Kamis, 08 Mei 2008

DEWI FORTUNA

. Kamis, 08 Mei 2008

“Masa depan adalah masa kini ditambah sedikit tantangan…”, kata-kata itu terus mengiang dan menggema di telingaku, di seluruh batok kepalaku. Kutengadahkan kepala, bahkan seluruh penjuru langit terdengar suara itu. Setiap jalan yang kulalui tertulis kata-kata itu, bahkan di setiap tembok pinggir jalan. Aku mulai berkeringat, dahiku basah. Kaki kecilku melangkah letih, tubuh mungil terasa berat. Kuambil sepotong tisu dari saku jins,…. Alamak! Tertulis juga kata-kata itu. Mataku berkunang-kunang dan seluruh dunia menjadi gelap seketika.

………………............
Uff… kubuka mata. Entah mengapa terasa berat, sepertinya bulu mataku terbuat dari kawat baja dan kelopaknya adalah lempengan plat tembaga. Kuraba seluruh tubuh, syukurlah masih utuh : kedua tangan, kedua kaki dan semua yang ada di antaranya. Bajuku? Indah sekali padanan duex pieces warna lembut. Sepotong syal cantik bertengger di atas krah rever, dan beberapa millineries lain, seperti tas tangan Gucci kecil tergantung di pundak kiri, dan sepatu hak tinggiku dengan model tertutup bagian depan. Rambutku, astaga!... shaggy pendek yang dapat kurasakan harumnya aroma herbal. Apakah aku baru saja memenangkan kontes model?Tidak!.. aku masih bisa mengingat. Beberapa jam lalu di kafe menyeruput bubble tea blue coral. Celana jins ketat dan kaos panjang motif garis. Kerudung pink menutupi kepalaku, tetapi tidak sebagian atas dadaku. Ujung kerudung kulingkarkan melilit leher.
Di hadapanku sesosok pria tampan. Rambut lurus sisir menyamping. Tanpa kumis tapi tetap jantan saat sebatang rokok bertengger di bibirnya. Matanya teduh, meski tertutup kaca mata tebal, semakin terbaca kebijakan dari setiap tutur katanya. Aku sangat bahagia dan tersanjung berada di keremangan kafe bersamanya, dimana kemungkinannya satu setengah banding tujuh-tujuh seorang gadis kecil bersamanya di kafe, “..aq di kafe supernova dew,... dtglah kalo mo gabung..”.
Atas dasar SMS itulah aku datang ke kafe. Dia guruku yang luar biasa. Meski bukan guru BP, namun banyak murid yang lebih mempercayakan permasalahan pribadinya ditangani oleh sang maestro. Seperti seorang psikolog, dia berhasil mengurai permasalahan-permasalahan kami yang rumit dan pelik dengan penuh kebajikan, meski sebenarnya dia guru bahasa Inggris. Bahkan mau meladeni curhat lewat SMS bagi murid yang malu berbicara langsung. Seringnya, dimulai dari SMS setiap murid yang malu kemudian menjadi ketagihan untuk ‘ngobrol’ bersamanya, yang tampaknya santai tetapi tak terasa permasalahan yang dihadapi setiap murid dapat disentuh semua. Usai ‘ngobrol’ kami membawa ‘insight’ masing-masing sesuai dengan permasalahan kami. Kata ‘insight’ dia juga yang merumuskan, katanya, “jika masing-masing kalian merasa beban menjadi ringan setelah kita ngobrol dan dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk kalian pakai sebagai pegangan, artinya kalian telah memperoleh ‘insight’...”
Ya... bahwa masa depan adalah masa kini plus sedikit tantangan, adalah ‘insight’ yang aku bawa oleh-oleh dari kafe yang ditraktir Mr. Prast guruku, maklum tanggal muda. Masa kiniku adalah.... ach... berat sekali aku mengakuinya. Aku murid yang pintar, dinamis, dewasa, dan memiliki aura keberhasilan kuat; kata Mr. Prast waktu aku duduk di kelas awal. Kata-kata sederhana yang tulus dari seorang guru itu ajaib, dan akupun secara ajaib berubah menjadi giat belajar, aktif kegiatan ekstra dan organisasi. Kata Mr. Prast pemikiranku mulai kritis saat menginjak akhir kelas satu.
Memasuki awal kelas dua, aku mulai kacau. Ruben, pacarku yang baru saja jadian saat akan tes kenaikan kelas, tiba-tiba dikeluarkan dari sekolah karena berbagai kasus ‘kenakalan remaja’ atas rekomendasi guru-guru BP.
“Anak kelas dua SMA nakal itu wajar Dew, bukan hanya buat cowok, cewek sekalipun syah-syah saja. Kapan lagi manusia mengalami masa nakal? Di SMP masih ingusan, saat kuliah tidak pantas ada mahasiswa tawuran...” Mr. Prast mencoba menghiburku agar tidak down.
Guru satu ini memang unik. Dia lebih suka dipanggil mister daripada ‘bapak’, lebih suka dianggap kawan daripada ‘guru’, terlalu feodal katanya. Pantas saja si mister ini tidak pernah memakai baju PDH atau PDL yang katanya ‘baju besi’. Sebenarnya Mr. Prast sangat keren dan berwibawa mengenakan seragam PDL, itu kulihat saat ada kunjungan bupati ke sekolah. Namun, dengan kemeja krem lengan panjang dan pantalon coklat tua membuatnya sangat tampan dan murid-murid perempuan betah berada di sampingnya yang wangi aroma Eclate
“Faktanya, dia dikeluarkan dari sekolah ini mister; aku sangat malu dan terpukul”, aku mencoba berapologi mencari pembenaran atas menurunnya semangat belajarku belakangan.
“Ya,... aku juga sulit memahami cara pikir teman-teman BP. Anak nakal itu justru tugas guru untuk membimbingnya agar tetap di jalur yang benar saat mengembangkan energi nakalnya. Mengeluarkan murid dari sekolah adalah langkah pengecut, apalagi jika guru belum melakukan upaya maksimal untuk membimbingnya” Mr. Prast membeberkan konsepnya sebagai guru.

