Kamis, 02 April 2009

BLACK FORREST PUCAT PASI

. Kamis, 02 April 2009

Kupandangi lekat-lekat kotak putih itu. Perlahan tangan dan kakinya muncul. Juga kotak. Sejurus kemudian cuping kanan dan di kiri, diikuti mulut, hidung dan akhirnya…. Ach… bukan mata berbinar dengan bulu mata lentik tiga biji. Fantasiku gagal menggambarkan spongebob, kotak kuning yang selalu ceria meski kadang naïf, tetapi hidupnya senantiasa bahagia. Mata yang terbentuk menyiratkan sebuah kedukaan yang dalam. Mata adalah jendela jiwa, betapa kelam jiwa yang bersemayam di dalam kotak putih itu.

Susah payah kuangkat tubuhku dari lantai yang beralaskan karpet bermotif tweety. Kupaksakan kaki untuk bergerak agar seluruh tubuhku terbawa ayunan langkah, entah kemana. Kamar kecil itu terasa seluas stadion olah raga. Saat kakiku mengitarinya dan anganku terbang ke mana-mana. Aku tak tahu arah yang akan dituju dendrit di kepalaku saat berputar-putar. Keputusan yang harus kuambil adalah...


dibuka atau tidak kotak putih itu.
Apa sulitnya membuka kotak yang hanya ditali seutas pita merah jambu? Otak kiriku mulai melakukan aksi provokasi. Haruskah? Otak kananku meragukannya. Kubaca lagi tulisan indah dengan fontasi klasik ditutup kotak.

‘May all your dream come true..
I love you more than word can say..
Cause love not to access from words
But from attention and conduct…
Happy birthday’

Kue ulang tahun ini kami pesan seminggu lalu bersama mas Prie. Sebuah black forrest raksasa yang dibalur coklat pastel dan dihias kacang mede. Mas Prie dan aku sama-sama suka coklat, saat valentine lalu kami merayakannya dengan sekotak besar coklat Itali yang kami pesan khusus di kafe langganan. Kafe itu pula yang baru saja datang mengirim pesanan kami lewat kurir. Mestinya aku menyambut dengan suka cita berlarian adu cepat dengan Mas Prie. Dan yang lebih dulu berhasil menyentuh hidung si kurir mendapat hadiah khusus “ciuman istimewa!…”. Tapi, kini tak ada Mas Prie, apalagi special kisses; dan aku yang mencegahnya. Alangkah bodohnya aku, apakah lebih bodoh dari manusia bodoh?

•* *

“Tapi kau masih menyediakan waktu khusus buat kita berdua merayakan ulang tahunmu kan sayang?”, aku hanya menggeleng lemah, sambil menggigit bibir dan susah payah menahan air yang akan tumpah dari balik kelopak mata. Why? Bukankah hari itu yang selalu kita nanti?… “Maaf Mas, aku telah janji dengan teman-teman dekatku akhirnya”, aku menjawab dengan mantap dan tampak terbaca olehnya keraguanku. “Well!, setidaknya dihari lain, kita harus memiliki waktu khusus, honey, please…” nada suaranya sedikit merajuk dan tangannya yang lembut memegang tangan kiriku yang lentik katanya. Sedangkan aku susah payah menarik dengan halus tanganku dari rengkuhannya. Aku tak ingin jemariku dikecup, karena itu bisa merobohkan seluruh benteng pertahananku.

“Sayang, aku tahu hatimu terluka. Kau tak perlu menyembunyikannya lagi. Akuilah itu, dan terkutuklah aku yang telah melukai hati gadis yang justru sangat kucintai”
“Tidak mas, aku sudah merenungkan dalam-dalam dan mempertimbangkannya masak-masak. Keputusan ini kurasa terbaik untuk Mas dan juga untukku. Mas harus yakin, aku tidak membencimu. Sedikitpun tidak, justru cintaku yang amat sangat dalam hingga aku mengambil keputusan ini”.

Perlahan aku bangkit, kudekati Mas Prie yang masih termangu. Kubenamkan kepalaku di dadanya yang bidang dan, biasanya kutumpahkan bermeter-meter kubik air mata di sana. Kali ini sekuat mungkin kutahan-tahan. Kurasakan degup jantung Mas Prie yang mencapai tujuh skala Richter. Aku jadi khawatir, meski tangan lembutnya membelai-belai rambutku, tetapi sorot matanya jauh menerawang. Dengan lembut kulepaskan tangannya dari merengkuhku dan tanganku dari balik tubuhnya. Sebuah ciuman penuh jiwa kualamatkan di kedua pelupuk matanya, sebuah di keningnya. Seketika mengiang sebuah syair lagu yang Mas Prie suka mainkan untukku dengan gitarnya: ada yang tak mampu kulupa/bulu lembut di keningmu/yang meremang kala kukecup/dan ketika kusibak rambutmu.

