dia punya pengalaman menduakan aku berkali-kali bahkan dia juga telah merenggut kegadisannya. Saat ini, saat aku ingin konsentrasi dengan masa depan dia menggoyahkanku. Konsep masa depan yang kukembangkan adalah konsep gender yang berpihak kepada kesetaraan hak lelaki dan perempuan, aku ingin menjadi pribadi mandiri penghuni ‘kampung dunia’-nya Alvin Toffler- dengan membuang jauh-jauh Ruben ‘sang lelaki pengecut’ yang menyatakan kejantanan dengan menggandeng sebanyak-banyaknya perempuan. Aku mendaftar kuliah di jurusan sastra Inggris, yang aku pikir bisa menjadi titian bagiku untuk go international. Tiba-tiba Ruben mendesakku untuk kembali, dengan alasan aku adalah perempuan yang tepat untuknya di masa depan.<br /><br />“Dan kamu tergiur untuk kembali, Dew?”<br />Yah,... begitulah mister. Tiba-tiba aku merasa pentingnya manusia durjana yang bernama Ruben sebagai kelengkapan bahwa dialah yang merobek-robek selaput dara-ku. Dan khawatir dia akan mengulangi petualangannya sebagai pejantan, karena kuliah di kampus yang berbeda dan berjauhan denganku.<br />“Di mana kemandirian dan kesetaraan gender yang sempat kamu tulis di bulletin sekolah, Dew? Kau ingin berlari, tetapi membiarkan blus span yang kau pakai menghalangi langkahmu!...”. Mister Prast, mulai beraksi.<br /><br />Kau lakukan semua itu dengan kesadaran. Dengan konsep-konsep yang kau bangun dari Freud, Durkheim, bahkan mungkin Foucalt, Marx, Machiavelli atau Nitzhe sekalipun, bahwa Tuhan telah mati. Kau tak perlu menyesali, meski apa yang telah kau lakukan di masa lalu kini kau sadari sebagai sebuah kesalahan. Kesalahan besar, bahkan fatal, mungkin. Andai dengan meratap maka kesalahan masa lalu dapat diperbaiki, merataplah di tembok ratapan Yerusalem sana. Orang yang baik bukanlah orang yang tidak pernah berbuah salah. Melainkan orang yang mau belajar dari perbuatan salah yang pernah diperbuatnya. Faktanya, Ruben bukanlah lelaki sejati seperti yang kamu gambarkan. Menurutmu lelaki jantan adalah lelaki yang sanggup berpasangan dengan satu istri dan menahan syahwatnya dari perempuan lain. Apalagi yang kamu harapkan dari Ruben yang telah menyimpang dari kriteria yang kau buat? Faktanya, saat ini<br />kamu sudah tidak....... (seperti menelam pil pahit dan dengan suara tertahan perlahan).. virgin....<br /><br />Kulihat matanya berkaca, dan dalam sekejap kelopak mata ‘weaper’ menyapu genangan yang hampir jatuh. Aku beruntung tidak melewatkan momentum yang sangat berharga ini. Meski terlihat tegar menghadapi masalah kekacauanku yang prinsipil ini, namun Mr. Prast rapuh juga. Guru mana yang tidak rontok hatinya mendengar pengakuan muridnya yang kehilangan keperawanan? Maafkan aku mister. Ketegaran Anda membuat aku dendam dengan masa depan.<br />Masa depan? Apakah aku sedang berada di dimensi masa depan? duex piece yang kukenakan? Jalan kampung menuju rumahku yang terasa asing? Padahal aku setiap hari melewatinya jalan kaki ke sekolah? Mengapa pohon beringin tempat penjual mie ayam kesukaanku mangkal sudah tidak ada? Jalan tanah tertutup paving block seluruhnya? Belum hilang kebingunganku tiba-tiba ada sesuatu dari dalam tas Gucci kecilku yang bergetar, dan getarannya diiringi suara merdu megaphonic membuat seluruh darah di tubuhku ikut bergetar lembut, korteks di kepalaku segera menerjemahkan bahwa sedang ada komunikasi lewat sesuatu di dalam tas dari Mr. Mc. Nally di Auckland. Kubuka tas dan kuambil ponsel...e.e... astaga! Ponsel kacanganku berubah menjadi palm top yang sekaligus sebagai ponsel yang terhubung dengan internet. Sejenak aku bercakap-cakap dalam bahasa Inggris lewat monitor yang dapat kulihat wajah Mr. Mc. Nally yang baru semalam kami menginap bersama di sebuah suite room di Sydney dalam acara konferensi pendidikan moral cybernetics.