Mister, sejak saat itu aku sering diam-diam mencuri waktu untuk bertemu Ruben. Kadang aku relakan mbolos sekolah untuk memenuhi janjian dengan Ruben yang juga membolos dari sekolah barunya. Hambatan yang terbentang di depan kami, semakin meneguhkan cinta kami. Bagiku, keindahan adalah ketika bersamanya di rumah kontrakannya dan memasak makan siang untuknya. Nonton teve berdua atau jingkrak jingkrak diiringi komposisi DJ kesukaan kami lewat VCD. Jalan-jalan ke pasar loak mencari kaset-kaset koleksi langka musik underground, atau memburu buku bekas berbahasa asing dimana orang lain tidak memperdulikannya. Kemampuan bahasa Inggris kami jadi meningkat, justru –maaf- bukan oleh karena apa yang oleh Anda ajarkan di kelas, mister. Pemahaman kami akan sosiologi, ekonomi dan politik juga membaik bukan karena diajar oleh kolega Anda, mister. Hingga suatu saat keyakinan kami akan peran moralitas sekolah juga mulai mengendur. Bagi kami, nilai-nilai moral yang diajarkan sekolah adalah simbol kemunafikan dan kepura-puraan belaka.
Mister, dari Psikoanalisis-nya Freud kami meyakini bahwa pada hakikatnya jiwa manusia adalah bebas. Dan puncak kebahagiaan manusia tercapai jika ia mampu mengaktualisasikan alam bawah sadarnya, yang, selama ini secara pengecut hanya muncul dan menikam lewat mimpi dan trance saat sakau. Kita tidak perlu ragu mengeksploitasi keinginan alam bawah sadar kita dengan sepenuh kesadaran dan keyakinan tertentu. Kita tidak perlu takut dengan kejujuran alami semacam itu, apalagi hanya atas kekangan moralitas. Bukankah moralitas hanyalah kesepakan sosial seperti yang dirumuskan Emille Durkheim lewat collective consciens-nya? Perzinahan dilarang juga atas kesepakatan suatu komunitas sosial, sementara di belahan bumi lain dihalalkan dengan pembatasan-pembatasan tertentu atas nama kesehatan biologis masyarakat. Free sex lebih menekankan kepada pentingnya kesehatan psikologis masyarakat, dengan memberi kewenangan penuh kepada setiap individu untuk secara sadar melakukan atau tidak melakukan. Bukankah, dulu nenek moyang kita juga menerapkan sex bebas? Bukankah Adam dan Hawa tidak diikat oleh tali pernikahan yang sakral?
Mister, aku sudah tidak perawan...