Berat rasanya, tapi harus kulakukan. Perlahan kutinggal Mas Prie yang duduk sendiri terpaku dalam kelam. Sorot matanya masih gelap dan kelam menerawang di kejauhan. Rambutnya yang lurus indah, kini kusam. Berkali-kali ia menghembuskan nafas dalam-dalam. Sesungguhnya aku tak tega meninggalkan lelaki yang paling kucinta dalam keadaan semacam ini. Tapi, ini harus aku lakukan.

•* *

Tiga hari menjelang ultahuku.

Kita bicara tentang cinta, cinta sejati dan jodoh. Mungkin jadi, jodoh kita adalah orang yang tidak kita cintai, katanya. “Cinta kita mungkin ada di mana gitu, atau di mana-mana gitu loch…” gaya bicaranya gaul dan enteng meski mengandung filosofi yang sangat dalam. Berada di sisi Mas Prie, aku seperti mendapat kuliah privat tentang kehidupan. Aku berpendar, kata Mas Prie. Aku nggak paham apa maksudnya. Katanya lagi, aku senang melihatmu melesat tumbuh dewasa dan matang dengan begitu cepat. Jalan pikir dan tutur katamu adalah paduan kesempurnaan seorang gadis kecil manja dengan gaun kedewasaan”. Mas Prie pandai memujiku. Dia tidak pernah memujiku oleh karena fisikku. “Tahu nggak sayang, kamu tuh seksi!”, katanya suatu ketika. “Apanya yang seksi?” aku bertanya sambil menyelidik bagian-bagian tubuhku lalu kubandingkan dengan banyak wanita yang ada di sekelilingnya.

Mas Prie memang pria idaman, setiap wanita yang dekat dengannya pasti akan berusaha selama mungkin ada di sampingnya. Banyak wanita cantik yang tergila-gila padanya. Sebut saja Meti, berambut panjang yang senantiasa anggun mengenakan blues span. Itu kriteria wanita charming yang pernah Mas Prie bilang. Atau Mila, yang memiliki dada berisi dan dan betis indah. Akan banyak harus disebut wanita-wanita yang gandrung kepadanya dengan kriteria-kriteria yang aduhai. Tapi dia malah memilih aku, yang belum selesai kuliah; berdada kecil dengan tubuh mungil. Bahkan penampilanku cenderung ceroboh, padu padan bawahan dan atasan yang mismatch, apalagi waktu mengenakan celana panjang kata Mas Prie “Penampilan dengan selera busana yang rendah”, aku marah, jengkel dan tersinggung; kupukul-pukul pundak Mas Prie sebagai ekspresi protes. Tawanya justru berderai ringan. Binar matanya sangat indah saat bahagia seperti itu.

Beberapa bulan berada di samping Mas Prie, banyak yang berubah padaku. Mulai dari penampilanku yang sudah masuk level ‘berselera’, hingga cara berpikirku yang katanya ‘seksi’. “kau seksi karena kecerdasanmu, sayang”, kata Mas Prie akhirnya. Pantas saja dalam sebuah buku hariannya dia pernah menulis “Aku tidak akan pernah terangsang oleh ‘bidadari yang dungu’..”.

Cinta kami bersemi dengan pondasi kepercayaan yang kokoh. Cinta sepenuh jiwa, hingga apapun yang Mas Prie lakukan aku dapat mempercayainya secara penuh dan total. Kecemburuanku pada gadis-gadis di kantonya sudah mulai menipis. Mas Prie sudah cerita semua tentang posisi dirinya di antara para gadis itu. Cerita Mas Prie penuh kejujuran, dia tidak pernah menutupi apapun dariku. Bahkan tidak keberatan kubuka buku hariannya, atau kubuka file-file di ponsel maupun laptop-nya. Sering aku berpikir, apakah Mas Prie jodohku? Betapa beruntungnya seseorang yang mendapati bahwa jodohnya adalah orang yang sangat dicintainya, kata Mas Prie dilain ketika.
Di kafe ini, semuanya tiba-tiba berubah menjadi fraktal, carut marut. Mas Prie cerita tentang Larisa…

blog comments powered by Disqus
 
{redundasi.blogspot.com} is proudly powered by Blogger.com | Template by Agus Santosa