<br />Aku terus melangkahkan kaki menuju rumah, tetap dengan suatu kegalauan atas segala yang kulihat. Dari kejauhan kulihat seorang gadis berlari kecil menghampiriku, “Kakak!.. pulang kok tidak bilang-bilang. Katanya di Australia dua minggu. Kalau ngasih kabar lewat email khan Nita bisa jemput di bandara...” Nita? Bukankah baru tadi pagi aku yang mengganti popoknya? Seorang wanita tua rambut penuh uban berjalan tertatih-tatih dengan benda di kedua tangannya mirip jemuran handuk muncul dari balik pintu. “Dewi, mama baik-baik saja... mestinya kamu tak perlu tergesa-gesa pulang. Mama hanya sedikit masuk angin. Seperti halnya almarhum ayahmu, sebentar juga sembuh...” Wanita tua ini mamaku? Dan ayahku sudah wafat? Ah... betapa banyak hal yang sudah kulewatkan? Lagi-lagi benda di dalam tasku bergetar, dengan irama yang berbeda sehingga seluruh darah dalam tubuhku turut bergetar lembut dan korteks di kepalaku berbicara tentang Mr. Schrag, seorang profesor muda filsafat pendidikan. Kami berkenalan di Venesia dan sejak itu sering bepergian berdua dalam event-event pendidikan yang disponsori oleh OKI seringnya kami menginap bersama di Islandia menikmati matahari yang sangat kecil di bulan September. Mereka berdua telah saling kenal saat konferensi pendidikan UNESCO di Genewa. Keduanya sama-sama mencintaiku dan aku belum mengambil keputusan untuk menikahi salah satu. Aku belum siap dengan komitmen. Dan tak perlu risau dengan kebutuhan biologisku. Enam jenjang kebutuhan Maslow telah kumiliki, apalagi?<br />Kubuka palm top dan sejenak kami bercakap-cakap dalam bahasa Itali dengan Mr. Schrag. Ya... aku baru sadar bahwa aku adalah atase kebudayaan keliling untuk Indonesia. Satu-satunya wanita yang menjadi atase dan paling muda dalam karir itu. Uff... mataku berkunang-kunang lagi. Dan langit menjadi gelap seluruhnya.<br />.........<br />“Dew,... Dewi....” Ada yang menepuk pipiku dengan lembut dan memanggil-manggil namaku. Sebuah aroma wangi khas Eclate mendorongku untuk membuka mata. Aku tahu itu adalah Mr. Prast. Betapa terkejutnya aku, ketika kudapati tengah berada di atas bed sebuah poliklinik dekat kafe. Celana jins ketat dan kaos pink lengan panjang, alamak!,... beruntungnya aku... Mr. Prast ada bersamaku. Pantas saja mama memberiku nama Dewi Fortuna.<br /><br />Kafe Pindi, 15 Agustus 2004</span>goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7355036384348093087.post-72512862029035644672008-04-12T18:51:00.000-07:002009-07-30T09:21:51.580-07:00ARJUNA SAHADEWA DALANG MASA DEPAN<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYVWtJVKS9vlLJOeEXOheLfhoLXcNuvraY4EbhRiZKciE2I8FDcwotqYqaTvuGs6NIC10svCg7jzSAwDbAigygo3drvaeBweXBbDynJtAxnPsOuN-7utFklXbiZnF7c9skVzS2dk5qzED2/s1600-h/wayang.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 168px; height: 157px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYVWtJVKS9vlLJOeEXOheLfhoLXcNuvraY4EbhRiZKciE2I8FDcwotqYqaTvuGs6NIC10svCg7jzSAwDbAigygo3drvaeBweXBbDynJtAxnPsOuN-7utFklXbiZnF7c9skVzS2dk5qzED2/s400/wayang.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5363754556002991858" border="0" /></a><style> <!-- @page { size: 8.5in 11in; margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } --> </style> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Kelasku yang tepat ada di samping kanan kantor guru, membuat jam kosong kami kurang menyenangkan. Gimana nggak, setiap ada sedikit suara gaduh pasti salah satu guru yang ada di kantor akan mengecek kelasku. Minimal kelasku sering dilewati guru yang mau ke toilet, karena toilet yang berada tepat di samping kiri kelasku. Strategis, memang. Tapi menyebalkan kalau setiap menit kelasku selalu dicek apakah ada guru yang mengajar atau tidak.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Jam kosong tak mungkin kulewatkan begitu saja. Selalu kumanfaatkan untuk ke kantin lah, ngobrol sama Laras atau bahkan ke toilet. Biar waktunya tidak terbuang percuma.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Di saat Laras sedang menulis, entah apa yang ditulisnya. Mungkin sebuah lirik lagu atau mungkin surat pribadi atau mungkin sebuah syair puisi yang dibuat khusus untukku. GR amat sih aku. Apa yang bisa kubanggakan, sekedar bisa main wayang kok sombong. Laras tampak terkejut dan refleks menutup lembaran kertas yang ada di depannya ketika aku tak sengaja mengagetkannya.</p><span class="fullpost"><p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ras, lagi sibuk ya?,” kataku tanpa bermaksud mengagetkannya.