Kutatap wajah teduh itu lekat-lekat untuk memastikan tidak setitik pun momentum kulewatkan saat Mr. Prast menyimak pengakuanku yang tripple X itu.
“Lalu, apa yang membuatmu gundah sayang?”
Gila!... dengan entengnya dia mengeluarkan kata-kata itu di sela hembusan asap rokok. Aku kelabakan, seluruh anak panah yang aku luncurkan tiba-tiba berbalik mengejarku. Lingkang pukang aku dibuatnya.
“Ruben diterima kuliah kedokteran di perguruan tinggi yang berbeda, mister...¿” aku sadar ini adalah pernyataan konyol.
“so, .. what?”
Aku terjebak. Oleh ranjau yang kubuat sendiri. Alangkah naifnya aku.

Mister, dalam sejarahnya kami mengalami berkali-kali putus-sambung. Mister tentu paham, pemicunya adalah gadis lain. Dia punya pengalaman menduakan aku berkali-kali bahkan dia juga telah merenggut kegadisannya. Saat ini, saat aku ingin konsentrasi dengan masa depan dia menggoyahkanku. Konsep masa depan yang kukembangkan adalah konsep gender yang berpihak kepada kesetaraan hak lelaki dan perempuan, aku ingin menjadi pribadi mandiri penghuni ‘kampung dunia’-nya Alvin Toffler- dengan membuang jauh-jauh Ruben ‘sang lelaki pengecut’ yang menyatakan kejantanan dengan menggandeng sebanyak-banyaknya perempuan. Aku mendaftar kuliah di jurusan sastra Inggris, yang aku pikir bisa menjadi titian bagiku untuk go international. Tiba-tiba Ruben mendesakku untuk kembali, dengan alasan aku adalah perempuan yang tepat untuknya di masa depan.

“Dan kamu tergiur untuk kembali, Dew?”
Yah,... begitulah mister. Tiba-tiba aku merasa pentingnya manusia durjana yang bernama Ruben sebagai kelengkapan bahwa dialah yang merobek-robek selaput dara-ku. Dan khawatir dia akan mengulangi petualangannya sebagai pejantan, karena kuliah di kampus yang berbeda dan berjauhan denganku.
“Di mana kemandirian dan kesetaraan gender yang sempat kamu tulis di bulletin sekolah, Dew? Kau ingin berlari, tetapi membiarkan blus span yang kau pakai menghalangi langkahmu!...”. Mister Prast, mulai beraksi.

Kau lakukan semua itu dengan kesadaran. Dengan konsep-konsep yang kau bangun dari Freud, Durkheim, bahkan mungkin Foucalt, Marx, Machiavelli atau Nitzhe sekalipun, bahwa Tuhan telah mati. Kau tak perlu menyesali, meski apa yang telah kau lakukan di masa lalu kini kau sadari sebagai sebuah kesalahan. Kesalahan besar, bahkan fatal, mungkin. Andai dengan meratap maka kesalahan masa lalu dapat diperbaiki, merataplah di tembok ratapan Yerusalem sana. Orang yang baik bukanlah orang yang tidak pernah berbuah salah. Melainkan orang yang mau belajar dari perbuatan salah yang pernah diperbuatnya. Faktanya, Ruben bukanlah lelaki sejati seperti yang kamu gambarkan. Menurutmu lelaki jantan adalah lelaki yang sanggup berpasangan dengan satu istri dan menahan syahwatnya dari perempuan lain. Apalagi yang kamu harapkan dari Ruben yang telah menyimpang dari kriteria yang kau buat? Faktanya, saat ini
kamu sudah tidak....... (seperti menelam pil pahit dan dengan suara tertahan perlahan).. virgin....