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> ”Ng…nggak, ada apa?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Boleh nggak aku memberi sedikit saja komentar tentang karaktermu. Karena dari tadi aku melihat wajahmu yang oriental penuh makna. Aku tahu kita baru kenal. Tapi sedikit saja kok komentarnya, nggak banyak-banyak,” kataku dengan wajah memelas memohon.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ah, nggak pa pa. Santai saja, aku orangnya nggak mudah tersinggung kayak Krisna kok,” kata Laras tanpa ada rasa keberatan.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ras, setelah kulihat dari tadi saat kamu menulis, memang wajahmu sedikit ada kemiripan dengan Dewi Drupadi. Hidungmu mancung, wajahmu selalu terlihat tenang dan aku paling jarang bisa menemukan cewek yang punya wibawa di depan semua orang.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ngomong-ngomong, siapa itu Dewi Drupadi?” celetuk Laras.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Oh <i>sorry</i>, aku juga sudah menebak kamu bakal nanyain itu.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Dewi Drupadi itu salah satu tokoh wayang yang…”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Huuu…hari gini ngomongin wayang. Hei teman-teman dengerin ya, pak dalang kita Arjuna Sahadewa mau ndalang di kelas yang komunitas orangnya serba modern kayak gini. Pada setuju nggak?” teriak Krisna, teman sekelas Dewa yang paling hobi ndengerin musik <i>hip hop.</i></p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ndengerin musik keroncongan aja aku sudah mules, apalagi disuruh ndengerin orang ndalang yang betah berjam-jam,” celetuk salah satu teman yang duduk di bangku pojok belakang.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Dewa! Ini sekolahan. Kalau <i>elo</i> mau mau belajar jadi Pak Dalang bukan di sini tempatnya, tapi lebih tepatnya kamu datang ke rumah Ki Mantep Sudarsono,” kata Krisna sambil berpaling dari hadapan Dewa.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Bener nggak coy?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “<i>Yongkru men…,”</i> sahut sekelas, mereka kompak banget kalau mau ngejelekin budaya yang menurut mereka sudah kuno dan nggak ada harganya lagi.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Dewa, ngomong dong ke mereka, kalau kita itu orang-orang yang masih cinta dan menghargai budaya bangsa sendiri, nggak kayak mereka yang selalu membanggakan budaya luar,” kata Laras sedikit nggak terima kalau Dewa diejek.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Nggak ah, aku sudah kebal digituin. Kita lanjutin lagi ya ceritanya. Dewi Drupadi itu salah satu tokoh wayang yang termasuk kategori putri luruh dengan ciri-ciri hidung mancung, bermuka tenang, tertunduk dan tidak memakai perhiasan atau permata apapun. Dewi Drupadi ini permaisuri dari pandawa lima yang pertama yaitu Prabu Yudhistira yang memiliki pusaka bernama Kalimasada.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Wah, kamu hebat. Di saat orang-orang hanya paham tentang <i>Harry Potter</i> beserta para musuhnya, ternyata masih tersisa orang yang paham tentang wayang. Dari mana kamu tahu tentang dunia pewayangan?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Aku? Aku tahu dari bapak-ibuku yang gemar sekali nonton wayang.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Cukuplah, ejekan Krisna membuatku teringat penyesalanku saat penutupan MOS (Masa Orientasi Siswa) dulu.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="center"> ***</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Api unggun menyala semakin besar seiring dengan melajunya malam ke pergantian waktu, dikitari kurang lebih tiga puluh limaan siswa baru beserta panitia yang terdiri dari guru dan pengurus OSIS dari sebuah SMA Negeri favorit di kota yang terkenal sebagi kota pelajar itu. Dari awal acara aku hanya duduk diam sambil menyilangkan dua tanganku di dada karena jaketku tak mampu menahan hembusan angin, ditambah lagi posisiku yang tidak begitu dekat dengan api unggun. Mendengarkan mereka menceritakan cita-cita dan menyaksikan aksi teman-temanku yang ditunjuk secara acak oleh panitia untuk unjuk kemampuan, memang cukup menghibur. Dari berorasi, main gitar, berakting bak artis sinetron, menyanyi lagu <i>hip hop</i> bahkan aksi <i>breakdance</i>.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Aku berharap tidak ditunjuk ke depan hingga acara api unggun ini selesai. Biar aku dapat menikmati kebolehan teman-temanku yang baru kukenal beberapa hari ini. Namun sepertinya dari tadi aku sudah membuat penasaran panitia karena sikapku yang biasa-biasa saja, tidak tampak borju seperti kebanyakan lainnya. Tapi memang begitulah aku. Dugaanku benar! Pandangan mata pembawa acara mengarah dan beradu dengan mataku dan…</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Kamu, maju!” sambil mengarahkan telunjukknya lurus ke posisi dudukku.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Tiba-tiba saja aku seperti terserang demam panggung. Dengan agak gemetar aku sebutkan satu-persatu yang aku anggap perlu tentang diriku hingga…</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Namaku Arjuna Sahadewa. Aku biasa dipanggil Dewa. Rumahku di daerah… kayaknya nggak perlu kusebut nama daerahnya, percuma kalian juga nggak bakalan ada yang tahu daerah itu.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Pasti daerahnya belum tercantum di peta Indonesia,” sahut salah satu temanku.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ha…ha…ha…”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Hu…hu…hu…”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Zaman modern gini masih ada yang berpikir <i>ndeso</i>!” celetuk temanku yang dari awal memang bersikap sok kebarat-baratan.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Sorakan ini spontan dari teman-temanku saat kukatakan aku menyukai wayang, hobi main gamelan dan ingin menjadi dalang terkenal.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Hu…KUNO!” semua bersorak mengejekku lagi.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Kuno, memang, tapi aku senang dengan itu semua. Dengan seperti ini aku merasa benar-benar lahir di Indonesia dan dibesarkan di Indonesia. Tapi aku bangga. Cita-citaku ingin menjadi seorang dalang profesional yang mampu mengharumkan nama bangsa Indonesia.” Mungkin itu sebuah kalimat pembelaan untuk diriku yang secara refleks keluar dari mulut yang <i>nervous</i> ini.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ngebet banget sih pingin jadi dalang, seperti nggak ada profesi lain aja,” teriak salah seorang teman.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Dari mana asal suara itu aku nggak mempedulikannya.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="center"> ***</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Kuhitung delapan bulan sejak acara api unggun itu aku masih saja menerima ejekan dan cemooh karena hobi dan cita-citaku. Aku lebih banyak memilih diam daripada mesti menanggapi mereka. Kadang-kadang justru Laras yang balik membalas mereka. Aku jadi tidak enak hati. Tapi memang hanya dia yang dari awal menghormati keinginanan dan ketertarikanku pada lembaran kulit binatang yang dibuat berkarakter sedemikian rupa itu, memberikan semangat padaku untuk tidak peduli dan terus maju. Hanya Laras, anak orang kaya yang senantiasa nampak bersahaja. Entah maksud apa dibalik sikapnya itu padaku.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Semua teman selalu menganggapku kuno, tradisional, sok jadi orang keraton. Aku nyesel banget kenapa semua kuungkapkan dengan berlebihan seolah aku benci dengan budaya mereka yang kebarat-baratan. Kenapa bapakku hanya mengenalkan wayang, gamelan dan karawitan saja. Aku juga ingin mengenal budaya barat. Hatiku berkecambuk nggak karuan seakan aku sedang krisis percaya diri, seakan impianku untuk menjadi seorang dalang sirna seketika ditelan ejekan teman-teman. Hanya Laras yang mau merelakan telinganya untuk mendengarkan ocehanku tentang wayang. Apa keinginanku yang sebenarnya?