Kulihat matanya berkaca, dan dalam sekejap kelopak mata ‘weaper’ menyapu genangan yang hampir jatuh. Aku beruntung tidak melewatkan momentum yang sangat berharga ini. Meski terlihat tegar menghadapi masalah kekacauanku yang prinsipil ini, namun Mr. Prast rapuh juga. Guru mana yang tidak rontok hatinya mendengar pengakuan muridnya yang kehilangan keperawanan? Maafkan aku mister. Ketegaran Anda membuat aku dendam dengan masa depan.
Masa depan? Apakah aku sedang berada di dimensi masa depan? duex piece yang kukenakan? Jalan kampung menuju rumahku yang terasa asing? Padahal aku setiap hari melewatinya jalan kaki ke sekolah? Mengapa pohon beringin tempat penjual mie ayam kesukaanku mangkal sudah tidak ada? Jalan tanah tertutup paving block seluruhnya? Belum hilang kebingunganku tiba-tiba ada sesuatu dari dalam tas Gucci kecilku yang bergetar, dan getarannya diiringi suara merdu megaphonic membuat seluruh darah di tubuhku ikut bergetar lembut, korteks di kepalaku segera menerjemahkan bahwa sedang ada komunikasi lewat sesuatu di dalam tas dari Mr. Mc. Nally di Auckland. Kubuka tas dan kuambil ponsel...e.e... astaga! Ponsel kacanganku berubah menjadi palm top yang sekaligus sebagai ponsel yang terhubung dengan internet. Sejenak aku bercakap-cakap dalam bahasa Inggris lewat monitor yang dapat kulihat wajah Mr. Mc. Nally yang baru semalam kami menginap bersama di sebuah suite room di Sydney dalam acara konferensi pendidikan moral cybernetics.
Aku terus melangkahkan kaki menuju rumah, tetap dengan suatu kegalauan atas segala yang kulihat. Dari kejauhan kulihat seorang gadis berlari kecil menghampiriku, “Kakak!.. pulang kok tidak bilang-bilang. Katanya di Australia dua minggu. Kalau ngasih kabar lewat email khan Nita bisa jemput di bandara...” Nita? Bukankah baru tadi pagi aku yang mengganti popoknya? Seorang wanita tua rambut penuh uban berjalan tertatih-tatih dengan benda di kedua tangannya mirip jemuran handuk muncul dari balik pintu. “Dewi, mama baik-baik saja... mestinya kamu tak perlu tergesa-gesa pulang. Mama hanya sedikit masuk angin. Seperti halnya almarhum ayahmu, sebentar juga sembuh...” Wanita tua ini mamaku? Dan ayahku sudah wafat? Ah... betapa banyak hal yang sudah kulewatkan? Lagi-lagi benda di dalam tasku bergetar, dengan irama yang berbeda sehingga seluruh darah dalam tubuhku turut bergetar lembut dan korteks di kepalaku berbicara tentang Mr. Schrag, seorang profesor muda filsafat pendidikan. Kami berkenalan di Venesia dan sejak itu sering bepergian berdua dalam event-event pendidikan yang disponsori oleh OKI seringnya kami menginap bersama di Islandia menikmati matahari yang sangat kecil di bulan September. Mereka berdua telah saling kenal saat konferensi pendidikan UNESCO di Genewa. Keduanya sama-sama mencintaiku dan aku belum mengambil keputusan untuk menikahi salah satu. Aku belum siap dengan komitmen. Dan tak perlu risau dengan kebutuhan biologisku. Enam jenjang kebutuhan Maslow telah kumiliki, apalagi?
Kubuka palm top dan sejenak kami bercakap-cakap dalam bahasa Itali dengan Mr. Schrag. Ya... aku baru sadar bahwa aku adalah atase kebudayaan keliling untuk Indonesia. Satu-satunya wanita yang menjadi atase dan paling muda dalam karir itu. Uff... mataku berkunang-kunang lagi. Dan langit menjadi gelap seluruhnya.
.........
“Dew,... Dewi....” Ada yang menepuk pipiku dengan lembut dan memanggil-manggil namaku. Sebuah aroma wangi khas Eclate mendorongku untuk membuka mata. Aku tahu itu adalah Mr. Prast. Betapa terkejutnya aku, ketika kudapati tengah berada di atas bed sebuah poliklinik dekat kafe. Celana jins ketat dan kaos pink lengan panjang, alamak!,... beruntungnya aku... Mr. Prast ada bersamaku. Pantas saja mama memberiku nama Dewi Fortuna.

Kafe Pindi, 15 Agustus 2004

blog comments powered by Disqus
 
{redundasi.blogspot.com} is proudly powered by Blogger.com | Template by Agus Santosa