</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="center"> ***</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Malam hari, di ruang tengah. Dengan secangkir teh hangat dan sedikit camilan yang sudah ibu sediakan di atas meja kayu yang beralaskan taplak meja bermotif bunga-bunga. Sambil nonton TV bersama, dengan volum TV yang agak pelan adalah waktu yang tepat untuk aku mulai berbicara pada bapak.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Pak, Dewa mau bicara sama Bapak.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Dewa nggak ingin lagi jadi dalang.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Lho, kenapa?” tanya bapak ketika aku belum mengutarakan beberapa alasanku yang nggak masuk akal.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Saat itu aku sempat terbawa emosi karena teringat ejekan teman-teman di kelas yang tak henti-hentinya.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Pokoknya Dewa tidak mau jadi dalang lagi. Itu kuno. Sekarang bukan zaman Walisongo lagi, bukan zaman karawitan dan gamelan. Dewa ingin seperti teman-teman yang lain. Dewa ingin menjadi gitaris seperti Dewa Bujana. Pokoknya Dewa nggak mau jadi dalang yang kerjaannya ngoceh sendiri di malam hari seperti orang gila.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “DEWA!” bentak bapak.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Kamu ini kenapa? Kalau nggak mau jadi dalang, kemampuan apa yang kamu punya Dewa! Dari kecil Bapak selalu mengajarimu tentang wayang biar kamu ada bekal untuk jadi seorang dalang. Lagipula kamu senangkan belajar wayang?” bapak membentakku lagi, seolah bapak dalam posisi yang paling benar.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Bapak hanya mengajariku itu, jadi Dewa nggak punya kemampuan lain yang bisa dibanggakan. Kalau ingin jadi kayak Dewa Bujana aku kan bisa belajar gitar mulai dari sekarang.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Sudahlah, terserah kamu,” bapak terlihat marah, memalingkan mukanya dari wajahku sambil meneguk secangkir teh hangat.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Nak, kamu pasti akan menemukan pilihan yang terbaik untuk dirimu sendiri,” ucapan terakhir bapak sebelum melanjutkan nonton TV.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Ibu yang hanya duduk di samping bapak tak mengucapkan sepatah kata apapun untuk membelaku. Hening, layaknya perang dingin sedang berlangsung.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="center"> ***</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Teng…teng…teng…!</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Waktu yang paling kami tunggu, jam terakhir telah usai. Lalu lalang kendaraan umum di depan sekolah tak bisa dihindarkan. Suasana tiap pulang sekolah selalu seperti ini. Makin hari udara semakin panas, seiring makin banyaknya pohon yang ditebang, ditambah lagi polusi udara yang menyesakkan pernafasan. Hal-hal semacam ini jangan kamu tanyakan pada orang desa, karena mereka tidak mengenal polusi udara. Sambil berjalan bersama Laras di koridor menuju halte terdekat dari sekolah, obrolan santai pun kami langsungkan.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ras, kuno nggak sih, kalau aku ingin jadi seorang dalang.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Kuno? Kata siapa kuno, nggak lagi. Jarang-jarang ada anak muda yang punya cita-cita menjadi seorang dalang. Dari 100.000 pemuda mungkin cuma ada satu pemuda yang bercita-cita jadi dalang dan pemuda itu adalah kamu Dewa.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Apa yang kamu katakan itu tidak berlebihan?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Wah, kayaknya kamu memang benar-benar lagi krisis <i>self</i> <i>confidence</i>.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Kamu nggak mau kan budaya kita mati begitu saja atau diambil dan dimodifikasi oleh orang luar negeri, kemudian mereka mengaku bahwa budayanya lahir dari negerinya. Dengan kamu menjadi dalang, kamu bisa terkenal, lagipula kamu bisa menjaga keaslian budaya orang timur.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Tapi Ras, lama-lama aku nggak kuat mendengar ejekan Krisna dan teman-teman yang lain. Rasanya aku adalah orang yang tersisa dari zaman Raden Patah atau bahkan zaman Mataram Islam.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ras, kenapa sih kamu selalu menghargai keputusanku dan memperhatikan kebimbanganku, nggak kayak teman-teman yang lain?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Dewa, dari halte ini, kamu jalan lurus, kira-kira 50 meter, kamu belok ke kanan. Kemudian kamu jalan lebih kurang 100 meter lagi, kamu akan menemukan kembali dirimu di sana.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Wa, duluan ya. Bus ku sudah datang.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Hei tunggu, pertanyaanku yang tadi belum kamu jawab.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Dewa sudah tidak sempat lagi. Bus sudah melaju kencang sambil mengeluarkan kepulan asap hitam. Sambil berjalan dan menggaruk-garuk kepala. Dewa berpikir apa maksud ucapan Laras “Kamu akan menemukan dirimu kembali di sana.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="center"> ***</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “SANGGAR PEDALANGAN SEMAR”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Itulah tulisan yang tertera di atas plakat yang menurutku termasuk tulisan yang kecil. Apalagi mataku minus. Ooo…Jadi tempat ini yang barusan diomongin Laras. Tempatnya sederhana sekali. Tapi aneh, kok banyak orang bule di tempat seperti ini. Aku sedikit ragu untuk melangkahkan kaki menuju tempat informasi.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “<i>Good morning, Sir!”</i> sapaku pada salah seorang bule.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Selamat siang,” jawab bule itu.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> <i>Hah, gila, aku salah menyapa. Harusnya aku menyapa dengan Bahasa Indonesia.</i></p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Selamat siang Mbak!” sapaku pada salah seorang cewek bule yang baru saja meletakkan sepedanya di tempat parkir.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “<i>Sugeng siang, Mas!”</i> jawab cewek bule itu dengan ramah.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Aku salah lagi, harusnya aku menyapa tidak dalam Bahasa Indonesia tapi dengan Bahasa Jawa yang paling halus. Nggak kusangka orang bule lebih terbiasa dengan Bahasa Jawa daripada aku yang asli orang Jawa.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “<i>Sugeng siang Mbak!”</i> sapaku pada perempuan paruh baya yang ada di meja informasi.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Siang Dik,” sapa perempuan yang berbaju batik itu.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> <i>Oh iya, aku masih pakai seragam putih abu-abu. Pantas saja dipanggil “dik”.</i></p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Mbak, apa benar ini sanggar khusus orang yang mau belajar jadi dalang?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ya benar. Adik mau mendaftar?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Kok yang kulihat dari tadi cuma orang-orang bule yang masih muda. Tak satupun kulihat orang pribumi kecuali mbak nya yang jaga di meja informasi. Suasana mencekam, hening, sepi. Piranti wayang yang lengkap. Gamelan yang tertata rapi tanpa debu di atasnya menandakan seringnya gamelan ini digunakan.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Dik, apa Adik mau mendaftar?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ha, apa Mbak?” Dewa terperanjat, entah ke mana pikirannya sekarang. Seakan cewek yang sedang memainkan wayang itu menyedot perhatiannya. Cewek itu yang disapanya barusan saat dia menuju meja informasi.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Adik mau mendaftar nggak?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Oh ya, sebentar Mbak, aku ingin melihat-lihat dulu.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="center"> ***</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Dewa pun menghampiri cewek bule yang sedang memainkan wayang.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Maaf Mbak, ganggu sebentar. Kenalkan namaku Arjuna,” sambil kuulurkan tanganku.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Arjuna? Nama yang kuidamkan. Aku Stevy,” dia menjabat tanganku sambil mengenalkan namanya.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Mbak sudah lama kursus ndalang di sini?” tanyaku pada cewek bule itu.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ya lebih kurang sudah satu setengah tahun.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Wah, lama juga ya. Pantas Bahasa Indonesianya sudah lancar.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ada darah Indonesia?” tanyaku dengan penuh penasaran.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Oh, tidak. Aku asli Jerman,” cewek bule itu menjawab dengan sedikit tawa dan senyum manis yang melekat di bibirnya.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ngomong-ngomong motivasi apa yang membuat Mbak belajar wayang dan pedalangan sampai ke Indonesia?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Jangan memanggilku Mbak. Panggil saja Stevy.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “<i>It’s Ok,”</i> jawabku singkat.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Kamu tahu makna lampu yang dipasang di atas dalang saat pementasan?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Tentu, artinya adalah cahaya atau sinar kehidupan,” jawabku dengan mantap.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Kamu ngerti arti wayang?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Jelas aku tahu, artinya adalah bayangan.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Untuk yang terakhir kalinya aku tanya sama kamu Arjuna, kamu tahu makna gunungan yang dipasang di tengah-tengah wayang yang dimainkan nggak?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “<i>Of course</i>, aku ngerti banget, arti gunung itu adalah dunia lengkap dengan isinya.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Setelah kamu jawab sendiri, kamu ngerti nggak motivasiku belajar seni pewayangan dan pedalangan?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Belum…tapi sebentar. Wayang sebagai cermin kehidupan di dunia,” jawabku sambil menerawang apakah yang barusan kukatakan itu benar atau tidak.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Yap. Seni inilah yang mengajariku hidup. Filsafat hidup yang terkandung di dalamnya sangat dalam, karena itulah aku mempelajarinya. Arjuna adalah tokoh idolaku. Kalau seorang cewek pantas bernama Arjuna, maka aku akan menambahkan kata Arjuna di belakang namaku. Ha…ha…ha…,” katanya sambil tertawa terbahak-bahak.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Ternyata kamu asyik juga ya diajak ngobrol,” kataku.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Kenapa pilihan belajar bisa jatuh di Indonesia?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Kata <i>grandma </i>dan <i>grandpa</i> lebih baik belajar di Indonesia daripada negara lain, karena di Indonesia masih terjaga keasliannya. Lagipula bukannya wayang memang lebih berkembang di Pulau Jawa?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Berkembang di Pulau Jawa?” bisikku dalam hati.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “<i>My parents</i> sangat berharap, kalau aku balik nanti aku sudah bisa menjadi dalang wanita yang profesional.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Jadi karena itu kamu jauh-jauh dari Jerman ke Pulau Jawa hanya untuk belajar wayang dan dalang?” tanyaku sedikit nggak menerima alasan yang kurang logis itu.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Yup,” jawab Stevy penuh keyakinan bahwa alasan itulah yang membuatnya terbang ke Bandara Soekarno Hatta.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Stev, <i>thanks </i>banget kamu mau ngobrol sama aku.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Sama-sama. Apa kamu murid baru di sanggar ini? Kayaknya baru pertama kali ini aku melihatmu di sini?”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Oh nggak kok. Aku bukan murid sanggar ini. Tadi cuma kebetulan lewat. Sekolahku dekat sini. Eh… tapi mungkin sebentar lagi aku bakal jadi murid baru di sanggar ini.”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “Aku pulang dulu, sudah sore!”</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> “<i>See you next time!”</i> Stevy mengucapkannya seakan aku memang akan bertemu lagi dengannya di lain waktu.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="center"> ***</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Kepulan asap rokok selalu menghiasai suasana di dalam kendaraan umum. Tidak jauh beda dengan kendaraan umum yang sekarang aku naiki. Ketika di dalam bus yang lumayan tidak sesak, kulihat seorang kakek tua yang menggunakan blangkon sebagi penutup kepalanya. Aku teringat akan perkataan bapak kemarin malam. Dan telah kutemukan jawabannya. Filsafat hidup itulah yang membuat orang tuaku selalu memotivasiku untuk belajar tentang dunia wayang. Dan aku pun telah menemukan jawaban dari ucapan Laras tadi siang. Memang benar, Stevy, cewek yang telah membuatku menemukan kembali diriku yang sebenarnya. Tapi sampai saat ini belum kutemukan jawaban mengapa Laras selalu mendukungku. Aku tidak berani berprasangka apapun padanya.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="center"> ***</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Suara riuh tepuk tangan memenuhi ruangan yang tidak sempit itu. Ini pertama kali Dewa mengikuti lomba dalang tingkat provinsi. Dengan latihan di Sanggar Pedalangan Semar secara maksimal, Dewa pun mendapatkan hasil yang maksimal pula. Dia mendapat juara pertama di ajang dalang pemula. Dengan seringnya ia mengikuti lomba, pengalaman berdalangpun makin banyak ia peroleh. Akhirnya impian untuk mengharumkan nama bangsa dengan wayang pun terwujud ketika dia liburan kenaikan kelas tiga. Saat liburan itu ia mengikuti lomba wayang di kota Holland. Informasi itu ia dapatkan dari Stevy, yang kakaknya kuliah di Belanda. Stevy pun mengikuti lomba itu. Tapi sayang, Stevy harus merelakan <i>trophy</i> juara pertamanya kepada Dewa. Stevy kalah dalam kefasihan berbahasa Jawa dan variasi suara dalang.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Setelah lomba itu, Dewa terpilih menjadi duta kebudayaan dan kesenian untuk mewakili Negara Indonesia. Dewa pun harus melanjutkan studi kelas tiga SMU-nya di ibukota negara. Ia pun harus rela meninggalkan teman terbaiknya yang selalu mendukungnya. Larasati, kamulah teman terbaikku.</p> <p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="justify"> Dewa telah mewujudkan impiannya. Sekarang tak ada satupun temannya yang berani mengejeknya karena hobinya yang suka main gamelan dan wayang. Hrapan Dewa cuma satu, dia ingin agar pemuda Indonesia mencintai budayanya sendiri yang telah ada.</p> <span style="font-size:78%;">(sebuah karya siswa pemenang lomba cerpen nasional Depdiknas 2006)</span><br /><p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="right"> Surakarta, 20 Juni 2006</p><p style="text-indent: 0.63in; margin-bottom: 0in; line-height: 200%;" align="right"></span><br /></p>goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7355036384348093087.post-51854406235305609762007-09-06T18:03:00.000-07:002007-09-06T18:11:05.897-07:00SIKLUS KEHIDUPAN<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFpC7wEoFuRAEf_QFEneIdWr63nsugTYzIV3BFdtivuZ7TofjFYrFybgbTafkmYFo2lPtYydawuDRK935YNUNeD9eunJeK_vnqO3AhBjcjanjnLgrAfRiwharfhPVF4p57TqabPNFlkkd2/s1600-h/29130107.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFpC7wEoFuRAEf_QFEneIdWr63nsugTYzIV3BFdtivuZ7TofjFYrFybgbTafkmYFo2lPtYydawuDRK935YNUNeD9eunJeK_vnqO3AhBjcjanjnLgrAfRiwharfhPVF4p57TqabPNFlkkd2/s400/29130107.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5107263491489493282" border="0" /></a><br /><br />Hidup bagai siklus air. Ia muncul dari tanah sebagai mata air. Mengalir di lembah dan ngarai-ngarai sebagai sungai. Masuk ke laut berubah identitas sebagai air asin. Dan menguap karena terik mentari, mengumpul menjadi awan dan turun sebagai hujan menyusup ke pori-pori bumi yang kelak akan muncul lagi sebagai mata air.<br />Lalu, apalagi yang kita risaukan?<br />Jika semua memang harus terjadi<br />Dan musti terjadi.<br />...goe'sthttp://www.blogger.com/profile/16229175682109928800noreply@blogger.com0